SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Waaah…
wahhh… kendaraan luar kota
tumplek
blek
di Jogja. Semua jadi macet. Motor
pun gak bisa lewat,” begitu Mas Suto, tiba-tiba
nyerocos saat datang di angkringan Pakdhe Harjo yang mangkal di dekat
Plengkung Gading, Jumat malam.

Lha
kae
, lihat di perempatan Gading saja
mobilnya berderet sampai puluhan meter,” imbuh dia lagi.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kenapa
sih Mas, kok tampak
anyel begitu. Ini kan libur Lebaran, biasalah ramai. Harusnya malah
bersyukur karena berarti Jogja masih menjadi daya tarik,” sahut
Noyo yang sudah sedari tadi duduk menikmati kopi kental manis di
angkringan itu.

Sebenarnya
apa yang dikatakan Suto benar adanya. Sudah dua hari, sejak Kamis
lalu, jalan-jalan di Jogja sepertinya hanya diisi hanya mobil saja.
Sepeda motor yang biasa lincah meliuk-liuk di ruas jalan, sudah
kehilangan
space untuk beraksi.

Mas Suto
sambil memesan teh kampul, yakni teh dicampur dengan jeruk yang
diiris dan dimasukkan ke dalam gelas, menjawab pertanyaan Noyo.

Aku
sih bukan
anyel dengan mereka yang datang ke Jogja. Itu malah bagus, saya appreciate dan menyambut hangat mereka,” tutur
Suto, sok nggaya mencampur dengan bahasa Inggris. Maklum dia
kadang-kadang harus menggunakan bahasa Inggris dalam kerjanya.

Yang
saya
gumuni, kejadian seperti ini selalu terulang tanpa ada solusi. Itu yang bikin anyel, tidak ada solusi…!” tegasnya sambil mengayunkan tangannya
menepuk-nepuk lis angkringan Pakdhe. Harusnya, dalam pandangan Mas
Suto, harus ada manajemen transportasi yang mumpuni untuk mengatur
lalu lintas agar tidak terjadi penumpukan kendaraan di beberapa ruas
jalan utama. ”Semua orang ingin ke Malioboro, akibatnya kemacetan
terjadi di ruas-ruas jalan di sekitar Malioboro. Ada efek domino yang
merugikan pemakai jalan lain,” paparnya panjang lebar.

Ya
benar juga sih. Mungkin kemacetan di Jogja itu hanya kecil saja.
Kalau baca berita, kendaraan dari Jogja juga bikin macet di jalur
kota. Di Gombong sama Jalan Magelang macetnya sampai 10 kilometer
panjangnya. Itu
kan luar
biasa
ruwet-nya,”
sambung Noyo mengiyakan.

Pakdhe
Harjo ikut nimbrung dengan menyodorkan koran. ”Di Gombong itu
gara-gara ada persimpangan kereta api, yang di Magelang macet
gara-gara jalan yang menyempit. Nek
nganggo jalan pikirannya Mas Suto, kan persimpangan kereta api itu sudah ada
puluhan tahun, dan tiap tahun ada masalah, kok ya gak dicarikan jalan
keluar. Buat jembatan layang atau jalan bawah tanah
gimana gitu,” ujar Pakdhe.

Itu
yang saya sebut cerdas. Pakdhe Harjo cerdas! Meski hanya terlihat
sepele, tetapi itu tidak pernah dilakukan pemerintah yang sudah
berganti tujuh kali. Bayangkan solusi cerdas saja bisa muncul dari
angkringan seperti ini,” kata Mas Suto mengacungkan jempol ke arah
Pakdhe Harjo.

Mas Suto
lalu menyambung dengan petuahnya panjang lebar. Ia menyebutkan
pemerintah harus mulai membuat skala prioritas untuk mencari
pemecahan masalah pada tahun-tahun mendatang. Sebab tradisi mudik
yang sudah berlangsung puluhan tahun, akan tetap dilakukan
tahun-tahun mendatang. Tugas pemerintah memberikan rasa aman kepada
warganya yang ingin bersilaturahmi ke kampung halaman.

Sungguh
menyedihkan kalau lihat data kecelakaan lalu lintas yang selalu
mengakibatkan ratusan nyawa melayang, karena selain faktor
human
error,
juga karena sarana dan prasarana
untuk mudik tidak memadai. Jalan berlubang lambat ditambal. Coba
kalau naik bus atau kereta api nyaman dan murah, pasti orang milih
naik bus daripada naik sepeda motor yang berisiko tinggi,” papar
Mas Suto. Pakdhe Harjo dan Noyo manggut-maggut saja, mengamini
ceramah Mas Suto.

Tapi
gimana lagi ya Mas. Macet itu
kan dirasakan rakyat saja. Para pembuat keputusan selalu nyaman je kalau bepergian. Tidak pernah kena macet, karena di depan mobilnya
selalu ada
voorijder dengan sirinenya. Jadi mereka gak pernah susah di jalan,” kata
Noyo.

Nah
itu dia yang
gemblung!
Itu namanya pemimpin yang nggak membumi
babar blas. Bagaimana bisa empati atau
simpati sama rakyatnya kalau gak pernah lihat penderitaan rakyat.
Kuwi uga sing marakke anyel!”
sahut Mas Suto berapi-api. Melihat Mas Suto terpancing emosinya, Noyo
buru-buru menenangkan.

Wis
wis
Mas, tenang,
rasah emosi ngono kuwi.
Solusinya ya
besok jangan nyoblos lagi pemimpin
sing
ra dong
nasib rakyat. Ojo
milih merga bagus utawa ayu uwonge tapi kosong visine

Pilih sing ngerti lan paham rakyat
wae.
Setuju to?” timpal Noyo. Resep Noyo cespleng juga, Mas Suto jadi
lebih tenang, dan mulai
nyeruput teh kampulnya. ”Wasyemik, isih panas…! Noyo dan Pakdhe Harjo tertawa ngekek…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya