Kolom
Selasa, 19 Maret 2024 - 20:35 WIB

Suara Kritis Cendekiawan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Niyoko (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekiawan adalah orang cerdik pandai, orang intelek, orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikir untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu.

Dalam sejarah kehidupan manusia dikenal adanya pendeta, resi, nabi, yang berperan sebagai cendekiawan yang berani menyampaikan kritik kepada penguasa atau raja.

Advertisement

Mereka berani berpendapat mengenai masalah sosial, masalah politik, bahkan sampai pada pribadi atau perilaku penguasa yang melanggar norma moral dan etika, yang merugikan masyarakat, menimbulkan ketidakadilan, menimbulkan kemiskinan, dan keadaan-keadaan buruk lainnya.

Para cendekiawan itu sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Demikian pula dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tampil tokoh-tokoh bangsa yang berperan sebagai cendekiawan yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang bagus dan kritis dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Advertisement

Para cendekiawan itu sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Demikian pula dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tampil tokoh-tokoh bangsa yang berperan sebagai cendekiawan yang menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang bagus dan kritis dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Mereka sering harus menderita dan bahkan sampai masuk penjara karena tindakan-tindakan yang berani melawan kesewenang-wenangan penguasa. Julien Benda dalam Treason of the Intelectual (2007) mengatakan bahwa seorang cendekiawan harus tidak mempunyai motivasi duniawi, seperti motivasi politik, motivasi ekonomi, dan lain-lain.

Seorang cendekiawan berbicara tanpa pamrih. Demikianlah, pada masa lalu peran cendekiawan dijalankan oleh banyak pendeta, bagaikan nabi-nabi kecil, yang berbicara tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah-masalah masyarakat.

Advertisement

Julien Benda menjelaskan apabila karena kritik pendeta mau dihukum raja, maka dia bisa membebaskan diri dengan mengatakan bahwa dia seorang cendekiawan. Dengan mengatakan begitu, dia bermaksud mengatakan bahwa dirinya tidak mempunyai motivasi duniawi, tidak mempunyai pamrih.

Jadi, selain cendekiawan harus mencari konsep alternatif secara komprehensif, cendekiawan juga harus tidak memiliki pamrih dan tidak boleh terikat kepada kepentingan duniawi. Dia hanya memikirkan apa yang terbaik.

Jika seorang cendekiawan berkata bahwa sistem yang terbaik adalah kapitalisme, tetapi di balik kata-katanya itu memiliki kepentingan terselubung, misalnya karena dirinya atau keluarganya pemilik pabrik-pabrik besar dan kaya raya atau karena hal tersebut dia diuntungkan secara materi dengan adanya sistem kapitalisme, maka dia bukanlah seorang cendekiawan.

Advertisement

Politik Praktis

Sekalipun dikatakan bahwa seorang cendekiawan harus bebas dari motivasi duniawi, termasuk motivasi politik, bukan berarti cendekiawan tidak bisa melibatkan diri ke dalam politik praktis.

Dia bisa terlibat, tetapi tetap tanpa pamrih, dan hal seperti itu dinamai politik dari orang yang tidak berpolitik  atau the politic of the unpolitical (Hebert Read, 1947). Konsep tersebut berbeda dengan konsep the politic of the political bagi orang-orang yang mempunyai pamrih politik.

Sebaiknya, seorang cendekiawan menjalankan konsep the politic of the unpolitical, berpolitik tetapi tidak dilatarbelakangi pamrih politik apa pun, kecuali hanya untuk memperjuangkan masyarakat yang lebih baik.

Advertisement

Namun demikian, dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, partisipasi cendekiawan dalam politik harus diakui. Partai-partai politik ketika itu didirikan oleh para cendekiawan. Mereka memiliki tujuan dan tantangan yang sama untuk meraih kemerdekaan bangsa, untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan partisipasi politik para cendekiawan pada masa sekarang ini, sebagian dari mereka sering secara  sadar  atau tidak sadar disertai pamrih demi kepentingan diri sendiri atau kelompok atau keluarga yang sifatnya material, misalnya demi menimbun kekayaan dan melanggengkan kekuasaan.

Jika memperhatikan uraian di muka, suara kritis yang akhir-akhir ini sering disampaikan para cendekiawan tidak mempunyai pamrih duniawi, seperti mengharapkan jabatan tertentu, memihak partai politik tertentu, memihak kelompok tertentu, dan pamrih-pamrih lainnya.

Kaum cendekiawan yang bersuara kritis tersebut mengingatkan agar penguasa dalam menjalankan pemerintahan tidak menyimpang dari konstitusi, tidak melanggar etika dan moral politik, tidak merusak demokrasi, dan tidak merusak tata kelola pemerintahan lainnya.

Mereka adalah kaum cendekiawan yang tidak partisan, mereka benar-benar cendekiawan bebas, pembawa hati nurani masyarakat demi terwujudnya masyarakat yang lebih baik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 Maret 2024. Penulis adalah doktor dan dosen pengampu matak kuliah umum di Universitas Negeri Yogyakarta)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif