SOLOPOS.COM - Ratusan siswa dan warga kader Nahdlatul Ulama (NU) dengan mengatasnamakan Koalisi Masyarakat Peduli Madrasah (KMPM) PCNU Sleman melakukan longmarch menuju Kantor Bupati Sleman, Selasa (15/8). Mereka menolak pemberlakuan program Full Days School (FDS) karena di anggap merugikan sistem pengajaran Madrasah. (Gigih M. Hanafi/JIBI/Harian Jogja)

Lima hari sekolah kembali mengalami penolakan

Harianjogja.com, SLEMAN-Ratusan santri, siswa dan kader Nahdlatul Ulama (NU) Sleman menggelar aksi menolak program full day school pada Selasa (15/8/2017).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Baca Juga : LIMA HARI SEKOLAH : Ratusan Santri Demo Tolak FullDaySchool

Penolakan dilakukan karena gagasan lima hari sekolah itu dinilai berpotensi mematikan Madrasah Diniyah dan menghapus mata pelajaran pendidikan agama Islam.

Iring-iringan massa berjalan sejauh 500 meter sembari bersalawat hingga sampai di Pendapa Kantor Bupati Sleman. Massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Madrasah (KMPM) PCNU Sleman ini sempat tertahan sesaat di gerbang karena dilarang masuk sampai akhirnya diperbolehkan mengambil tempat di pendapa.

Sekitar 16 perwakilan massa kemudian diterima Bupati Sleman, Sri Purnomo dan jajarannya di ruang rapat sekda. Koordinator aksi, Abdul Muiz menyampaikan dengan adanya program sekolah lima hari itu justru bertentangan dengan penguatan pendidikan karakter seperti yang diinginkan pemerintah.

“Jika kebijakan FDS [full day school] dipaksakan akan ada jutaan santri yang terancam tak lagi bisa mengenyam pendidikan agama,” ujarnya sebagaimana juga disampaikan dalam orasinya.

Perwakilan juga meminta pemerintah daerah bijak menyikapi penerapan aturan ini pada sekolah negeri. Dikhawatirkan sistem lima hari ini akan membuat siswa kehabisan waktu dan tidak punya kesempatan mengaji salah satunya di Tempat Pendidikan Al Quran (TPA) yang banyak tersebar di daerah. Penerapan FDS juga dianggap tanpa tujuan berarti dan hanya merugikan sejumlah lapisan masyarakat.

Menanggapi hal ini, Sri Purnomo berjanji akan menyampaikan aspirasi ini kepada Pemerintah Pusat. Terkait dengan penerapannya di Sleman, ia mengatakan tidak ada paksaan apapun kepada semua pihak, Sistem pendidikan di Sleman, menurutnya, sudah berjalan baik dengan berbagai macam versi.

“Ada yang dari dulu sudah lima hari, ada yang setiap hari, biar berjalan apa adanya saja. Tidak akan paksaan full day school, kalau mau silakan kalau tidak ya tidak apa-apa,” ujarnya.

Sleman sendiri memberikan kebebasan pada setiap lembaga pendidikan untuk menerapkan sistemnya masing-masing. Hal ini dipercaya akan menghasilkan pendidikan berkualitas dengan latar belakang yang bervariasi. Jika memang FDS akan dimunculkan dalam bentuk peraturan pemerintah, SP mengatakan siap membuka diskusi jika ada perbedaan pandangan.

Adapun, Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang dijumpai dalam acara berbeda di Pemkab Sleman menegaskan jika penerapan FDS sama sekali tidak dipaksakan. Terlebih lagi, sebenarnya sudah ada sejumlah sekolah yang sudah menerapkan hal ini sejak lama dan berjalan baik.

“Jangan diberi reaksi berlebihan, karena digoreng secara politik ini yang kemudian merusak suasana. Kalau politik semua jadi rusak,” katanya.

Ia menilai kegaduhan yang terjadi semata dampak dari politisasi isu pendidikan tersebut. Terkait dengan anggapan jika FDS akan menghilangkan pendidikan agama, ulama ini meminta masyarakat untuk membaca baik-baik aturan tersebut agar tidak salah kaprah. Secara tegas, ia mengimbau masyarakat agar tidak gampang terpengaruh isu negatif yang berkembang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya