SOLOPOS.COM - BUTUH BANTUAN—Jemiyem (kiri) dan cucunya di rumahnya, Senin (26/3) (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

BUTUH BANTUAN—Jemiyem (kiri) dan cucunya di rumahnya, Senin (26/3) (JIBI/Harian Jogja/Nina Atmasari)

Bangunan itu berdinding bambu. Bukan anyaman bambu yang biasa digunakan untuk dinding rumah, melainkan anyaman bambu yang biasa digunakan untuk alas menjemur gabah. Bentuk bangunan itu hanya kotak, dengan sebuah pintu di bagian depan. Serupa dengan dinding, pintu itu terbuat dari batang bambu.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Jika dilihat sekilas, bangunan mungil itu layaknya sebuah lumbung, dengan dinding dan atap seadanya. Namun siapa sangka, Jemiyem, 58, hidup di dalamnya bersama seorang cucunya, Dianeka Hemalia Putri yang baru berumur 4,5 tahun. Bangunan bambu reyot itu adalah rumah mereka.

Masuk ke rumah yang ada di RT36/RW13 Dusun Sadang, Desa Tanjungharjo, Kecamatan Nanggulan itu kondisinya semakin memprihatinkan. Di ruang yang dianggap ruang tamu, terdapat meja dan bangku kayu. Dari ruangan itu, terlihat jelas dinding samping rumah bagian kiri maupun kanan banyak berlubang karena anyaman bambu yang lapuk.

Lubang-lubang itu bukan sekadar lubang kecil yang bisa dimasuki semut. Hewan pengerat bambu membuat dinding itu hampir mirip jendela. Apa yang ada di dalamnya, akan terlihat jelas dari luar, melalui lubang yang menganga di hampir semua bagian dinding.

Kondisi memprihatinkan tidak berhenti di sini. Ketika bertemu pemilik rumah, semakin teriris hati siapapun yang melihatnya. Jemiyem hanya bisa mengulurkan tangan dan meraba-raba untuk mempersilakan tamunya duduk. Jemiyem yang miskin mengalami kebutaan.

Seorang anak kecil dengan rambut acak-acakan, menggelayut di kaki Jemiyem. “Ini cucu saya,” katanya, kepada Harian Jogja, Minggu (25/3).

Sudah dua tahun, Jemiyem hidup bersama anak dari anak laki-lakinya, Sarjiyanto, 32. Dua tahun lalu, terjadi konflik di rumah itu hingga menantu Jemiyem pulang ke rumahnya di Kalimantan tanpa membawa anaknya yang baru berumur 2,5 tahun. Tidak tahan dengan kemiskinan, Sarjiyanto berangkat merantau ke negeri jiran, Malaysia. Tinggallah Jemiyem bersama cucunya.

Dengan kondisi keterbatasan fisik, ia berupaya merawat Dianeka, mulai memasak makanan, menemani tidur, hingga mengantar ke sekolah. Karena telah menjadi rutinitas, ia bisa melakukannya. Namun karena keterbatasan fisik, Jemiyem tidak bisa bekerja. Ia pun hanya mengandalkan uang kiriman Sarjiyanto, yang tidak tentu datangnya. “Kalau datang uang kiriman, saya dahulukan untuk mencicil utang. Utang Sarjiyanto untuk uang saku saat hendak berangkat ke Malaysia dulu juga belum lunas,” jelas Jemiyem.

Beruntung, warga di sekitar rumah Jemiyem banyak yang sering mengulurkan tangan membantunya, karena prihatin melihat kondisi nenek dan cucunya itu. “Warga sering memberinya uang atau makanan,” ungkap Kepala Dusun Sadang, Pargono.(ali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya