SOLOPOS.COM - Suasana nonton bareng partai perdelapan final Piala Dunia 2014, antara Brasil melawan Cili di Dusun Lemahbang, Candirejo, Semin, Minggu (29/6/2014) malam. (David Kurniawan/JIBI/Harian Jogja)

Demam piala dunia melanda di seluruh penjuru negeri. Sayangnya, warga di Dusun Lemahbang, Desa Candirejo, Kecamatan Semin. Warga harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah hanya untuk melihat siaran piala dunia. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, David Kurniawan.

Gelaran Piala Dunia memberikan banyak cerita. Kita pastinya akan mengenang gol spektakuler James Rodriguez, penyerang Kolombia kala menundukan perlawanan Uruguay.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Atau, bagaimana kekhawatiran publik Brasil yang harus menunggu hingga adu penalty hanya untuk melihat timnya melaju ke babak perempatfinal dengan menundukkan Cile. Namun, lupakan itu semua karena betapa mahalnya untuk melihat siaran bola di Indonesia.

Tidak perlu jauh-jauh ke wilayah perbatasan di negeri ini, di sebagian wilayah Kabupaten Gunungkidul, terutama di sisi timur ke utara sangat sulit untuk bisa menangkap siaran televisi nasional.

Salah satunya terlihat di Dusun Lemahbang, Desa Candirejo, Kecamatan Semin. Jadi hal yang lumrah bila setiap rumah terpasang instalasi parabola, hanya untuk melihat siaran TV.

Warga Dusun Lemahbang menjadi potret kecil dari jutaan warga Indonesia yang kesusahan menangkap siaran langsung piala dunia 2014. Hal ini dikarenakan kondisi geografis membuat daerah ini kesullitan menangkap siaran-siaran TV nasional, tak terkecuali stasiun yang menanyangkan siaran piala dunia.

Padahal, secara jarak dengan pemancar tidak terlalu jauh, karena mayoritas TV nasional memasang relay siaran mereka melalui pemancar-pemancar TV di Kecamatan Patuk.

Sayangnya, jarak ternyata tak berepengaruh apa-apa, karena tetap saja mereka kesusahan menangkap siaran-siaran tersebut. Untuk itu, warga banyak yang berharap dari keberadaan satelit Palapa dan Telkom, karena lewat parabolalah mereka bisa menyaksikan hiburan di TV.

Sementara, penggunaan antena konvesional bukan solusi, karena pasti akan sulit untuk menangkap siaran-siaran tersebut, kalau pun bisa, gambarnya dipastikan tidak akan jernih.

Permasalahan warga tidak cukup sampai disitu. Sebab, meski sudah memiliki parabola ternyata masih sulit untuk menyaksikan siaran langsung, terutama berkaitan dengan pertandingan sepak bola.

Jangankan gelaran Piala Dunia atau liga-liga terkemuka di muka bumi ini, untuk siaran Liga Indonesia tak luput dari acakan, oleh pemegang hak siar pertandingan tersebut.

Solusinya, banyak warga yang berharap pada para hacker untuk memberikan kode yang digunakan untuk membobol acakan siaran yang diinginkan. Biasanya, kode-kode ini bisa didapatkan melalui situs-situs jejaring sosial yang ada.

Ada beberapa cara agar digunakan agar bisa menyaksikan gelaran pesta bola tiap empat tahun sekali itu. Selain berharap ulah usil dari para hacker, siaran ini bisa dilihat melaui decoder resmi piala dunia. Namun, masyarakat harus merogoh kocek dalam, karena satu decoder paling murah dibanderol Rp1,2 juta.

Sugiyarto, salah seorang peserta nonton bareng di Dusun Lemahbang, Desa Candirejo, Semin mengatakan sebenarnya, untuk bisa menyaksikan siaran piala dunia masih ada satu cara, yakni dengan jalan melakukan tracking parabola.

Cara ini dilakukan dengan cara merubah arah tangkapan sinyal parabola. Biasanya, arah yang dituju ke satelit-satelit milik luar negeri seperti Asiasat, Chinasat.

Namun, untuk tracking dibutuhkan keahlian tersendiri. Untuk pemula, bisa dipastikan akan mengalami kegagalan, karena sulitnya menentukan titik koordinat yang diinginkan atau arah satelit yang akan dituju. Jadi, solusinya adalah dengan melihat dengan jalan nonton bareng.

Meski demikian, para penonton tidak akan bebas, apalagi siaran yang ditangkap tengah malam. Akibatnya, suasana nonton bareng juga harus memperhatikan kondisi lingkungan sekitar.

“Mau gimana lagi, ini satu-satunya cara untuk melihat bola. Mau beli alatnya sendiri juga butuh biaya yang tidak sedikit. Apalagi untuk menambah alat tracking secara otomatis, pasti butuh biaya yang lebih banyak lagi,” ungkap dia.

Sementara itu, inisiator nonton bareng yang juga pemilik rumah Arianto mengakui butuh uang jutaan rupiah untuk mengumpulkan alat-alat tersebut. Pasalnya, di rumahnya terdapat 5 instalasi antena parabola.

Tiap-tiap antena diarahkan ke masing-masing satelit luar negeri. Malahan, terkadang dia juga membutuhkan jaringan internet untuk menunjang kelancaran dalam menangkap siaran.

“Ya kalau satunya tidak bisa, maka bisa menggunakan satelit luar negeri lainnya. Kalau harganya pokoknya ada deh, yang jelas lebih mahal dari harga bisa dua kali decoder resmi yang saat ini dijual, atau malah bisa lebih,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya