SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari (Foto: Dokumentasi)

Thontowi Jauhari (Foto: Dokumentasi)

Oleh: Thontowi Jauhari

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

Anggota DPRD Boyolali

Kepala Daerah dan DPRD Soloraya, bersama PT Angkasa Pura perlu berembug untuk mengembangkan Bandara Internasional Adi Soemarmo menjadi airport city. Fungsi bandara saat ini bukan sekedar tempat beroperasinya maskapai penerbangan. Peran bandara telah bergeser menjadi pintu gerbang perekonomian, penunjang kegiatan pariwisata, perdagangan, serta simpul dalam jaringan transportasi. Model bisnis bandara telah bertransformasi dengan menerapkan konsep airport city yang memberikan berbagai macam pelayanan yang tidak hanya terbatas untuk penerbangan, namun juga memberikan pelayanan  kegiatan bisnis

Konsep airport city menjadi relevan untuk dikembangkan, agar bandara Adi Soemarmo bisa menjadi pusat kegiatan perekonomian terpadu, terdapat didalamnya berbagai fasilitas yang terintegrasi, untuk melayani kebutuhan warga kota, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, gedung pertemuan, tempat hiburan, pusat rekreasi dan sebagainya. Akses menuju bandara juga dibangun kebutuhan infrastruktur jalan yang memadai, dan terkoneksi dengan seluruh pusat keramaian se Soloraya. Jika itu terealisasi, akan terwujud kawasan bandara dan sekitarnya menjadi kota satelit Soloraya.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kota satelit adalah: (1) kota baru yang dibangun di dekat atau di pinggir sebuah kota besar dalam rangka peluasan kota; (2) kota yang terletak di pinggir atau berdekatan dengan kota besar, yang secara ekonomis, sosial, administratif, dan politis tergantung pada kota besar itu.

Dalam ensiklopedia  Wikipedia, kota satelit adalah kota kecil di tepi sebuah kota besar yang meskipun merupakan komunitas mandiri, sebagian besar penduduknya tergantung dengan kehidupan di kota besar. Biasanya penghuni kota satelit ini adalah komuter (orang yang pulang pergi setiap hari untuk bekerja) dari kota besar tersebut. Misalnya, Depok adalah sebuah kota satelit Jakarta.

Tiga Alasan

Apa urgensi Bandara Adi Soemarmo dikembangkan menjadi airport city ? Setidak-tidaknya ada tiga alasan yang perlu disampaikan. Pertama, kecamatan Ngemplak, Boyolali–daerah bandara Adi Soemarmo berada— secara alamiah akan tumbuh menjadi kawasan perkotaan, dan menjadi salah satu daerah perluasan kota Solo. Ditinjau dari sisi demografis, pertumbuhan pendudukan Ngemplak termasuk yang tertinggi, jika dibandingkan dengan kecamatan lain di Boyolali. Bagi para pekerja di Solo, Ngemplak menjadi salah satu daerah alternatif yang menarik untuk tempat tinggal: dekat dengan Solo, bebas banjir dan ketersediaan air.

Kedua, direncanakan, daerah dekat bandara, yakni di Desa Denggungan, Banyudono akan menjadi titik temu jalan tol Solo-Semarang, Solo-Jogja, dan Solo-Ngawi. Artinya, daerah sekitar bandara akan menjadi daerah yang menarik untuk investasi dan perumahan. Daerah-daerah sekitar titik temu jalan tol  dan bandara akan bergeliat dan tumbuh, yang meliputi daerah perbatasan Solo, Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali.

Ketiga, Ngemplak memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daerah industri wisata, yakni waduk peninggalan Belanda, waduk Cengklik. Karena itu, waduk Cengklik perlu direvitalisasi. Pengerukan sedimentasi menjadi keharusan, guna meningkatkan volume air, yang kemudian dihitung dan (bisa) dijual ke PDAM Solo, disamping untuk kepentingan irigasi pertanian dan budidaya perikanan.  Waduk ini  didesain sebagai industri wisata yang tidak terpisahkan dengan airport city.

Melihat tiga alasan tersebut, mengembangkan bandara internasional Adi Soemarmo menjadi airport city mempunyai dasar pijakan, meski tidak secara utuh menjiplak konsep airport city seperti yang dikenalkan pertama oleh John D Kasarda. Airport leaves the city, the city follows the airport, and the airport becomes a city tidak berlaku untuk  pengembangan  bandara Adi Soemarmo menjadi airport ciy, karena konsep pengembangan ini tidak bermaksud merelokasi bandara.

Egoisme Daerah

Yang dibutuhkan dari seluruh kepala daerah dan DPRD se Soloraya adalah komitmennya untuk mengembangkan Soloraya secara bersama-sama, dengan menanggalkan egoisme daerah yang acap kali justru kontra produktif. Tuntutan perubahan nama bandara Internasional Adi Soemarmo Solo menjadi Boyolali hanya karena alasan lokasi bandara berada di wilayalah administratif pemerintah daerah Boyolali beberapa saat yang lalu adalah salah satu tanda masih kentalnya aroma egoisme itu. Padahal, kalau pun bandara itu telah dinamakan Boyolali, apa nilai tambah yang diperoleh pemerintah daerah Boyolali secara ekonomi? Dipastikan tidak ada.

Sebaliknya, pemerintah daerah se Soloraya justru perlu “mengeksploitasi” nama Solo untuk kepentingan keuntungan bisnisnya. Nama Solo itu lebih “menjual” secara ekonomi. Branding suatu daerah dengan “meminjam” nama Solo akan menjanjikan keuntungan bisnis. Keberadaan Solo Baru, meski secara wilayah yuridis ada di kabupaten Sukoharjo, namun de facto itu menjadi bagian dari kota Solo secara bisnis, sehingga Solo Baru berkembang menjadi sentra ekonomi. Kalau saja pengembangan sentra bisnis  tersebut tidak menggunakan nama Solo, dipastikan daerah tersebut tidak sukses tumbuh seperti saat ini.

Nah, pengembangan kota satelit Soloraya di daerah bandara Adi Soemarmo dan sekitarnya dengan icon airport city-nya, tentu harus dengan branding nama Solo, sehingga rasa “memiliki” itu juga dirasakan seluruh warga Soloraya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya