SOLOPOS.COM - Suwarmin Direktur Bisnis dan Konten Solopos Group

Lebaran atau Hari Raya Idulfitri baru saja berlalu. Sejuta kenangan kembali tertanam di bilik ingatan. Momentum pertemuan yang berkaitan dengan suasana Lebaran, apa pun namanya, seperti sungkeman, reunian, halalbihalal, atau yang lainnya, bisa menghadirkan banyak nuansa.

Banyak suka karena bertemu orang tua, kerabat, sahabat, teman dengan segala cerita masa lalunya yang seolah diputar ulang di kepala. Ada juga duka, karena ada orang tua atau karib atau kenalan yang ternyata sudah tidak bisa berlebaran karena telah berpulang. Baru kita menyadari, momentum kehilangan sangat terasa di hari istimewa seperti Lebaran.

Promosi Mudah dan Praktis, Nasabah Bisa Bayar Zakat dan Sedekah Lewat BRImo

Kebetulan, bangsa Indonesia baru saja melintasi kontestasi politik bernama Pemilu 2024. Walaupun sebenarnya tidak sepanas Pemilu 2014 atau bahkan Pemilu 2019. Utamanya Pemilu Prisiden, yang lima tahun lalu diwarnai dengan perseteruan cebong dan kampret, polarisasi masyarakat yang menyebabkan segregesi sosial yang mengkhawatirkan.

Pemilu tahun ini terlihat berbeda. Banyak kejadian di beberapa daerah, para pemain di lapangan mengucapkan kata-kata, “Yang pilpres terserah warga, yang caleg jangan salah pilih.” Sikut-sikutan antarcaleg sangat terasa, tak dipungkiri ada perang logistik di antara para kontestan politik. Ada nuansa tebas yang membutuhkan kekuatan kapital yang menjadi senjata. Jika di pilpres terjadi perang kata-kata para buzzer, di lapisan bawah ada adu strategi di antara para kader.

Itu pemilu kita. Orang bilang pesta demokrasi. Seolah semua orang boleh mengambil kue pesta. Toh hanya lima tahun sekali. Tak peduli nilai, tak peduli marwah, yang penting cuan. Itu yang dirasakan sebagian warga.

Tak seperti 5 tahun lalu, pemilu tahun ini tak ada lagi cebong dan kampret. Tapi “tradisi” saling hujat menjelang pemilu bukannya sepi. Tabiat menghujat bahkan dengan kata-kata yang tidak pantas tetap dilontarkan. Sering kali berlindung di akun-akun anonimitas, alias akun-akun tanpa nama yang jelas. Jagad media sosial tak pernah sepi dengan perang kata-kata. Baik dari akun-akun yang berbayar maupun yang suka rela.

Meskipun ada juga yang menikmati pemilu dengan santai, berkelakar dan bercanda di media sosial. Ada pula yang berdalih dan berhujah dengan cerdas didasari keilmuan masing-masing.

Begitulah, apa pun, suka tidak suka pemilu sudah berakhir. Pada Senin (22/4/2024), ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud Md., yang diajukan dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024.

Pada kesempatan itu MK menyatakan permohonan pemohon “tidak beralasan menurut hukum seluruhnya”. Maka hasil itu mengesahkan kemenangan pasangan nomor urut 2, Prabowo Subiyanto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagai presiden dan wakil presiden RI, periode 2024-2029.

Setelah sidang sengketa Pilpres usai, MK masih disibukkan dengan sidang peselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) lainnya, utamanya sengketa antarcaleg di dapil atau daerah pemilihannya masing-masing. Tetapi puncak perhatian masyarakat sudah berlalu.

Hari Fitri

Tidak mudah memaafkan, apalagi melupakan. Tetapi membawa sakit hati dan dendam ke dalam hati, apalagi sampai dibawa mati, juga bukan solusi. Momentum Lebaran, momentum Idul Fitri yang baru saja berlalu, semestinya menjadi momentum untuk menata diri.

Sesungguhnya dalam setiap permasalahan, tidak ada kekalahan atau kemenangan. Yang ada adalah mengembalikan semuanya ke haribaan Tuhan Sang Penguasa Kehidupan. Bukankah kita melihat kejayaan dan kejatuhan diperjalankan di setiap manusia. Besar atau kecilnya kejayaan, setiap orang akan menemuinya. Yang sekarang berbangga dengan kemenangan, belum tentu berakhir dengan bahagia. Yang bersedih dengan kekalahan, bisa jadi di masa depan akan menemukan kebahagiaan.

Orang Jawa punya istilah menarik untuk undur diri dari suatu masalah, yaitu mupus atau mengembalikan semuanya ke zat yang hakiki. Orag bijak menyebut mupus sebagai konsep penerimaan, didasari kesabaran, ketenangan, hingga kebijaksanaan dalam menghadapi situasi hidup yang sulit. Ada penerimaan, ada konsep berserah diri.

Itulah salah satu wajah Idulfitri yang suci. Saatnya kita kembali kepada kesucian. Siapkan hati terbaik, niat terbaik, untuk menata diri menghadapi hari depan.

Apalagi di dalam politik, tak ada gunanya memperpanjang perselisihan. Yang penting justru saat ini adalah waktu yang tepat untuk menata barisan dan melakukan konsolidasi semua kekuatan. Karena ke depan ada gelanggang yang memerlukan segala persiapan. Kontestasi Pilkada tidak kalah serunya dan membutuhkan strategi yang jitu untuk tampil sebagai jawara. Pun didalam politik, sama-sama dimaklumi. tak ada teman dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan.

Di sisi lain, Lebaran dan usainya hajatan politik memberi energi untuk kembali bekerja. Ada kepastian yang mendasari semua orang untuk menempatkan diri dan berlari mengejar harapan.

Selamat mengejar harapan dan melanjutkan perjuangan…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya