SOLOPOS.COM - Pemilik Cil-Cil Craft, Tesori Dewarthi, menata mainan edukasi yang ditawarkan di tokonya yang ada di Jl. Kapten Mulyadi No.69 Solo, Selasa (19/4/2016). (Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)

Produsen mainan edukatif harus berjuang dalam memperoleh pengakuan standar SNI.

Solopos.com, SOLO – Suara mesin pemotong terdengar menderu dalam rumah No. 30 ada di kompleks Perumahan Wonorejo, Karanganyar. Pria yang mengenakan kaos oblong berwarna putih dengan cekatan memotong lembaran kayu berbahan medium density board (MDF). Serbuk-serbuk kayu pun beterbangan di dalam rumah saking kencangnya alat pemotong kayu itu berputar.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pria bernama Eko Mulyono itu kemudian mengumpulkan potongan MDF dalam satu tumpukan. Tumpukan potongan kayu berukuran 30cm x 20cm tersebut kemudian diserahkan kepada lima orang pekerja yang ada di teras rumah.

Tanpa dikomando, para pekerja langsung meneruskan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang bertugas mengelem gambar ke atas permukaan MDF, membuat kolongan, mengelem, mengamplas, hingga memotong dalam bentuk ukuran kecil. Ya, mereka tengah membuat mainan puzzle.

Semula, produsen puzzle bermerek Otak-Atik ini melakukan kegiatan produksi di Gilingan, Banjarsari. Seiring dengan berkembangnya usaha, kegiatan produksi dipindah ke kompleks Perumahan Wonorejo, Karanganyar.

Perkembangan kapasitas produksi itu terjadi setelah Otak-Atik berhasil mengantongi SNI dari pemerintah. Sebelumnya, pemilik Otak-Atik, Eko Mulyono, harus menelan pil pahit setelah lebih dari 5.000 mainan puzzle buatannya dikembalikan distributor karena belum memiliki SNI.

“Salah satu puzzle buatan saya waktu itu terkena razia dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) di kawasan Jawa Timur karena tidak ada SNI. Akhirnya, toko mengembalikan puzzle ke distributor dan semuanya akhirnya dikembalikan ke saya. Ya waktu itu ada sekitar 5.000 biji,” ungkapnya saat ditemui solopos.com di Perumahan Wonorejo, Karanganyar, Selasa (19/4/2016).

Atas tuntutan tersebut, dia akhirnya berinisiatif untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan SNI pada pertengahan 2015. Setelah berkali-kali berkonsultasi kepada Disperindag Solo, dia akhirnya melakukan prauji laboratorium ke Lembaga Sertifikasi Produk Balai Besar Kerajinan dan Batik (LSPro BBKB) Yogyakarta.

Upaya memperoleh SNI tidak semulus yang dia kira. Pria berusia 44 tahun itu sempat gagal dalam tes prauji coba pertama. Cat yang dia gunakan belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Setidaknya ada 17 warna cat yang diuji di LSPro BBKB.

“Tapi saya tidak mau menyerah karena saya tidak akan bisa menghidupi anak istri saya. Saya coba lagi tes yang kedua, waktu itu tes lem kayu dan kanji dan Alkhamdulillah lolos,” katanya. Tes yang ketiga dia menguji fisik puzzle dan berhasil.

Tes yang keempat dia mengulangi tes cat yang digunakan untuk mewarnai puzzle. Setelah tiga bulan berpikir keras, dia akhirnya menemukan cat yang pas dan aman untuk anak-anak.

“Tes yang keempat ini saya mengulangi tes pertama yang gagal. Setelah tiga bulan akhirnya ketemu bagaimana cat yang pas. Dulu sempat pusing saya, bagaimana bisa cat yang biasa ada di pasaran tidak lolos SNI. Tetapi akhirnya ketemu juga,” imbuhnya.

Tak terhitung jutaan rupiah biaya yang telah dia keluarkan. Dia akhirnya difasilitasi Disperidag untuk uji SNI selanjutnya di Jakarta. SNI akhirnya turun pada akhir 2015 dan disusul Nomor Registrasi Produk (NRP) dari Kementerian Perdagangan.

Puzzle buatannya kemudian bisa diterima lagi di pasar setelah mencantumkan logo SNI. Total ada 18 gambar puzzle yang telah mendapatkan SNI. Produksinya juga meningkat pesat dari 1.500-an puzzle menjadi 3.000-an puzzle per bulan. Puzzle dijual dari Rp6.500-Rp8.500.

Selain Eko Mulyono, masih ada satu lagi pemilik IKM yang juga berhasil mengantongi SNI. Dia adalah pemilik Cil-Cil Craft, Herumanto Moektijono. Pemilik usaha bermacam mainan edukasi ini mulai menyadari pentingnya SNI setelah muncul Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013.

“Mau tidak mau, produk mainan memang harus SNI karena peraturannya memang begitu. Akhirnya saya ikut program dari Disperindag Solo dan mengikuti tes SNI di LSPro Jogja,” katanya saat ditemui solopos.com di Cil-Cil Craft yang beralamat di Jl. Kapten Mulyadi No.69 Solo, Selasa (19/4/2016).

Beruntung, kala itu dia langsung lolos prauji tes di LSPro BBKB. Dia akhirnya didaftarkan uji SNI di LSPro BBKB melalui Disperindag. Namun, beberapa hal seperti akomodasi dan biaya lain ada pula yang ditanggung sendiri.

Kembangkan Pasar Modern

Perajin merampungkan proses pembuatan puzzle di kompleks Perumahan Wonorejo, Karanganyar, Selasa (19/4/2016). Puzzle buatan Otak-Atik itu kini sudah mengantongi SNI. (Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)

Perajin merampungkan proses pembuatan puzzle di kompleks Perumahan Wonorejo, Karanganyar, Selasa (19/4/2016). Puzzle buatan Otak-Atik itu kini sudah mengantongi SNI. (Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)

Pada akhir 2015, SNI akhirnya turun untuk 12 jenis mainan, seperti puzzle, balok joglo, balok pura, papan huruf lengkap rumah, papan angka lengkap roti, maze loko, maze bunga, dan wire game. Turunnya SNI ditangkap sebagai peluang yang cukup besar untuk mengembangkan pasar.

Suami Tesori Dewarthi itu berencana mengembangkan bisnis ke pasar modern seperti minimarket, hingga supermarket.

“Sebelumnya hanya mainan ber-SNI yang boleh masuk ke toko modern. Nah kami sudah ancang-ancang untuk memasukinya, sudah ada komunikasi ini tinggal action,” ujarnya.

Dia yakin mainannya bisa diterima pasar. Apalagi, dia juga mengusung konsep redesign pada sejumlah mainan edukasi miliknya. Bahkan, dia juga mengenalkan mainan edukasi berbasis budaya seperti joglo dan tokoh pewayangan.

“Harapannya mainan itu tidak sekadar menjadi mainan edukatif tetapi juga bisa menjadi cinderamata,” harapnya. Mainan dijual mulai Rp10.000-Rp300.000.
Sementara, Kasi Industri Menengah Besar Disperindag Solo, Dwi Puspandari, mengatakan ada sekitar 497 industri kecil menengah (ikm) yang ada di Kota Bengawan. Dari jumlah tersebut IKM yang memproduksi mainan baru terdata dua.



“Dua IKM yang memproduksi mainan ini sudah mendapatkan SNI akhir tahun kemarin. Selain itu, sebenarnya kami juga mencoba mendorong IKM yang memproduksi pakaian bayi. Sebab, sampai saat ini belum ada IKM produsen pakaian bayi yang sudah SNI,” katanya saat ditemui solopos.com di ruang kerjanya, Senin (19/4/2016).

Mayoritas IKM merasa minder terhadap produknya dan akhirnya memilih tidak mendaftarkan SNI. Namun demikian, hal itu bisa menjadi ancaman bagi IKM yang belum mengantongi SNI. Hal itu lantaran masyarakat semakin cerdas memilih barang yang memenuhi standar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya