SOLOPOS.COM - Syafii, ayah dari almarhum Ilham Nurfadmi Listya Adi saat sampai di Rumah Duka RS Bethesda, Senin (23/1). (Arif Wahyudi/JIBI/Harian Jogja)

Mahasiswa UII meninggal,  Ilham Nurfadmi Listya Adi sempat menceritakan penganiayaan yang dialami.

Harianjogja.com, JOGJA — Syafii datang jauh-jauh dari Lombok dengan masygul dan menahan amarah. Selasa (24/1/2017), pria paruh baya bergelar insinyur itu menembus pagi buta untuk menuju Jogja. Dia naik pesawat terbang agar lekas sampai. Hal itu dilakukan setelah mendapat kabar duka tentang anaknya, Ilham Nurfadmi Listya Adi

Promosi BRI Borong 12 Penghargaan 13th Infobank-Isentia Digital Brand Recognition 2024

Syafii pergi sendirian. Pakaian yang dia kenakan pun terkesan ala kadarnya. Kemeja biru yang melapisi kaus putih, celana gelap, dan sepatu pantofel hitam. Dia tak sempat membawa pakaian ganti. Bahkan, ponsel yang berisi nomor-nomor penting pun lupa dibawa. Dia datang sendiri ke Jogja. Istrinya menununggu kabar di Lombok. Baca Juga : MAHASISWA UII MENINGGAL : Mahasiswa Asal Lombok Tuntut Penuntasan Kasus

“Dia [istri Syafii] terpukul karena kepergian Ilham,” ujar Syafii.

Begitu sampai di Bandara Internasional Adisutjipto, Syafii tidak langsung menuju rumah sakit. Hatinya penuh amarah. Dia tidak langsung menuju RS Bethesda, tempat jenazah putranya mengembuskan napas terakhir. Dia malah menuju ke Polda DIY untuk melaporkan dugaan penganiayaan yang menimpa Ilham, bungsu dari empat bersaudara. Oleh petugas di Polda DIY, Syafii diminta melapor ke Polres Karanganyar.

Selanjutnya, Syafii beranjak ke Bethesda. Pada pukul 09.25 WIB, Syafii tiba di rumah sakit. Dia mendapati sang buah hati sudah tak bernyawa. Kesedihan dan kemarahan campur menjadi satu. Tekadnya sudah bulat. Dia akan memerkarakan kematian anaknya lewat jalur hukum. Agar upayanya meminta keadilan lancar, Syafii mengizinkan jenazah Ilham diautopsi.

Syafii yang kelahiran Magelang ini kemudian bercerita tentang anaknya, Ilham yang kuliah di Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Dia ditemani Bambang Supringgo, yang juga paman Ilham.

Pada Minggu (22/1/2017), ponsel Syafii berdering. Itu panggilan dari Ilham, yang sedang belajar di Jogja. Saling bertanya kabar lewat telepon genggam adalah ritual wajib ayah dan anak yang terpisah jarak ratusan kilometer tersebut. Hanya mendengar suara Ilham, rasa kangen yang membekap Syafii dan istrinya seketika hilang.

Di sambungan telepon, Syafii selalu menanyakan kesehatan Ilham. Minggu kemarin, kebiasaan itu juga dia tanyakan, apalagi suara Ilham terdengar lebih lirih daripada biasanya. Syafii lekas menanyakan apakah Ilham sakit.

“Dia menjawab iya. Suaranya sangat lemah. Dia luar biasa sakit,” cerita Syafii.

Syafii kaget. Dia kembali bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dengan suara lirih lewat sambungan telepon, Ilham mengadu perutnya dijadikan sansak oleh seniornya saat diksar Mapala UII di lereng Gunung Lawu.

“Katanya pukulan tidak hanya dengan tangan kosong, tapi juga dengan kayu. Kulitnya dibakar,” kata dia.

Ilham kemudian mengirimkan foto-foto. Kiriman gambar dari anaknya itu mengubah hati Syafii menjadi sebongkah bara. Potret di ponsel memperlihatkan sekujur tubuh Ilham penuh dengan luka memar, termasuk kuku jari yang terkelupas. Syafii berketetapan hati. Dia harus segera ke Jogja.

Keesokan harinya, dia mendapat info susulan. Ilham masuk rumah sakit. Syafii langsung memesan tiket pesawat. Jadwal keberangkatannya Selasa (24/1/2017) pagi. Harapannya adalah mendampingi Ilham agar lekas sembuh. Sayang, asa itu musnah. Belum juga Syafii naik pesawat, dia lagi-lagi mendapat berita. Kali ini lebih mengejutkan dan menyesakkan perasaan. Ilham dikabarkan meninggal dunia, Senin tengah malam. Hati Syafii hancur. Hatinya pedih kehilangan buah hatinya. Dia tidak menyangka telepon Ilham pada hari Minggu merupakan percakapan terakhirnya.

Paman Ilham, Bambang juga ikut syok atas kepergian keponakannya untuk selamanya itu.

“Terakhir kali dia datang ke Magelang akhir semester lalu,” ujar Bambang.

Bambang lah yang mendampingi Ilham pada saat-saat terakhir. Dia betul-betul cemas melihat keponakannya meregang nyawa di Rumah Sakit Bethesda. Tiga kuku di ruas jari kaki mahasiswa semester dua itu lepas. Di beberapa bagian tubuh Ilham juga terlihat gosong.

“Kalau kuku kaki sampai dilepas dan kulit dibakar itu pendidikan kedisiplinannya seperti apa? Itu bukan mendidik disiplin, tetapi menyiksa,” kata pria yang tinggal di Muntilan itu.

Bambang mengetahui Ilham sakit setelah ditelepon Syafii dari Lombok. Seketika itu pula, dia langsung membesuk keponakannnya di rumah sakit. Di rumah sakit, sang paman mendengar cerita tentang diksar yang diikuti Ilham yang nyaris tak terperikan.

Ilham sempat tak sadar ketika Bambang datang menjenguk. Begitu siuman, dia membuat pengakuan kepada sang paman. Perut dan dada Ilham ditonjok berkali-kali. Pemukulnya adalah senior di Mapala UII.

“Yang memukul Ilham banyak, sampai dia tidak bisa mengenali satu per satu,” ucap Bambang.

Tubuh Ilham juga dicambuki menggunakan batang rotan. Kepalanya ditempeleng. Pukulan dan pecutan rotan itu berakibat fatal bagi Ilham.

“Fisiknya tak lagi utuh. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Perutnya membesar karena menerima banyaknya pukulan. Darahnya membeku sampai Ilham berak darah. Saya melihat saja enggak tega,” ujar dia.

Menurut Bambang, Ilham dilarikan ke rumah sakit Senin (23/1/2017) sekitar pukul 09.39 WIB. Beberapa jam sebelumnya, Ilham terjatuh di kamar mandi indekos dan pingsan. Ibu kos dan tetangga kamar langsung membawa Ilham ke RS Bethesda. Ilham sudah kepayahan ketika sampai rumah sakit. Tubuhnya lemas lunglai. Wajahnya pucat.



Kepala Bagian Humas dan Marketing Rumah Sakit Bethesda Nur Sukmawati mengatakan Ilham mengalami luka di dagu dan di perut.

“Ada luka memar di dagu, kemudian perut membesar dan luka di ruas-ruas jemari kaki kanan,” ujar Sukmawati.

Sekitar pukul 16.00 WIB atau enam setengah jam setelah masuk Bethesda, Ilham justru mengeluarkan darah berwarna hitam dari anusnya. Badannya semakin melemah hingga akhirnya pukul 19.30 WIB, dia dimasukkan ke ruang perawatan intensif atau intensive care unit (ICU).
“Tensinya semakin menurun, cuma 80/40 [padahal ukuran tekanan darah orang dewasa dengan kondisi sehat sekitar 120/80]. Dia akhirnya meninggal pukul 24.00 WIB,” kata Sukmawati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya