SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Oleh: Farid Achmadi

PNS di Pemerintah Kabupaten Karanganyar

Promosi 796.000 Agen BRILink Siap Layani Kebutuhan Perbankan Nasabah saat Libur Lebaran

Seiring pemberlakuan otonomi daerah seperti saat ini, kerja sama antarwilayah menjadi kebutuhan yang tidak bisa diabaikan dalam rangka memberikan pelayanan publik serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tak terkecuali di wilayah regional Soloraya. Kerja sama yang dilakukan adalah bagaimana setiap daerah dapat memunculkan segenap potensi yang ada dan memanfaatkannya secara kolektif untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Masing-masing daerah tentu memiliki keunggulan kompetitif. Sebagai pusat hinterland, Kota Surakarta (Solo) mempunyai warisan sejarah peninggalan dinasti Kerajaan Mataram Islam berupa Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Boyolali terdapat sumber air yang melimpah ruah. Sukoharjo dikenal memiliki ketahanan pangan paling kuat dan menjadi andalan lumbung padi Jawa Tengah.

Di Karanganyar terdapat potensi wisata pemandangan alam pegunungan yang tiada tandingannya. Wonogiri ada banyak gua, museum karst dan pantai yang masih asli. Sragen diandalkan dengan peninggalan sejarah purbakala, bahkan Museum Purbakala Sangiran merupakan satu-satunya di Indonesia. Sementara Klaten, hikmah dari letusan Gunung Merapi kini memiliki cadangan bahan bangunan pasir yang luar biasa banyaknya.

Itu baru sekelumit. Di luar itu, diyakini banyak potensi-potensi yang belum digali dan dipasarkan secara maksimal. Pendek kata, wilayah Soloraya memiliki potensi segalanya. Sayang, potensi itu belum dimanaje menjadi satu kekuatan untuk kepentingan bersama. Masing-masing lebih sibuk mengurusi daerah sendiri, mengelola potensi yang dimiliki dan memasarkannya sendiri. Padahal jika mau direnungkan, satu daerah dengan daerah lain sesungguhnya saling membutuhkan.

Kuncinya, mau jalan bareng dan meninggalkan egoisme wilayah. Tapi, ini jelas bukan pekerjaan gampang. Susah diwujudkan dalam jangka pendek, tapi memiliki manfaat sangat penting untuk jangka panjang.

Jogja telah melakukan itu. Slogan Jogja Never Ending Asia telah digunakan semua kabupaten di provinsi itu untuk memasarkan wilayah mereka. Tidak ada sedikit pun di benak daerah-daerah satelit akan kekhawatiran hanya Kota Jogja sendiri yang bakal merasakan dampak positif slogan itu. Mereka sepenuhnya sadar, kalau slogan itu mampu menarik konsumen untuk datang ke Jogja, maka mereka bakal terkena imbas positif. Misalnya, jika banyak wisatawan yang datang ke Jogja dan membeli cenderamata khas/oleh-oleh, maka cenderamata itu belum tentu semuanya buatan Jogja. Jogja pasti butuh daerah di sekitarnya untuk menyokong apa yang belum dimiliki.

Dalam pemasaran wilayah, slogan atau tagline memang bukan sesuatu yang mutlak. Tapi, ia memiliki fungsi penting untuk mengasosiasikan atau menghubungkan sebuah merek/produk kepada pelanggan dan konsumen potensial. Dalam konteks untuk pemasaran wilayah, slogan dibutuhkan sebagai branding pemasaran dan identitas wilayah (regional identity).

Kawasan Soloraya sebenarnya telah memiliki identitas wilayah, yakni Solo The Spirit of Java. Apabila dilihat dari kemunculannya, slogan tersebut telah melalui proses yang panjang yang didukung penuh oleh kabupaten/kota se-Soloraya. Diawali dari sayembara yang difasilitasi oleh Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) Subosukawonosraten dan GTZ-red, tak kurang dari 300 peserta yang berasal dari berbagai daerah mengirimkan karya mereka dalam sayembara itu. Mayoritas peserta memunculkan subyek (benchmark) kata “Solo”. Wajar saja, selain menyebutnya lebih simpel, kata “Solo” telah banyak dikenal luas, kendati secara administratif dan kesejarahan seharusnya adalah Surakarta. Tapi, pasar butuh sesuatu yang gampang diingat, mudah disebut dan bisa membentuk sebuah citra positif mengenai potensi kewilayahan.

Dari 300 karya yang masuk tersebut, lima slogan dipilih oleh Dewan Juri yang berjumlah sembilan orang, tujuh orang dari perwakilan kabupaten/kota se-Soloraya, satu dari Indonesia Marketing Association (IMA) Solo, serta satu dari ahli pemasaran wisata dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Selanjutnya, lima slogan terpilih diserahkan kepada Forum Kepala Daerah Se-Soloraya, dan forum akhirnya menetapkan Solo The Spririt of Java sebagai slogan pemasaran wilayah. Slogan itu merupakan karya warga Giriroto, Ngemplak, Boyolali (SOLOPOS, 5/12/2005). Selanjutnya, slogan tersebut dimodifikasi sedemikian rupa oleh konsultan pemasaran dan desainer iklan, sehingga muncullah desain aplikasi yang selama ini telah banyak dipakai dalam berbagai produk pemasaran.

Jika dilihat dalam penerapannya selama tujuh tahun terakhir, hanya Kota Solo yang secara intensif menggunakan slogan tersebut. Daerah lain nyaris tidak pernah memanfaatkannya. Padahal untuk maju bersama, dibutuhkan satu dorongan semangat bersama, dan semangat itu muncul jika masing-masing merasa memiliki satu identitas wilayah bersama yang disepakati. Yakni, bagaimana melahirkan kesadaran bersama bahwa kata “Solo” dalam slogan tersebut bukanlah sebuah dikotomi kewilayahan, melainkan menjadi identitas pemersatu wilayah regional Soloraya.

Untuk membangun kesadaran itu kuncinya ada political will dari pemimpin daerah. Oleh karena itu, forum-forum pertemuan para pemangku kepentingan yang ada perlu ditingkatkan. Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) atau Sekretariat Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) Subosukawonosraten bisa lebih didorong untuk memfasilitasi pertemuan itu. Slogan itu bukan milik Solo, tapi milik Soloraya.

Jika semua sepakat bahwa Solo The Spirit of Java ini telah menjadi milik bersama, saatnya bersiap-siap menyongsong era baru; Soloraya maju bersama. Semoga terwujud!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya