SOLOPOS.COM - Ilustrasi bencana tanah longsor. (Rima Sekarani/JIBI/Harian Jogja)

Longsor Bantul rawan terjadi di sejumlah titik

Harianjogja.com, BANTUL–Hujan deras yang mulai turun dan adanya potensi cuaca ekstrim jadi perhatian serius Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bantul. Pasalnya, bukan hanya ratusan KK di Desa Wonolelo, Pleret saja yang terancam longsor. Bahkan berdasarkan data yang dimiliki BPBD Bantul, sebanyak 2235 KK masih bertempat tinggal di zona merah rawan bencana.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kepala Pelaksana Harian BPBD Bantul, Dwi Daryanto mengatakan ribuan KK tersebut tersebar di hampir semua kecamatan di Kabupaten Bantul. Padahal potensi bencana yang mengancam sangat beragam, khususnya bencana tanah longsor. Hal tersebut dipicu kontur tanah di zona merah rawan bencana biasanya berupa batuan dan padas yang sangat rentan terjadi rekahan saat musim kemarau. Rekahan itu lah yang berpotensi longsor saat hujan deras turun.

“Kalau hanya gerimis malah rekahan akan menutup. Tapi kalau deras ya ambrol,” ujarnya pada Jumat (29/9/2017).

Dwi menuturkan jenis rekahan tanah sangatlah berbeda, yaitu rekahan yang biasanya terjadi karena kekeringan dan rekahan membujur yang berpotensi longsor. Terkait longsor yang terjadi di Wonolelo Rabu (27/9/2017) malam, Dwi menengarai adanya rekahan membujur yang terkena air hujan dengan volume yang besar seketika. Sehingga rekahan ini tidak kuat dan akhirnya ambrol. Rekahan-rekahan ini lah yang saat ini dipantau secara intensif oleh petugas. Pasalanya rekahan ini juga banyak ditemui di beberapa tempat seperti Seloharjo Pundong, Srimaratani, Sitimulyo dan Srimulyo Piyungan. Bahkan untuk rekahan di Kecamatan Piyungan panjangnya mencapai 10 hingga 15 meter. “Sejauh ini kita antisipasi dengan menutup rekahan sehingga ketika hujan tiba-tiba lebat tidak langsung kemasukan air,” terangnya.

Dwi menyebut dari 2008 hingga kini, pihaknya sudah merelokasi 145 KK. Meski demikian, menurutnya program relokasi dinilai bukanlah satu-satunya solusi yang ada. Sebab relokasi ini merupakan langkah mitigasi non stuktural yang responsif. Artinya baru dilakukan jika ada kejadian bencana. Maka pihaknya juga mendorong adanya mitigasi struktural yang sifatnya prefentif. Misalnya dengan penguatan tebing, penghijauan, pembuatan terasering dan penanaman vegetasi.

Dwi menambahkan pada 2017, pihaknya telah merelokasi lima kepala keluarga yang dari Desa Muntuk dan Mangunan Kecamatan Dlingo serta Desa Wonolelo Kecamatan Pleret. Namun relokasi bukannya tanpa kendala sebab warga relokasi tersebut kini menempati tanah kas desa dengan status sewa. Meski hanya berkisar Rp100 ribu pertahun, namun menurut Dwi sewa lahan ini akan berpotensi menimbulkan masalah lain di kemudian hari. Sehingga pihaknya tengah merumuskan sistem lain agar lahan kas desa itu bisa ditukar dengan lahan milik warga yang berada di zona rawan longsor. “Akan dirumuskan dulu regulasinya bagaimana menukar tanah kas dengan tanah warga dengan luasan yang sama,” pungkasnya.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, Koordinator FPRB Wonolelo Ahmad Furqon mengatakan sejak 2014 lalu beberapa warga yang berada di zona rawan bencana sudah berhasil direlokasi melalui skema relokasi mandiri relokasi desa. Relokasi mandiri artinya warga berpindah ke lahan pribadi yang lebih aman, sedangkan relokasi desa warga membangun rumah di lahan kas desa seluas 5000 meter persegi yang khusus diperuntukkan sebagai lokasi relokasi. Lahan kas desa yang berada di Dusun Ploso RT 05 tersebut saat ini sudah ditempati oleh sekitar 10 KK. “Sampai sekarang sekitar 18 KK yang sudah relokasi,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya