SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (23/8/2018). Esai ini karya Lukmono Suryo Nagoro, editor buku yang tinggal di Solo. Alamat e-mail penulis adalah&nbsp; lukmono.sn@gmail.com.</p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO –</strong> Pada 14 Agustus 2018 Harian <em>Solopos</em> memuat esai <em>Kiri Zaman Kini</em> karya Ahmad Ubaidillah. Ada satu pertanyaan belum terjawab oleh penulis esai tersebut. Pertanyaannya adalah mengapa para pemimpin regu gerak jalan dalam lomba menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia tidak mengucapkan kata &rdquo;kanan&rdquo;?</p><p>Esai itu bercerita makna kiri pada masa kini. Salah satu maknanya adalah keadilan sosial. Bagian penting esai tersebut adalah upaya penulis menyatakan bahwa kiri seharusnya menjadi biasa dalam perbincangan bangsa Indonesia.</p><p>Jika kiri sudah biasa dalam perbincangan, mengapa kanan belum? Mengambil analogi gerak jalan, apabila kita berjalan dengan kaki kanan melangkah dahulu, saya ingat pada waktu latihan gerak jalan semasa SMA, yang bergerak seperti itu disebut <em>mbagongi</em>.</p><p>Istilah ini merujuk pada Bagong, anak Semar dan salah satu anggota Punakawan. Hampir tidak ada orang mau dipersamakan dengan Bagong yang gendut dan pendek. Ini salah satu jawaban yang bisa saya ajukan.</p><p>Ada jawaban lain mengapa kanan tidak biasa dalam perbincangan. Dalam esai tersebut kiri diasosiasikan dengan ide sosialisme dan komunisme, sedangkan kanan bisa diasosiasikan dengan ide liberalisme dan kapitalisme.</p><p>Menilik sejarah, kaum muda pemimpin Republik Indonesia pada waktu kemerdekaan, seperti Soekarno, Sjahrir, Tan Malaka, sangat dipengaruhi oleh gagasan kiri di Eropa pada 1920-an. Beberapa tokoh terdidik di bidang ekonomi, seperti Moh. Hatta dan Sumitro Djojohadikusumo (doktor ekonomi pertama asal Indonesia), tidak terbebas dari pemikiran tersebut.</p><p>Mengapa mereka tidak terbebas? Benjamin Higgins, salah seorang ekonom Amerika Serikat yang membantu pemerintah Indonesia merumuskan kebijakan pada awal kemerdekaan, menyatakan bahwa kapitalisme adalah faktor utama di balik penindasan dan kekuasaan sistem kolonial.</p><p>Kapitalisme juga dipersamakan dengan pengisapan manusia oleh manusia, pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya, dan persaingan bebas sehingga kapitalisme dimaknai sebagai kebebasan untuk mengisap. Pada zaman<em> now</em>, makna Liberalisme yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin, <em>liber</em>, yang artinya bebas, menjadi sangat negatif.</p><p>Makna bebas (<em>free</em>) di Indonesia malah mengarah ke <em>free sex</em> dan <em>free drugs</em>, bukan ke yang bermakna positif <em>free speech</em> atau <em>free (from) hoax</em>. Situasi yang demikianlah pada akhirnya membuat ide-ide kanan menjadi &rdquo;tidak biasa&rdquo; dalam perbincangan di Indonesia.</p><p>Kembali pada Bagong. Konon, Bagong berasal dari bahasa Arab <em>baghoo</em> yang artinya suka membangkang. Kata membangkang bermakna negatif juga, namun kaum kiri sangat suka kata membangkang karena merupakan wujud progresivitas.</p><p>Apakah ideologi kanan punya potensi membangkang atau progresif? Kita tahu, revolusi sosial di dunia sebagian besar didominasi oleh kaum kiri. Sebagaimana narasi yang dinyatakan oleh Ahmad Ubaidillah bahwa kiri adalah menantang, melawan, merobohkan, dan menumbangkan setiap tradisi.</p><p>Ideologi kanan juga berperan menumbangkan Uni Soviet. Kaum kanan menjadi pendobrak struktur ekonomi lama. Di Uni Soviet, hal ini dinyatakan dalam Perestroika. Kaum kanan berusaha menghilangkan basis kekuasaan kaum birokrat dan mendukung munculnya pengusaha swasta yang mandiri serta efisien.</p><p>Jadi, dalam konteks pascakomunisme, kaum kanan betul-betul menjadi kaum progresif. Bagaimana di Indonesia? Kaum kanan di Indonesia juga menjadi pendobrak struktur ekonomi berbasis proteksionisme dan berbiaya tinggi dengan program-program deregulasi dan privatisasi.</p><p><strong>Membasmi Inflasi</strong></p><p>Pada 1966 sejumlah teknokrat yang dipimpin Widjojo Nitisastro mampu membasmi inflasi sebesar 600% menjadi satu digit pada awal Orde Baru. Tentu dengan program-progam ekonomi yang lebih rasional jika dibandingkan sistem ekonomi Ali Baba atau Ekonomi Terpimpin model Soekarno.</p><p>Setelah harga minyak turun pada 1983, pemerintah Indonesia, yang kala itu jajaran kementerian bidang ekonomi masih dikuasai para teknokrat, memulai serangkaian program deregulasi ekonomi yang bertujuan memangkas ekonomi biaya tinggi dan menghapus perburuan renten (<em>rent seeking</em>).</p><p>Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, dengan dibantu IMF, para teknokrat yang lebih muda, seperti Dorodjatum Kunjorojakti, Boediono, dan Sri Mulyani terus-menerus melancarkan program yang intinya masih sama: memangkas ekonomi biaya tinggi agar negara Indonesia dapat bersaing pada masa globalisasi dan mendorong tumbuhnya sektor swasta.</p><p>Jadi, tujuan kaum kanan di Indonesia dengan laku membangkang adalah mengurangi sedikit demi sedikit peran negara di bidang ekonomi. Salah satu bagian esai karya Ahmad Ubaidillah tersebut merujuk pada tidak adilnya penguasaan sumber daya alam Indonesia yang pada saat ini dikuasai kekuatan asing.</p><p>Jika negara merebut penguasaan sumber daya alam itu, misalnya dengan nasionalisasi, artinya hal tersebut malah tidak mungkin pada masa sekarang. Negara Indonesia bisa dikucilkan dalam pergaulan internasional.</p><p>Apabila memaksa negara mengambil alih penguasaan sumber daya alam tersebut, hasilnya akan muncul lagi kaum birokrat dan kaum nasionalis yang menjadi &rdquo;penumpang gelap&rdquo;. Tentu kita masih ingat kasus &rdquo;papa minta saham&rdquo;.</p><p>Bagi pendukung kaum kiri dan kanan keduanya tetap memiliki narasi yang progresif. Hanya saja, ketika dilaksanakan, akibat yang ditimbulkan berbeda. Ketika kaum kanan melaksanakan deregulasi berarti akan mengikis basis dominasi kaum birokrat dan merombak status quo kekuasaan ekonomi politik.</p><p>Ketika kaum kiri melaksanakan program secara tuntas berarti akan mendesak ekonomi pasar untuk makin berada di pinggiran. Kita akan menyaksikan peran dominan kaum birokrat dalam menguasai kehidupan perekonomian. Kala birokrat yang berkuasa, pasti perekonomian akan berjalan baik.</p><p>Sebaliknya, ketika birokrat yang berkuasa adalah golongan sealiran &rdquo;papa minta saham&rdquo; tentu birokrat itu bersifat korup dan mengganggu jalannya perekonomian. Kaum kanan, dalam pengertian ini, dapat dipandang sebagai kekuatan yang menantang, melawan, merobohkan, dan menumbangkan setiap tradisi.</p><p>&nbsp;</p><p>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;</p><p>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;</p>

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya