SOLOPOS.COM - Syafii, ayah dari almarhum Ilham Nurfadmi Listya Adi saat sampai di Rumah Duka RS Bethesda, Senin (23/1). (Arif Wahyudi/JIBI/Harian Jogja)

Mahasiswa UII meninggal korban Diksar Mapala Unisi menjadi tiga orang.

Harianjogja.com, JOGJA — Ilham Nurfadmi Listya Adi, 20, salah satu peserta Pendidikan Dasar The Great Camping (TGC) XXXVII akhirnya meninggal di Rumah Sakit Bethesda, Selasa (24/1/2017) dinihari. Dia menjadi salah satu dari tiga korban keganasan Diksar yang digelar Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Islam Indonesia (Mapala Unisi) di Lereng Gunung Lawu beberapa waktu lalu. Sebelum meninggal, ilham sempat membongkar kebiadaban para senior Diksar kepada orangtuanya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Syafii, dialah ayah dari mendiang Ilham. Pria paruh baya bergelar insinyur itu menembus pagi buta menuju Jogja. Dia melakukan penerbangan dari Lombok untuk menjemput anaknya yang sudah terbujur kaku akibat perbuatan senior-senior Mapala yang kebabalasan dalam menekankan kedisiplinan pada peserta Diksar.

Datang jauh ratusan kilometer di ujung timur Indonesia, bapak empat anak ini datang sendirian. Dia tegar melangkah terburu-buru untuk menjangkau Jogja tanpa didampingi istri, kerabat maupun saudara yang lainnya.

Istrinya ditinggal di rumah karena begitu terpukul dengan kematian anak bungsu dari empat bersaudara itu.

Pria bergelar insinyur ini melakukan penerbangan dari Lombok ke Jogja tanpa persiapan apa pun. Begitu mendengar anak terakhirnya itu masuk rumah sakit, dia sudah berencana untuk ke Jogja. Rencananya Selasa (24/1/2017) pagi dia menuju Jogja. Tiket pun sudah didapat begitu mengetahui Ilham masuk rumah sakit. Sayang, mata Ilham lebih dulu tertutup rapat untuk selama-lamanya  sebelum sempat berjumpa dengan ayahanda untuk yang terakhir kalinya.

Syafii pun datang dengan segala kesederhanaan. Dia sangat terburu-buru, ingin secepat mungkin sampai Jogja menjemput anaknya yang sudah tidak bernyawa lagi. Dia datang berkemeja warna biru, celana kain hitam dan bersepatu hitam. Tapi tanpa membawa pakaian pengganti. Jangankan pakaian pengganti, salah satu handphone berisi nomornya yang pentingnya pun ketinggalan di rumah. Padahal handphone itu berisi sejumlah foto-foto Ilham saat Diksar.

Tepatnya Minggu (22/1/2017) lalu, handphone Syafii berdering. Panggilan itu ternyata dari si Ilham. Seperti biasanya jika si bungsu telepon, Syafii selalu menanyakan kabar termasuk kesehatannya. Komunikasi lewat telepon  bapak dan anak ini selalu menjadi pengobat rindu. Syafii beserta istrinya cukup plong setiap kali usai berkomunikasi dengan Ilham yang kuliah jauh di Jogja. Tapi tidak dengan Minggu itu. Ada yang aneh dengan suara sang anak.

“Saya mencoba menanyakan apakah kamu sakit? Dia menjawab iya. Suaranya sangat lemah sekali, menandakan sakit yang dideritanya luar biasa,” ujar Syafii di Rumah Duka RS Bethesda, Selasa siang.

Kemudian Syafii bertanya kembali tentang sakit yang diderita anaknya itu. Dari situlah terungkap semuanya. Ternyata Diksar Mapala yang diikuti anaknya itu berlangsung sangat tidak manusiawi. Dengan suara lirih lewat sambungan telepon, Ilham mengadu perutnya dipukuli oleh seniornya dalam Diksar.

“Katanya pukulan tidak hanya dengan tangan kosong, tapi juga dengan kayu. Kulitnya dibakar. Kepalanya dipukul,” paparnya.Sekujur Tubuh Penuh Luka

Si ayah ini pun semakin miris ketika mendapati bukti secara visual yang dikirim langsung oleh Ilham. Foto-foto memperlihatkan sekujur tubuh anaknya penuh dengan luka memar, termasuk kuku jemarinya yang terkelupas. Semua itu merupakan perlakuan yang didapat saat Diksar.

Dari foto-foto itulah, rasa marah semakin memuncak. Apalagi akhirnya anaknya itu pergi untuk selama-lamanya akibat perlakuan Mapala yang bengis dalam memaknai Diksar. Faktor itu pula yang menyebabkan Syafii mengambil inisiatif menuju kantor polisi dahulu sebelum datang ke rumah sakit menjemput jenazah.

Pria asal Magelang, Jawa Tengah itu tidak menyangka anaknya meninggal dengan beragam luka seperti itu. Syafii memang punya keinginan anaknya itu kuliah dan meraih gelar sarjana di UII. Alasannya karena kampus itu selama ini dia pandang bisa mencetak sarjana-sarjana yang berkualitas serta menekankan pendidikan islami. Termasuk kakaknya konon juga dari UII.

“Kakaknya ini juga aktif di organisasi Mapala, hingga kuliahnya juga lama. Delapan tahun baru lulus,” bebernya.

Cukup lama Syafii bercerita, hingga akhirnya kerabat dari Magelang mendekati dan memapahnya untuk duduk. Di saat momen inilah ia tidak bisa menutupi kesedihannya yang mendalam. Matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

Sementara paman korban, Bambang Supringgo, hingga menyebut Diksar Mapala yang diikuti kepoinakannya itu tak ubahnya wahana penyiksaan. Bambang melihat kondisi fisik Ilham saja sudah miris.

“Kalau kuku sampai dilepas dan kulit dibakar itu pendidikan kedisiplinannya seperti apa? Itu bukan mendidik disiplin tapi menyiksa,” paparnya.

Sosok Bambang ini yang menemani saat-saat terakhir Ilham menikmati sisa hidupnya dalam kondisi mengenaskan. Bambang mengetahui Ilham sakit setelah ditelepon Syafii dari Lombok. Seketika itu pula dia langsung berangkat ke rumah sakit. Di rumah sakit si paman ini pula yang secara langsung mendapati kisah kekejaman yang dialami keponakannya itu selama Diksar berlangsung.

“Perutnya membesar karena banyaknya pukulan, sampai berak darah saya melihat saja enggak tega,” ujarnya mengisahkan.

Perjumpaannya terakhirnya dengan Ilham berlangsung cukup lama. Terakhir kali dia datang ke Magelang akhir semester lalu. Bambang menuturkan, orangtua Ilham ini memang berasal dari Magelang. Tapi sejak lama merantau ke Lombok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya