SOLOPOS.COM - Ibu Syaits Asyam, Sri Handayani, dipanggil sebagai saksi pada sidang kasus dugaan penganiayaan dengan dua terdakwa, Muhammad Wahyudi dan Angga Septiawan, di Pengadilan Negeri (PN) Karanganyar, Rabu (5/7/2017). (Sri Sumi Handayani/JIBI/Solopos)

Mahasiswa UII meninggal, ibunda Syaits Asyam menjadi saksi dalam persidangan kasus penganiayaan peserta diksar Mapala Unisi.

Solopos.com, KARANGANYAR — Sidang kasus dugaan penganiayaan peserta Diksar Mapala Unisi di Tawangmangu, Karanganyar, yang mengakibatkan tiga peserta Diksar tewas, berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Karnganyar, Rabu (5/7/2017).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Karanganyar menghadirkan enam saksi. Mereka meliputi empat peserta Diksar TGC XXXVII Mapala Unisi, Rakesh Ryan Zeva, Landu Jiwangga, Ridho Herlanda, dan Muhammad Kadar, dan dua orang lainnya yakni orang tua Syaits Asyam (salah satu korban meninggal), Abdullah Ardi dan Sri Handayani. (Baca juga: Sidang Digelar, JPU Bacakan Dakwaan Setebal 48 Halaman)

Jaksa memanggil saksi pertama, ibu Syaits Asyam, Sri Handayani. Jaksa bertanya kondisi Asyam sebelum berangkat, kronologi saat menerima kabar anaknya di RS Bethesda Yogyakarta, kondisi Asyam di rumah sakit, dan pembicaraan sebelum Asyam meninggal. Sri batuk beberapa kali sembari menahan isak tangis saat menjawab pertanyaan jaksa.

“Anak saya yang ganteng. Saya histeris waktu lihat kondisinya di rumah sakit. Dia pakai alat bantu pernapasan. Napasnya sedikit-sedikit. Dokter bilang kondisi Asyam. Dokter minta saya catat omongan Asyam. Awalnya saya gemetar, lalu saya lakukan,” cerita Sri di hadapan hakim.

Sri menerima telepon dari lelaki yang mengaku teman Asyam bernama Tegar sekitar pukul 10.30 WIB. Dia sampai di RS Bethesda pukul 11.30 WIB. Sri mendengar dan mencatat pernyataan anaknya tentang penyebab kondisinya saat itu.

“Disabet rotan 10 kali. Leher angkat beban air. Kaki diinjak. Dipukul Yudi. Hanya itu yang dia omongkan. Muka ada sedikit goresan. Semua pernyataan saya kasih ke pak polisi. Dia [Asyam] sempat minta maaf, cium tangan. Lalu ketemu teman SMA. Setelah itu pukul 14.00 WIB lebih, napasnya tersengal-sengal. Saya antar sakaratul maut,” cerita dia.

Sri mengaku tidak berani menyentuh tubuh anaknya. Tubuh Asyam dari kaki hingga dada tertutup selimut. “Saya hanya cium saja. Dia pakai kaus abu-abu lengan pendek. Anak saya waktu itu pakai pampers karena berak-berak terus. Enggak berani pegang takut menyakiti,” tutur dia menjawab pertanyaan jaksa.

Ibu Asyam mengenali sejumlah barang milik anak semata wayangnya itu saat ditunjukkan di persidangan. Hal pertama yang dia kenali adalah sepatu. “Ini sepatu kesayangan anak saya. Iya ini. Saya ingat betul,” tutur dia.

Salah satu hakim anggota juga menanyai Sri tentang kondisi terakhir Asyam. Jawaban Sri tetap sama seperti saat ditanya jaksa.

Sementara itu, salah satu terdakwa, Muhammad Wahyudi, menyangkal pernyataan Sri. Namanya disebut Asyam sebelum meninggal.

“Ada yang benar dan tidak. Yang tidak itu yang pukul berulang-ulang. Enggak ada. Angkat air juga tidak. Injak kaki tidak. Mukul pakai rotan itu enggak. Bukan rotan. Tapi ranting kayu. Enggak tahu kalau luka-luka. Selain itu enggak tahu,” tutur dia saat ditanya hakim mengenai tanggapan terhadap pernyataan saksi.

JPU dalam sidang itu terdiri atas Anon Prihatno, Winarko, Desi Dwi Hariyani, dan Rizky Amalia. Mereka membacakan hasil visum dan autopsi Syaits Asyam. Visum dari RS Bethesda Yogyakarta menyimpulkan ditemukan luka dan memar di sejumlah bagian tubuh Asyam karena benda tumpul. Asyam juga mengalami diare dan radang paru-paru atau pneumonia.

Hasil autopsi dari RSUP dr. Sardjito menyimpulkan terdapat luka memar di kepala dan pendarahan di atas selaput otak, juga gumpalan di ruang jantung. Ahli patologi anatomi menyimpulkan kematian Asyam karena sindrom gangguan pernapasan akut sehingga organ vital kekurangan oksigen.

Setelah Sri, jaksa memanggil saksi dari peserta, yaitu Rakesh Ryan Zeva. Rakesh diminta menjelaskan kegiatan selama diksar, berada di kelompok mana dan dengan siapa, siapa operasional dan melakukan apa kepada siapa, dan lain-lain. Rakesh lebih banyak menjawab tidak ingat, tidak tahu, dan lupa.

“Kami baru tahu Fadhli meninggal. Kondisi Fadhli saat itu lemas. Terakhir lihat di lapangan saat survival. Saya tidak tahu Fadhli dibawa ke mana. Ditampar, ditendang karena melakukan kesalahan, push up, rolling. Ulu hati sakit kaku. Ada luka karena merayap,” tutur dia.

Hakim menegaskan pernyataan Rakesh karena lebih banyak menjawab tidak tahu dan lupa. Hakim membacakan keterangan Rakesh kepada penyidik Polres Karanganyar. Saat itulah Rakesh menjawab iya benar.

Sementara itu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu, menuturkan delapan orang dari LPSK mendampingi sembilan orang peserta diksar yang dipanggil sebagai saksi. Edwin menjelaskan LPSK menerima permohonan pendampingan dari 30 orang peserta yang menjadi korban kekerasan saat diksar.

“Hari ini mendampingi empat orang saksi. Mereka di regu 1. Pekan depan dari regu 5. Kami dampingi agar saat memberikan keterangan bisa bebas tanpa tekanan. Kami memastikan proses hukum berlangsung aman,” tutur Edwin saat ditemui wartawan sebelum sidang.

Dia menjelaskan LPSK akan mendampingi 30 orang saksi peserta hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Keputusan batas waktu pendampingan berdasarkan hasil evaluasi.

“Kami dampingi mulai dari antar jemput dari rumah atau tempat indekos ke lokasi sidang. Sampai kapan [perlindungan]? Tidak terikat keputusan. Kaitannya dengan trauma dan kemungkinan ancaman pascavonis.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya