SOLOPOS.COM - Pengolahan limbah kaca/JIBI/Harian Jogja/Dinda Leo Listy

Pengolahan limbah kaca/JIBI/Harian Jogja/Dinda Leo Listy

Berawal dari keprihatinan akan penderitaan ibu mertuanya yang mengidap stroke di usia muda, Sutoyo, 35, terinspirasi menciptakan lampu aromaterapi. Bagaimana kisahnya berikut laporan wartawan Harian Jogja, Dinda Leo Listy.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Bagi banyak orang kaca yang sudah pecah sudah tidak berguna. Tetapi di tangan Sutoyo, warga Dusun Menayu Lor RT 5, Tirtonirmolo, Kasihan, limbah kaca bisa menghasilkan keuntungan jutaan rupiah.

Di rumahnya yang juga dijadikan tempat usaha, setiap harinya Sutoyo dibantu pekerja lainnya mengolah kaca-kaca bekas. Bisnis yang baru ditekuni sekitar 4,5 bulan itu telah menjadi sandaran hidup bagi belasan tetangganya.

“Kami telah melakukan eksperimen selama 1,5 bulan sebelum meresmikan bisnis ini sejak Oktober 2012,” kata Toyo, sapaan Sutoyo, saat Harian Jogja bertandang ke Green House, rumah sekaligus workshopnya, Rabu (20/2/2013).

Dalam eksperimennya, lulusan STM jurusan teknik mesin itu mengaku telah menguji bermacam jenis lampu serta mangkok kaca demi keawetan lampu aromaterapi hasil karyanya.  Singkat cerita, lampu sorot LED dan mangkok kaca bertekstur dipilih sebagai elemen utamanya.

Cara kerja lampu aromaterapi itu cukup sederhana. Lampu sorot yang dipasang pada dudukan dari batu alam akan menguapkan larutan minyak esensial dalam mangkok di atas tudung lampu berbahan kaca limbah perusahaan etalase dan toko bangunan.

“Minyak esensial ini kami beli dari Bali,” ujar Toyo sembari menunjukkan botol-botol mungil yang terdiri dari 19 macam aroma, meliputi lavender, jasmine, green tea, lemon, lotus, opium, peppermint, vannila, Bali flower, hingga sakura.

Untuk satu jam penggunaan lampu aromaterapi dibutuhkan satu tetes minyak esensial yang dilarutkan dalam satu sendok air. Adapun lampu aromaterapi bisa dinyalakan selama tiga jam bahkan lebih. Sebab, mangkok kaca bertekstur lebih tahan panas daripada mangkok kaca polos.

“Selain memborong minyak esensial sekaligus, pembeli lampu aromaterapi biasanya juga memesan lampu sorot untuk cadangan,” terang ayah dua anak itu.

Padahal, ia sudah menjelaskan kepada pembeli jika lampu sorot itu bisa dibeli di toko-toko elektronik dengan harga Rp6.000. Istri Toyo, Dwi Astuti, 30, menambahkan, lampu aromaterapi termasuk metode terapi alternatif bagi penderita stroke.

“Selain stroke, penyakit lain juga bisa diterapi dengan aroma minyak esensial ini,” ujar Dwi yang berlatar pendidikan apoteker itu.

Dengan mempekerjakan 12 pemuda dan delapan ibu rumah tangga, Green House mampu menghasilkan sekitar 35 hingga 40 buah lampu aromaterapi per harinya. Pemasaran lampu yang dibanderol sekitar Rp85.000 sampai Rp150.000  itu telah menjangkau seluruh wilayah DIY dan Jabodetabek.

Selain untuk upah karyawan, dengan omzet Rp40 juta per bulan, Toyo dan Dwi juga dapat menyantuni anak yatim, fakir miskin, dan penyandang cacat. “Sedekah itu kunci sukses dunia dan akhirat,” pungkas Toyo yang sudah jatuh bangun menggeluti berbagai usaha kerajinan berbahan dasar limbah sejak 1999.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya