SOLOPOS.COM - Y Bayu Widagdo Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI) Mantan Pemimpin Redaksi SOLOPOS

Y Bayu Widagdo
Wartawan Jaringan Informasi
Bisnis Indonesia (JIBI)
Mantan Pemimpin Redaksi SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Enek juga sebulan ini disuguhi dagelan para petinggi yang mencederai perasaan kita sebagai rakyat biasa. Tidak sampai satu bulan, dua ketua umum partai besar dijadikan tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Yang satu—yang disangka bancakan daging sapi—sudah menjadi menghuni rumah tahanan di Guntur, yang terkenal angker itu. Satunya lagi yang disangka bancakan tanah untuk gedung olahraga mungkin segera menyusul masuk. Bisa jadi tidak hanya mereka berdua yang diambil KPK.

Tambah enek lagi melihat berita aneka rumah mewah yang disita lembaga anti rasuah itu dari seorang jenderal polisi. Bagaimana tidak, 10 rumah ukuran besar di berbagai kota!

Bila saja semua rumah itu didapat secara sah dari penghasilannya sebagai anggota polisi, saya sangat bergembira. Artinya, negara ini mampu menggaji seorang petinggi kepolisian dengan sangat layak, sehingga dia dapat membeli aneka rumah plus isinya…

Masalahnya, saya tahu persis ada seorang pensiunan polisi berpangkat melati tiga yang hingga akhir masa tugasnya hanya mampu menyicil rumah tipe 45. Juga seorang brigadir polisi kepala (bripka) yang setia menjalankan tugas dengan sepeda motor cicilan serta tiap dua tahun pindah kontrakan rumah.

Jadi, bagaimana bisa Mas Djoko gampang banget punya rumah hingga 10 unit itu? Tidak usah kita jawab. Sekali lagi, saya enek banget. Untung tadi malam teringat perkataan simbah saya, aja kagetan, aja gumunan.

Jadi, saya tidak membahas soal politik perpartaian, apalagi soal tindak tanduk jenderal yang barangkali sudah lupa Tribrata itu. Saya mau bercerita soal teman zaman SMA, sebut saja Andi, yang secara tidak sengaja bertemu beberapa waktu lalu. Hampir 20 tahun tidak pernah ketemu dia, dan ternyata dia sukses menggeluti bisnis pakaian.

”Kamu seharusnya jangan jadi wartawan. Ingat tidak waktu pelajaran PKK zaman SMA?” kata Andi.

”Kenapa memangnya,” tanya saya. Saya hampir lupa dengan kepanjangan PKK itu. Setelah berusaha, saya baru ingat pelajaran Pendidikan dan Keterampilan Keluarga tersebut. Saya tidak tahu apakah masih diajarkan atau tidak di kurikulum sekolah saat ini.

Hla, kamu cah lanang, tapi kalau pelajaran PKK masak pasti paling cepat memasak. Terus pas materi menjahit, kalau bikin mal baju juga paling cepat selesai dan rapi,” kata Andi mengenang masa lalu.

Saya tersenyum geli mengingat zaman sekolah menengah itu. Ibu Fathonah, guru PKK dulu di Tegal, sampai heran juga karena saya selalu paling pertama menyelesaikan tugas menjahit maupun membuat pola busana.

”Seharusnya kamu masuk bisnis fashion atau pakaian kayak yang aku jalani ini. Atau kuliner wong masakanmu lumayan,” kata dia. Bagi Andi, selama yang namanya manusia masih suka makan enak dan berpakaian modis, maka bisnis fashion maupun kuliner akan tetap menguntungkan.

Andi tidak main-main menjalankan bisnis fashion-nya. Dia sudah memiliki beberapa toko pakaian. ”Ya lumayan hasilnya, ada rumah dan mobil pribadi maupun untuk usaha…Tidak seperti kamu yang hanya mobil dinas…he…he…” Kami berdua tertawa ngakak.

Main Fashion

Apa yang dikatakan Andi ada benarnya. Bisnis fashion bukan bisnis ecek-ecek bila digeluti secara benar dan sungguh-sungguh. Bisnis fashion merupakan salah satu bagian dari ekonomi kreatif yang sedang booming beberapa waktu terakhir.

Per definisi, ekonomi kreatif meliputi bisnis di sektor periklanan, arsitektur, seni, kerajinan, desain, fashion, film, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan perangkat lunak komputer serta video game.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyebutkan di Indonesia industri kreatif memberikan kontribusi 4,7% terhadap produk domestik bruto (PDB) 2006 dan meningkat menjadi 7,3% pada 2008 serta mampu menyerap 3,7 juta tenaga kerja.

Data Kementerian Pariwisata dan EKonomi Kreatif memperkuat peranan sektor tersebut. Pada 2010, sumbangan ekonomi kreatif terhadap PDB tercatat Rp473 triliun, sementara pada 2012 jumlahnya meningkat mencapai Rp524 triliun.

Bisnis fashion sendiri merupakan sektor penyumbang PDB—dari sisi ekonomi kreatif—yang terbesar kedua setelah kuliner. Pada 2012, nilai sektor fashion dalam PDB mencapai Rp164 triliun dengan pertumbuhan industri 5,6% serta mampu menyerap 3,8 juta tenaga kerja.

Sekali lagi, apa yang dikatakan Andi tadi benar. Jelas, bisnis fashion tidak bisa dipandang sebelah mata. Ingatan saya melayang saat berjalan di Distrik Ginza, Tokyo, yang merupakan pusat fashion kota itu. Tokyo menjadi ikon fashion Asia, menyaingi Paris dan Milan di Eropa. Mode berpakaian yang muncul di kota-kota itu pasti tersebar ke seluruh dunia. Tidak hanya sekadar mode, namun juga perputaran uang yang tidak sedikit.

”Nah, apalagi kalau Indonesia bisa ikutan juga mengembangkan industri fashion seperti negara-negara itu…Bisa-bisa kita lebih baik,” kata Andi.

Dari obrolan ngalor-ngidul dengan Andi itu, saya baru tahu bila roadmap pengembangan industri fashion nasional untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat mode dunia sebenarnya sudah ada.  Target jangka pendeknya, pada 2015, Indonesia menjadi pusat mode busana muslim di tingkat Asia. Lantas menjadi pusat tren semua jenis busana diharapkan dapat tercapai pada 2018.

Selanjutnya, pada 2020, Indonesia diharapkan sudah mampu menjadi pusat mode busana muslim tingkat dunia, serta kemudian pada 2025, Indonesia menjadi salah satu pusat semua jenis busana di level internasional.



”Soal target jadi pusat mode busana muslim—baik di tingkat Asia maupun dunia—rasanya menjadi suatu keharusan wong negara kita paling banyak muslimnya,” kata Andi.

Menurut dia, soal fashion busana muslim, buatan Indonesia lebih beragam dan unik ketimbang yang dihasilkan oleh negara-negara muslim lainnya. ”Aku banyak ekspor ke Malaysia dan Timur-Tengah.”

”Jadi, gimana? Tertarik lagi bikin mal baju? Kalau serius main fashion, tidak usah jadi jenderal polisi atau main dagang sapi pun kau bisa beli rumah magrong-magrong.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya