SOLOPOS.COM - Jojo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Gula merupakan salah satu pangan pokok strategis dalam perekonomian Indonesia. Dua hal yang mendasarinya. Pertama, peran vital komoditas tersebut sehingga tak tergantikan guna memenuhi kebutuhan kalori rakyat Indonesia maupun industri makanan dan minuman.

Kedua, gula merupakan sumber pendapatan sekitar satu juta orang petani tebu dan dua juta orang tenaga kerja yang terlibat dalam sektor perkebunan tebu nasional. Tingkat konsumsi gula orang Indonesia mencapai 32 gram per orang per hari.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Produksi gula nasional sulit beranjak dari dua juta ton hingga 2,5 juta ton per tahun. Industri gula nasional pernah mengalami masa keemasan pada era Hindia Belanda, pada 1930, dengan produksi 2,2 juta ton. Angka tersebut menjadikan Hindia Belanda sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Setelah itu, produksi gula kita seperti mati suri.

Pada sisi lain, kebutuhan konsumsi langsung rumah tangga dan industri terus meningkat hingga mencapai lima juta ton. Ada kekurangan tiga juta ton yang dipenuhi dari impor. Angka produksi tersebut tertinggal jauh dibanding angka produksi  produsen utama gula dunia.

Brasil, contohnya, saat ini mampu memproduksi gula mencapai lebih dari 29 juta ton. Kemudian India dengan produksi 29 juta ton. China 11 juta ton. Disusul Thailand lima juta ton.         Impormasih jadi solusi instan pemerintah menutupi kekurangan gula domestik.

Meski volume impor naik turun, tren impor gula hampir selalu naik tiap tahun. Pada 2014 impor gula tercatat sebesar 2,93 juta ton. Pada 2015 naik menjadi 3,36 juta ton. Tren kenaikan impor terus berlanjut,  yakni tahun 2016 impor sebesar 4,74 juta ton, tahun 2017 sebesar 4,47 juta ton, tahun 2018 sebesar 5,02 juta ton, dan 2019 sebesar 4,09 juta ton.

Pada 2020, volume impor gula sampai September 2020 mencapai 4,87 juta ton, naik 19% dibandingkan tahun lalu. Tak mengherankan ketika Statista menobatkan Indonesia menjadi importir terbesar gula dunia periode 2017/2018 mengalahkan Tiongkok dan Amerika Serikat.

Merespons kebutuhan gula yang terus meningkat, pemerintah Indonesia sejak lama telah mencanangkan program swasembada gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Swasembada yang ditargetkan tercapai 2009 diundur jadi tahun 2014.

Penghambat

Hingga tahun giling 2020, rencana swasembada gula dengan semua program kegiatan pendukungnya masih jauh panggang dari api. Entah kapan swasembada gula itu terwujud. Ada beberap faktor penyebab sulitnya swasembada gula.

Pertama, biaya pokok produksi (BPP) gula di dalam negeri yang masih lebih tinggi dibandingkan harga gula internasional. Selama tahun 2020, BPP diperkirakan mencapai Rp9.857 per kilogram, sementara harga white sugar internasional  rata-rata hanya Rp5.465 per kg.

Dengan demikian terdapat perbedaan harga cukup tajam antara gula lokal dan gula internasional. Hal ini menggoda para pemburu renten berlomba-lomba  menjadi importir gula. Sadar atau tidak, hal tersebut malah menghambat program swasembada.

Kedua, produktivitas gula di dalam negeri masih rendah. Rata-rata produksi gula Indonesia berkisar lima ton per tahun. Tentu ini kalah jauh jika disandingkan  dengan produktivitas negara lain seperti Thailand dan India yang rata-rata sebesar sembilan ton per tahun dengan biaya produksi yang relatif sama.

Ketiga, biaya sewa lahan di Indonesia, khususnya di Jawa, semakin lama semakin tinggi. Keempat, alasan tak kalah penting adalah keberpihakan pemerintah terhadap petani tebu masih rendah. Keenam, masalah klasik yang dihadapi industri gula nasional adalah tingginya tingkat inefisiensi di pabrik gula (PG).

Tingkat inefisiensi ini karena banyak peralatan sudah tua. Saat ini jumlah PG 66 unit, 53 unit di antaranya PG badan usaha milik negara (BUMN). Dari 53 unit PG BUMN itu 68% pabrik tua, yakni berumur di atas 90 tahun dan 80% ada di Jawa. Akibatnya, kinerja PG BUMN tak maksimal.

Industri gula nasional mengalami perubahan drastis sejak Indonesia jadi pasien ekonomi  International Monetary Fund (IMF) pada 1998. Atas saran IMF yang bersifat memaksa, pasar domestik  dibuka lebar-lebar. Pelbagai subsidi dicabut. Dampaknya, pasar gula internasional langsung terhubung dengan sentra tanaman tebu domestik.

Fluktuasi harga gula dunia langsung ditransmisikan ke pasar gula dalam negeri. Sejak itu, pasar domestik dibanjiri gula impor murah karena dumping dan subsidi negara asal. Dengan demikian, benteng pertahanan petani tebu dan PG kita luluh lantak diterjang gula impor.

Celakanya, Sembilan unit PG tutup dan banyak petani beralih usaha dari pertanian tebu ke usaha tani lain karena secara kalkulasi ekonomi bertani tebu tak menguntungkan lagi. Pemerintah terkesan belum memiliki desain pengembangan industri gula nasional yang berisi strategi komprehensif dan peta jalannya.

Data

Pemerintah mengambil kebijakan impor cenderung reaktif dalam jangka pendek demi menanggapi permintaan pasar. Kebijakan ini juga tidak konstruktif. Hal tersebut tidak ramah terhadap strategi pengembangan industri gula nasional jangka menengah dan panjang. Terlebih terhadap cita-cita mulia swasembada gula.

Data menjadi persoalan serius lainnya yang perlu pembenahan. Pemegang kebijakan dan pemangku kepentingan seharusnya memiliki data yang valid soal kebutuhan gula dan memperhatikan kesejahteraan petani tebu.

Benahilah sektor produksi dan naikkan kesejahteraan petani tebu agar mereka bergairah. Dengan demikian, produksi diharapkan  meningkat. Angka kebutuhan gula setap tahun seyogianyaa sudah diprediksi  jauh-jauh hari sehingga ada target pengurangan impor yang dibarengi  dengan target kebijakan produksi  dalam negeri.

Sinkronisasi data antarkementerian/lembaga bersinergi dengan pemerintah daerah  menjadi sangat penting. Masa pandemi Covid-19 sudah semestinya dijadikan momentum guna meningkatkan kemandirian  produksi gula nasional secara lebih komprehensif dan terukur serta melibatkan peran aktif petani tebu kita.

Selain itu, pemerintah juga perlu  memperbaiki tata niaga gula yang berpihak kepada petani tebu dan industri dalam negeri.  Seruan membenci produk asing sejatinya perlu diimbangi dengan peta jalan pangan dan pertanian yang serius untuk membangun kemampuan dan kemandirian industri gula nasional agar tidak didikte negara asing.



Dukungan dan keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan produk dalam negeri, menolak tekanan global atas nama perdagangan bebas, dan menetapkan regulasi impor agar tidak menjadi jalan menguasai negeri amat penting dan sangat mendesak  jika ingin negeri mandiri dan berdaulat pangan.

Selama  belum memiliki desain kebijakan yang tepat dalam pengembangan industri dan tata niaga gula nasional maka persoalan kelangkaan gula akan terus  mendera berulang-ulang. Jika demikian adanya, lupakanlah mimpi manis swasembada gula.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya