SOLOPOS.COM - FOTO/Istimewa

FOTO/Istimewa

Yeni Mulati

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Penulis 50 judul buku
Pemimpin sebuah penerbitan
di Kota Solo

Kisah Bang Maman dari Kali Pasir di lembar kerja siswa (LKS) terbitan CV MK menjadi seperti alarm kebakaran yang membuat berbagai kalangan terhenyak, lantas terbangun dari tidur lelapnya.
Dalam  LKS yang ditujukan untuk anak kelas II SD itu dikisahkan tentang Bang Maman yang menyuruh Patmi berpura-pura menjadi istri simpanan Salim, menantu Bang Maman, agar Ijah, sang anak, mau berpisah dengan Salim yang jatuh miskin.
Dari diskusi-diskusi di media sosial, muncul kesimpulan cerita itu memang sangat tak pantas dibaca dan ditelaah anak kecil. Dari segi kepenulisan, tata bahasa dan editing naskah benar-benar sangat buruk jika dibaca dan ditelaah oleh orang dewasa sekalipun. Hal tersebut mencuatkan pertanyaan, sebenarnya bagaimanakah kinerja pihak-pihak yang terkait dengan masalah tersebut?
Sebagai orang yang cukup lama berkecimpung di dunia penerbitan, sedikit banyak saya bisa memahami mengapa peristiwa itu bisa terjadi. LKS yang oleh para pengajar di sekolah-sekolah dijadikan sebagai sebuah amunisi memang laksana ”kue” yang diminati banyak penerbit.
Meskipun harganya murah, sekitar Rp5.000-Rp10.000 per eksemplar, pasar LKS sangat jelas. Bayangkan jika di sebuah daerah terdapat seribu sekolah yang masing-masing kelas misalnya dipenuhi oleh 40 siswa. Berarti dibutuhkan 40.000 eksemplar LKS. Jika satu LKS memberikan keuntungan Rp1.000 rupiah, Anda bisa membayangkan berapa uang yang akan diterima penerbit untuk LKS satu mata pelajaran saja.
Permasalahannya, sebagian penerbit LKS tidak menerapkan standar naskah secara baik. Gambaran tentang buruknya kinerja penerbit LKS bisa diawali dari penulisan naskahnya. Berdasarkan survei yang saya lakukan ke beberapa penulis LKS, ternyata banyak di antara para penulis yang hanya dibayar sekitar Rp500.000 per naskah. Harga semurah itu tentu berbanding lurus dengan kualitas isinya.
Setelah naskah masuk ke penerbit, akan ditangani oleh editor yang sering kali juga memiliki kemampuan pas-pasan dalam mengedit. Banyak di antara mereka yang bidang ilmunya tak sesuai dengan tema LKS yang dieditnya. Misalnya, lulusan Jurusan Bahasa Indonesia mengedit LKS Biologi. Sering juga dijumpai editor sekadar memiliki kemampuan membenahi tata bahasanya belaka, seperti titik dan koma tetapi tidak kritis menilai isinya.
Dari editor naskah akan masuk ke setter yang juga berkemampuan pas-pasan serta tak diberi ruang yang luas untuk mengeksplorasi ide-idenya. Saya menemukan ada penerbit LKS yang masih menggunakan software tata letak. Ilustrasi juga terlihat seadanya. Di kota Solo ini ada ilustrator LKS yang hanya dibayar sekitar Rp 10.000/gambar. Setting yang seadanya, ilustrator yang seadanya, diperparah dengan desain sampul yang juga seadanya. Bagaimana tidak seadanya? Mereka dibayar sangat murah.
Sebagian bahkan digaji di bawah upah minimuk kabupaten/kota (UMK). Ini semakin melengkapi ”penderitaan” sehingga LKS dicetak dengan mesin yang tak berkualitas bagus. Dengan kertas yang buram dan penyelesaian yang tak rapi. Wajar saja LKS-LKS ini dibanderol dengan harga yang teramat murah.
Memasuki ranah pemasaran, lebih mengerikan lagi. Bisa dikatakan sangat jarang LKS dijual di toko buku. Mereka menjual langsung ke sekolah dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu dengan pejabat sekolah. Bukan rahasia umum banyak pejabat sekolah yang kurang selektif dalam menyeleksi buku atau LKS yang masuk ke sekolah mereka. Asalkan diskon besar atau diberi tambahan hadiah tertentu, sebagian dari pejabat sekolah menyetujuinya.
Kecelakaan yang semacam kasus ”istri simpanan” dalam cerita Bang Maman dari Kali Pasir memang akhirnya bisa dimengerti. Bagi orang yang tidak terlibat seluk-beluk penerbitan mungkin terheran-heran, bagaimana mungkin sebuah proses panjang yang melibatkan sekian banyak orang ternyata bisa meloloskan cerita picisan semacam itu? Apakah mereka tidak membaca sebelumnya? Siapa pun pasti akan menyadari, jika memang membacanya, bahwa cerita tersebut benar-benar sangat buruk.
Menurut hemat saya, memang begitulah adanya. Bisa jadi yang mengerti isi naskah tersebut hanyalah penulis naskah (yang biasanya bukan penulis profesional) dan editor (yang juga dipertanyakan apakah ia benar-benar memahami sebuah tulisan). Setter, desainer, marketing, apalagi bos dari penerbit itu, saya nyaris yakin, tak sempat membaca isi naskah tersebut. Demikian pula dengan pejabat sekolah yang berwewenang.
Memang mengherankan, tetapi begitulah realitasnya. Banyak penerbit dikelola oleh orang-orang yang tak paham buku. Mereka tertarik membuat penerbitan sekadar karena bisnis buku memang (terlihat) menggiurkan. Jadi, mereka memang hanya sekadar menjual kertas yang dijilid, bukan isi atau gagasan-gagasan di dalam buku tersebut. Apalagi untuk memajukan budaya literer.
Hal ini sangat terlihat dari asumsi mereka saat penetapan harga buku. Harga cetak, yang meliputi kertas, film, pelat dan seterusnya, umumnya menjadi asumsi utama. Sementara ide-ide dan gagasan penulis dinilai sangat rendah. Terbukti dengan royalti ataupun honor beli putus naskah yang juga sangat memprihatinkan.
Padahal, penerbit yang baik mestinya menjadikan tulisan sebagai komponen yang sebanding dengan biaya produksi yang lain. Ini menyebabkan mereka mampu menjual buku dengan sangat murah. Apalagi, sumber daya manusia (SDM) tempat bekerja pun dibayar sangat murah. Tak jarang mereka berani melepas buku baru dengan diskon sampai 60%!

Kualitas dan Kontrol
Akan tetapi, bahwa kasus ”istri simpanan” ini kemudian memunculkan wacana dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengkaji penghapusan LKS, menurut saya rasanya kurang tepat. Harus diakui banyak penerbit yang menerbitkan LKS berkualitas.
Juga banyak sekolah yang sangat selektif dalam memilih buku yang digunakan sebagai bahan ajar. Yang perlu dilakukan, menurut saya, ada dua hal. Pertama, standardisasi. Selama ini, Kemendikbud melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) memang punya program penilaian secara rutin, baik buku teks pelajaran maupun nonteks pelajaran. Akan tetapi, tampaknya LKS tidak masuk dalam program ini.
Bahkan, meskipun ada buku-buku yang tak lolos penilaian Puskurbuk, ternyata juga tetap beredar di sekolah. Tak sekadar standardisasi dari Kemendikbud, menurut saya, juga harus ada organisasi yang menaungi para penulis mata pelajaran. Di organisasi tempat saya bergiat, Forum Lingkar Pena, meskipun buku yang ditulis kebanyakan teks nonpelajaran, tulisan-tulisan yang akan dipublikasikan harus melewati standar tertentu.
Jadi, dalam hal penulisan LKS, musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), misalnya, saya kira bisa merancang standar tertentu bahwa naskah yang ditulis oleh anggota mereka layak diterbitkan atau tidak. Apalagi penerbit, jangan sekadar memikirkan keuntungan, tetapi juga harus memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mencerdaskan bangsa. Ikatan Penerbit Indonesia (Iakpi) sebagai organisasi para penerbit semestinya juga lebih ketat lagi memberlakukan standar kualitas buku-buku yang diterbitkan anggotanya.
Kedua, kontrol. Ini sangat penting. Kontrol tidak hanya datang dari pihak terkait, bahkan masyarakat pun harus aktif. Saya mengapresiasi Intan, orangtua Hana, 8, siswa SD yang memakai LKS dengan cerita tentang ”istri simpanan” sebagai salah satu sarana pembelajaran, yang menyampaikan permasalahan tersebut ke publik yang membuat banyak pihak terhenyak.
Lepas dari itu semua, jadikan cerita ini sebagai pelajaran berharga buat semua pihak agar lebih serius lagi mengembangkan sarana-prasarana pendidikan anak-anak kita. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Mereka memiliki psikologi tersendiri, yang khas dan unik. Jangan sampai anak-anak kita menjadi rusak karena keteledoran kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya