SOLOPOS.COM - Petani merontokkan kedelai di Desa Bendo, Pangkur, Ngawi, Selasa (1/9/2015). (JIBI/Solopos/Antara/Ari Bowo Sucipto)

Luas areal penanaman kedelai di DIY mengalami penurunan drastis dalam 12 tahun terakhir.

Harianjogja.com, JOGJA--Luas areal penanaman kedelai di DIY mengalami penurunan drastis dalam 12 tahun terakhir. Petani enggan membudidayakan kedelai karena dianggap tidak menguntungkan dan rumit. Akhirnya kebutuhan akan kedelai dipenuhi lewat impor karena produksi dalam negeri minim.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Dari data yang dimiliki Dinas Pertanian DIY, luas area tanam kedelai pada 2006 seluas 33.419 hektare. Lalu pada 2007 berkurang jadi 27.628 ha. Penurunan luas area tanam secara masif mulai terjadi pada tahun 2015.

Pada tahun itu, lahan kedelai tersisa 13.886 ha. Lalu pada 2006, lahan kedelai hanya tinggal 6.544. Sedangkan pada 2017 luasannya sejumlah 6.533 ha.

Berkurangnya luas area tanam otomatis mempengaruhi jumlah produksi. Sejak 2013, produksi kedelai di DIY berkurang secara drastis. Pada 2013 produksi kedelai sebanyak 31.677 ton. Kemudian turun drastis jadi 19.597 ton di tahun 2014, 18.822 ton tahun 2015, dan 16.763 ton di tahun 2016.

Kepala Seksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian DIY Anton Raharja mengatakan, kedelai adalah salah satu hasil pertanian yang penting bagi Indonesia, terutama Pulau Jawa yang memang terkenal sebagai penikmat tempe dan tahu, yang merupakan produk olahan kedelai. Oleh karena itulah ia menyebut penurunan luas area tanam sangat ironis mengingat Indonesia di kenal sebagai negara tempe.

Ia mengklaim penurunan luas tanam terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Apalagi sejak tahun 2015, Pemerintah Pusat terus menggenjot produksi padi demi memenuhi ambisi swasembada beras.

“Akhirnya kebutuhan kedelai dipenuhi oleh impor. Terlebih, kedelai impor harganya lebih murah dari kedelai lokal. Ukurannya lebih besar dan tampilannya lebih bagus. Distribusinya juga stabil,” ucap Anton ketika ditemui di Kantor Dinas Pertanian DIY, Rabu (28/3).

Menurut Anton, ada banyak faktor yang membuat petani kedelai akhirnya memilih untuk beralih ke tanaman lain. Pertama, petani kesulitan mendapatkan benih. Hal ini disebabkan karena penangkar benih kedelai sangat sedikit.

Membudidayakan bibit kedelai dipandang terlalu berisiko, karena benih hanya bisa bertahan selama dua bulan. Jika dalam dua bulan tidak terjual, maka pembudidaya akan rugi.

Masalah kedua mengenai harga jual. Menurut Anton, saat ini kedelai lokal harga jualnya hanya Rp5.000 sampai Rp6.000 per kilogram. Padahal, petani baru bisa merasakan keuntungan jika harga sudah di atas Rp6.000.

Problem ketiga adalah proses setelah panen. Ia menyebut, selama ini petani mengeluh kesulitan merontokkan kedelai. “Karena itu ada bantuan alat setelah panen. Penjualan akan dibantu. Pemerintah Pusat juga akan menetapkan harga penjualan produk seperti juga pada beras. Kalau masalah benih, kami sedang mengembangkan desa mandiri benih di lima desa.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya