SOLOPOS.COM - Ilustrasi tanah longsor (JIBI/Solopos/Antara)

Longsor Bantul meluas lantaran ulah manusia.

Harianjogja.com, BANTUL — Zona merah tanah longsor di Bantul meluas. Beberapa titik longsor yang sebelumnya masih masuk zona aman, kini dinyatakan sebagai zona merah, yang berarti merupakan zona dengan tingkat potensi longsor yang cukup tinggi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu disampaikan sendiri oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul Dwi Daryanto. Saat ditemui di kantornya, Kamis (29/9/2016) ia menegaskan meluasnya zona merah itu sebenarnya bukan disebabkan oleh faktor alam saja.

“Tapi ulah manusia juga menjadi penyebabnya,” kata Dwi.

Ia menjelaskan pertambahan jumlah penduduk memang sejalan dengan bertambahnya jumlah hunian. Kenyataanya, bertambahnya jumlah hunian itu kini sudah mulai merambah titik-titik lokasi yang dulunya masih berupa pekarangan dan hutan rakyat, kini sudah berubah menjadi pemukiman.

Beberapa perluasan zona yang dimaksudkannya adalah terjadi di Desa Triwidadi (Pajangan), Seloharjo (Pundong), dan Selopamioro (Imogiri). Hanya saja, sampai sejauh ini, perluasan zona merah itu masih bersifat parsial.

“Hanya terjadi di beberapa spot saja,” ucapnya.

Dijelaskannya, dengan karakter tanah di Bantul yang memiliki tingkat kerapatan rendah, curah hujan yang tinggi memang sangat berpotensi menyebabkan tanah menjadi semakin jenuh. Hal inilah yang lantas membuat tanah tersebut menjadi labil. “Tanah labil, kalau terkena beban bangunan,  pasti akan berpotens longsor,” ucapnya.

Itulah sebabnya, ia berharap banyak pada peran masyarakat. Dengan dibentuknya 12 Desa Tangguh Bencana, ia berharap masyarakat juga berperan aktif dalam meminimalisasi dampak kerugian akibat bencana.

EWS Belum Efektif

Terkait hal itu, Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Kecamatan Piyungan Ahmad Yani mengaku, pihaknya telah melibatkan masyarakat dalam upaya tanggap bencana tersebut. Bersama relawan, pihaknya terus meningkatkan kewaspadan akan kemungkinan longsor susulan, terlebih ketika hujan turun dengan intensitas tinggi. Bersama dengan para relawan lain, Yani mengaku telah memasang alat Erly Warning System (EWS). Alat tersebut dia nilai penting karena dapat mendeteksi kelembapan tanah sehingga warga dapat lebih meningkatkan kewaspadaannya.

Meski begitu, EWS menurutnya juuga belum begitu efektif. Bunyinya yang mirip dengan sirine ambulan kadang membuat warga kesulitan membedakanya. Sehingga dia berserta relawan-relawan yang aktif di berbagai desa di Kecamatan Piyungan kerap berkomunikasi melalui pesawat ra1 KKdio, ataupun pengeras suara masjid. Hal itu menurutnya yang lebih efektif untuk memberikan pengumuman tanda bahaya kepada warga sekitar.

Diakuinya, para relawan terus melakukan pemantauan lokasi rawan bencana untuk mengamati pergerakan stuktur tanah yang labil. Setidaknya, ada 2 desa yang saat ini termasuk zona merah rawan longsor yaitu Desa Srimulyo dan Desa Srimartani. Sedikitnya kata yani terdapat masing-masing 30 relawan yang melakukan pantauan di dua desa tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya