SOLOPOS.COM - Ilustrasi KDRT (Freepik).

Solopos.com, BOYOLALI —Ketua Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) Boyolali, Nuri Rinawati, menjelaskan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi fenomena gunung es, jumlahnya yang muncul di permukaan sedikit.

Seorang pasangan yang sudah melakukan KDRT, menurut Nuri, orang tersebut sudah tidak menyayangi pasangannya.

Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal

“Kalau dia sayang, pasti dia akan berpikir dua kali untuk menyakiti orang yang disayangi,” ucap dia.

Sementara batasan KDRT bukan hanya terjadi pada pasangan suami-istri, namun kekerasan yang menimpa dalam lingkup rumah tangga.

“Jadi korbannya bisa anak, istri, asisten rumah tangga, atau anggota keluarga yang bukan keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah. dan bisa juga korbannya adalah suami tapi sangat jarang,” jelas dia kepada Solopos.com, Selasa (4/10/2022).

Kalau dampaknya, kata Nuri, sebetulnya setiap rumah tangga pasti ada konflik. Ketika dua pihak sudah dewasa menyikapi sebagai proses pembelajaran baik yang tidak terulang.

Nuri mengatakan KDRT membahayakan ketika itu terulang terus dan akhirnya membahayakan nyawa korban.

“Ketika KDRT tidak terkontrol, untuk yang fisik bisa saja membahayakan nyawa korban. Kalau yang psikis, korban menjadi rendah diri, malu dengan lingkungan, tidak berani mengambil keputusan, semakin terpuruk psikologisnya. Itu mungkin diingat sampai mati. Sementara pelaku lupa,” ucap dia.

Lebih lanjut, Nuri menjelaskan soal siklus KDRT. Terdapat empat kondisi dalam siklus KDRT, meliputi tension, incident, reconsilation, dan calm.

Pertama, tension diartikan sebagai ketegangan/konflik. Dalam kondisi ini, ada komunikasi yang buruk pasangan suami-istri. Kondisi ini membuat korban merasa takut.

Kedua, incident atau ledakan kekerasan. Kondisi ini menggambarkan kekerasan yang terjadi, pelaku mengintimidasi, menyalahkan, dan mengancam korban.

Ketiga, reconsilation artinya periode memaafkan. kondisi dan situasi sudah berubah tenang. pelaku meminta maaf, menyangkal melakukan kekerasan.

“Contoh aku minta maaf ya, sebetulnya aku tidak bermaksud kasar sama kamu, kamu sih bikin aku marah,” terang Nuri.

Keempat, calm atau situasi hubungan sudah membaik atau fase bulan madu. Kondisi ini, pelaku seolah-olah menyenangkan korban, memberikan perlakuan baik supaya korban melupakan kekerasan yang diterimanya.

“Ketika fase tersebut terus berulang dan membahayakan nyawa, lebih baik pisah. Ketika hal itu sudah menjadi siklus, berulang, dan itu membahayakan nyawa. Mungkin saat ini lolos, tapi tidak tau ke depannya bagaimana, bisa cacat permanen. Dilihat anak-anak juga tidak sehat secara mental,” jelas dia.

Tapi, kata Nuri, untuk KDRT yang masih bisa difasilitasi, dikomunkasikan dengan baik dan pelaku berubah lebih baik, dan memperbaiki komunikasi. Nuri menyarankan lebih baik tidak pisah.

“Yang saya bilang cerai ini ketika sudah fatal ya, sudah berulang siklusnya, perlakuannya sudah parah,” imbuh dia.

Oleh karena itu, kata Nuri, sebagai kaum perempuan harus bisa berdaya dan tidak boleh lemah. Ketika perempuan berdaya, ia mempunyai keberanian meredam KDRT.

“Karena dia berani ambil sikap, laki-laki juga berfikir dua kali jika ingin seenaknya,” papar dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya