SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Orang Jawa pasti kenal dengan ‘mak’ seperti pada ‘mak plenyik’ di atas itu. Atau, bisa juga ‘mak’ dalam pemakaian lain lagi. Benar saja! Kata ‘mak’ memang muncul dalam berbagai kesempatan berbahasa.

Dalam pertunjukan wayang, saat adegan limbukan, lazimnya muncul dua tokoh perempuan, yang satu kurus sekali, sedangkan yang satunya lagi super gemuk. Orang Jawa menyebutnya, Limbuk untuk yang berbadan ‘mblembeng’, sedangkan Cangik untuk yang ‘garing’ atau ‘nyringking’.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Limbuk juga sering disebut ‘mak’ oleh Cangik yang kurus itu. Jadi benar bukan, bunyi bahasa memang merepresentasikan maknanya, sekalipun tidak semuanya. Jadi, bunyi-bunyi bahasa itu memang mengikonkan wujud atau bentuknya. Kalau Anda pernah pergi ke desa-desa, pasti Anda mengenal ‘orong-orong’, yang suaranya memang ‘ngorong’ terusmenerus. Dia berhenti sejenak hanya ketika ‘digedruk’ sebelahnya dengan kaki. Saya senang sekali ‘nggedruk’ waktu kecil.

Nah, kalau Anda ke daerah- daerah pegunungan, pasti Anda mengenal ‘ereng-ereng’ atau ‘pereng’. Bentuk sifatnya ‘ngereng’ atau ‘ngereng-ereng’. Nah, kalau di tempat itu ada ‘oyer-oyer’ yang terus-menerus, lalu dinamakan ‘gareng’. Jadi, memang di ‘pereng’ atau ‘ereng-ereng’, banyak bunyi ‘oyer-oyer’ binatang yang disebut ‘gareng’ atau ‘garengpung’. Garengpung muncul lazimnya ketika musimnya sudah masuk bulan ‘mareng , yakni musim kawin bagi binatang.

Maka, tulisan minggu lalu selayaknya harus ditegaskan, yakni bahwa ikon-ikon kebahasaan tidak pernah dapat dipisahkan dari bentuknya. Dalam linguistik ada yang menyebutnya bentuk ikonis, tetapi ada pula yang menyebut onomatopis. Sejalan dengan yang disebutkan, dalam tataran bahasa berbeda, dapat pula dikatakan bahwa variasi kebahasaan yang digunakan orang merepresentasikan informasi sosial yang berkenaan dengan pemerantian variasi kebahasaan itu.

Bila pada suatu saat Anda disapa orang ‘apa kabar’, dan jawaban Anda, ‘h ’ pasti makna atau maksud yang ada di balik itu adalah bahwa Anda sudah berhubungan erat dengan si penyapa itu. Akan tetapi, kalau Anda ditanyai dengan bentuk sama oleh orang yang berbeda, tetapi kemudian menjawab, ‘Terima kasih, Bapak. Saya baik-baik saja. Bapak saya harap juga demikian?’, hampir dapat dipastikan bahwa Anda berhubungan formal dengan penyapa yang beramah-ramah dengan Anda itu.

Mungkin sekali penyapa menempatkan Anda sebagai orang yang tidak perlu dianggap berdistansi atau berjarak sosial dengannya, karena ternyata dia menyapa dengan tuturan yang lazim digunakan rekan Anda. Akan tetapi, Andalah yang merasa bahwa relasi Anda dengannya tidak seakrab dengan teman sendiri seperti ditunjukkan itu. Jadi jelas, variasi bahasa (language variation) yang digunakan seseorang, pasti mengindikasikan informasi sosial tertentu.

Atau, dapat juga dibalik pemahamannya, yakni bahwa bentuk kebahasaan tertentu muncul sebagai hasil informasi sosial (social information) yang sebelumnya ddidapatkannya. Pasti pembaca budiman masih ingat ketika beberapa bulan lalu saya sekilas menuliskan ihwal bentuk ‘mak’ seperti pada ‘mak guwek’. Seperti disebutkan di awal, dalam masyarakat Jawa, makna ‘mak’ sungguh luar biasa.

Dalam limbukan seperti tadi, ‘mak’ diperantikan untuk menyebut Limbuk yang ‘mblembeng’ nan ‘mlembung’, oleh Cangik. Selain badannya ‘kering-garing’ alias ‘nyringking’, perempuan itu juga tampilannya ‘nyathis’. Bentuk ‘mak’ mungkin sekali berbentuk lengkap ‘e mak’, dan sering digunakan variatif sebagai ‘mak e’. Dalam bahasa Jawa, ‘e mak’ atau ‘mak e’ atau ‘mak’ saja, pasti tidak jauh maknanya dari ‘mbok’ atau lengkapnya ‘embok’ yang lalu sering divariasi dengan ‘mbok e’, dan banyak pula diganti ‘simbok’.

Maka, ‘mak’ dalam konteks  penyebutan seperti di depan itu pasti dekat maknanya dengan ‘mbok’ atau ‘simbok’. Bentuk ‘mak e’ sepertinya berjajaran dengan ‘mbok e’, seperti halnya ‘si mak’ yang berdampingan dengan ‘si mbok’. Kalau ‘mak’ dalam pemakaian itu menunjuk pada ‘nomina’ atau benda, dan dalam penyebutan sering berganti kelas ‘pronomina’ atau kata ganti, maka ‘mak’ pada ‘mak plenyik’ seperti pada judul di atas merupakan adverbia atau keterangan.

Bentuk ‘plenyik’ dapat dikelaskan sebagai ‘verba’ atau kata kerja, atau dalam keadaan tertentu dapat dianggap adjektiva, maka ‘mak’ sesungguhnya bertugas menjelaskan verba dan/ atau adjektiva itu. Maka, dalam ‘Wuah, ternyata hanya mak plenyik’, bentuk ‘plenyik’ jelas merupakan keterangan verba ‘ternyata’. Selain menjelaskan verba ‘ternyata’, karena posisinya dalam konstelasi kalimat itu pula, ‘mak plenyik’ dapat dianggap penjelas keseluruhan kalimat.

Bentuk ‘mak’ sendiri merupakan adverbia karena menjelaskan ‘plenyik’ yang adalah adjektiva itu. Nah, kadang-kadang tanpa kata-kata yang mendahuluinya, seseorang dapat mengatakan ‘mak plenyik’ kepada sesamanya, untuk menunjukkan rasa kecewa terhadap orang yang sedang dibantu atau dilayaninya. Nah, bentuk kebahasaan demikian ini dapat dianggap sebagai adverbia.

Adapun entitas yang diterangkan adalah keseluruhan peristiwa yang terjadi di antara ketiganya, yang tidak diceritakan di sini tetapi jelas ada dan bersama-sama dipahami para pelibat pertuturan itu. Makna ‘mak’ lain, di samping yang disebutkan di atas adalah makna keugaharian. Sesuatu yang terjadi di masa lampau, tetapi kemudian direkonstruksi dan diugaharikan dengan pemerantian ‘mak’.

Ketika orang sedang menceritakan sesuatu yang terjadi—katakan saja ledakan bom—lalu diminta mengulang kembali bunyi ledakan itu, dia akan mengatakan, ‘mak gler’ atau ‘mak lher’, atau ‘mak glur’. Orang Jawa menggunakan ‘mak’ untuk menunjukkan bahwa peristiwa masa silam itu sekarang ini sedang direkonstruksi kembali. Ketika seseorang menceritakan peristiwa tabrakan, misalnya saja, bentuk yang muncul adalah ‘mak bres’ atau ‘mak breg’ atau ‘mak brak’.

Barangkali para koruptor yang mendapatkan milyaran rupiah mengatakan, ‘mak glundhung’ pada suami atau istrinya di rumah. Orang yang mati menenggak ‘lapen’, sebelum benar-benar ‘pening’ dan ‘bablas’, mungkin mengatakan ‘wuah, mak gleg’. Anak saya yang kecil kalau melaporkan celananya yang robek mengatakan, ‘bapak- bapak, celanaku mak wek’. Kalau istri saya, dia akan bilang, ‘lho, wis mak wek tho Mas!’ Atau bisa pula, ‘wuah, rung-rung kok wis mak greng!, tentu untuk maksud yang lainnya.

Yeah, bentuk ‘mak’ yang di antaranya berhakikat adverbia itu memang benar-benar produktif. Ternyata, para mahasiswa yang sedang mendengarkan cerita saya dengan berkali-kali memakai bentuk ‘mak’ seperti pada ‘mak plenyik’ di atas itu pun mudah paham. Artinya, kata bernilai rasa ini mungkin suatu saat akan dapat diterima dalam pemakaian bahasa Indonesia, kendati sebatas bahasa lisan.

Oleh R. Kunjana Rahardi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya