SOLOPOS.COM - Mahasiswa pencinta alam Universitas Indonesia (UI) Jakarta melakukan penelusuran goa dan sungai bawah tanah di Luweng Grubug di Dusun Jetis Wetan, Desa Pacarejo, Semanu Gunungkidul, Juni lalu. Luweng Grubug berada di Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu menjadi saksi bisu sejarah penghilangan sekitar 600 orang yang menjudi korban dalam pemberantasan sisa-sia PKI di era tahun 1966-1968. Luweng vertival berkedalaman 90 meter ini kini menjadi wisata minta khusus yang dikelola pihak swasta. (Foto: Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

 

Mahasiswa pencinta alam Universitas Indonesia (UI) Jakarta melakukan penelusuran goa dan sungai bawah tanah di Luweng Grubug di Dusun Jetis Wetan, Desa Pacarejo, Semanu Gunungkidul, Juni lalu. Luweng Grubug berada di Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu menjadi saksi bisu sejarah penghilangan sekitar 600 orang yang menjudi korban dalam pemberantasan sisa-sia PKI di era tahun 1966-1968. Luweng vertival berkedalaman 90 meter ini kini menjadi wisata minta khusus yang dikelola pihak swasta. (Foto: Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

GUNUNGKIDUL – Organisasi masyarakat Lakpesdam dibawah Nadhlatul Ulama (NU) mengajak seluruh masyarakat untuk tidak lagi memadang sebelah mata dan bersikap diskriminatif terhadap anggota masyarakat yang menjadi korban penumpasan PKI di era 1966-1968 silam.

Ekspedisi Mudik 2024
Pejabat Divisi Advokasi Lakpesdam NU Gunungkidul Heri Kriswanto mengatakan lambat laun korban kekerasan dalam peristiwa sejarah tahun 1966-1968 di Gunungkidul sudah menunjukkan perkembangan cukup bagus.
Sedikit demi sedikit pendampingan bagi korban PKI mulai memperoleh haknya kembali baik dalam akses ekonomi, sosial dan politik.
“Untuk hak sosial masih terus kami upayakan agar tidak ada diskriminasi dari masyarakat sekitar tinggal. Ini yang memang masih terus diupayakan agar tidak ada lagi pembedaan masyarakat,” kata Heri Kriswanto ditemui JIBI/Harian Jogja di Playen, Gunungkidul, Minggu (30/9/2012).
Menurut Heri, puluhan korban pemberantasan PKI 1966-1968 dampingan Lakspedam NU telah mulai mendapatkan persamaan hak seperti jaminan kesehatan, raskin, dan akses modal serta hak politik baik persamaan KTP hingga penggunaan hak pilih.
“Justru masyarakat awam sendiri yang masih sering memnadang sebelah mata dan bersikap diskriminatif. Ini yang harus terus dipahamkan kepada masyarakat agar diskriminasi sosial tidak terjadi lagi,” katanya.
Lakpesdam NU Gunungkidul kini tengah memperbaiki pendataan korban 1966-1968 di Gunungkidul bekerja sama dengan wadah paguyuban dipimpin Margiyo korban pengasingan pulau buru karena tuduhan keterlibatan langsung PKI.
Selama ini pendampingan pemberdayaan ekonomi baru menyasar tiga kelompok korban kekerasan 1966-1968 yang dalam waktu dekat akan dilakukan kunjungan ke beberapa home indutry untuk memberikan pelatihan produksi dan pemasaran usaha kecul menenagh untuk peningkatan usaha produktif sebagai tindak lanjut dari program PNPM tahun lalu.
Tiga kelompok masyarakat binaan tersebut Mawar Indah di Sumbermulyo, Kepek, Wonosari beranggotakan 30 anggota, Sido Maju di Ponjong beranggotakan 30 orang dan kelompok Nggowo Berkah di daerah Rongkop beranggotakan 21 orang.
“Masih banyak lagi lainnya yang perlu mendapatkan persamaan hak baik ekonomi, akses modal, sosial dan politik,” ujarnya.
Terpisah, penasehat Lakpesdam NU Gunungkidul Zaenuri Iksan menambahkan menambahkan pemulihan hak-hak korban penumpan PKI perlu terus dilakukan semua elemen masyarakat. Terlebih di Gunungkidul korban ini dikatakan ‘korban sejarah’ yang tidak tahu apapun soal PKI.
“Banyak yang di-PKI-kan padahal dulu hanya sekolah dan nonton pertunjukan Lekra. Ini yang harus dipahamkan pada masyarakat luas agar tidak sebelah mata memandang korban PKI,” pungkas Iksan.
Sementara dari pantauaan selama sepekan mendekati peringatan 30 September di gua Grubug di tengah ladang Desa Pacarejo Kecamatan Semanu terdapat beberapa keluarga yang berziarah menabur bunga dan berdoa.
Rombongan keluarga dari Jogja yang enggan disebutkan namanya itu memiliki keyakinan dari berbagai penelusuran dilakukan, salah satu kerabat terakhir dibuang di gua grubug bersama ratusan korban lain pada era pemberantasan PKI di era tahun 1968 silam. “Kami hanya pasrah. Dan berdoa untuk simbah saya di gua,” kata seorang pengusaha wanti-wanti namanya tidak disebut.
Kepastian adanya Gua Grubuk digunakan pemerintah untuk mengekskusi masal ratusan korban peristiwa pada tahun 1966 dari DIY dan Jateng dibenarkan sumber Harian Jogja bernama Hadi Tukiran, 87, pensiunan TNI–Angkatan Darat (AD) warga RT 007/100 Jeruksari Kepek Wonosari.
Dia menyatakan dirinya sebagai saksi kejadian karena menjalankan tugas kedinasan selaku eksekutor penembak aktivis PKI sebelum mayatnya dibuang di dasar sungai bawah tanah berkedalaman hampir 100 meter. Tugas itu diterima Hadi Tukiran oleh semasa Komandan Kodim Gunungkidul dijabat Letkol Suwondo dan Projo Manggolo Pemkab Gunungkidul dan Inspektur (pol) Parno.

Orang-orang diduga kuat aktivis sayap PKI seperti Lembaga Kesenian rakyat (Lekra), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), PR (Pemuda Rakyat), Barisan Tani Indonesia (BTI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI-Non Fak Sentral), (Ikatan Pelajar Pemuda Indonesia (IPPI) termasuk Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) dari berbagai daerah dieksekusi diGrubuk berada ditengah ladang yang sepi ini.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya