Saya benar-benar apresiatif dengan sikap dan perilaku dari rekan saya. teman yang satu ini, dalam hemat saya, benar-benar tidak pernah melukai orang lain dengan tutur katanya. setiap waktu berbincang-bincang dengan orang lain, baik dalam konteks formal maupun tidak formal, sepertinya rekan ini piawai sekali menjaga rasa alias njaga rasa. tutur katanya menunjukkan bahwa dia orang yang mapan, matang, dan bijaksana. kepribadiannya matang, emosinya terjaga, sikap dan perilakunya sangat tertata. orang jawa bilang, sosok demikian ini sebagai menep. hidupnya tidak nggrangsang dan tidak ngaya. bahasanya tertata rapi, tidak sasar-susur, dan penuh dengan pertimbangan kesantunan.
Nah, salah satu tuturan yang saya catat, dan selalu saya resapkan dalam batin, terlebih-lebih kalau bersama dengannya, adalah hampir selalu digunakannya bentuk injih, sebagai variasi yang lebih santun daripada inggih atau enggih atau bentuk penggal nggih. Bentuk dalam bahasa Jawa injih yang dalam bahasa Indonesianya adalah ya, bisa digunakan dalam beberapa variasi. Ada yang bentuknya lha injih atau mungkin lha injih, injih seperti pada judul tulisan ini. Akan tetapi, apakah sesungguhnya maksud mendasar dari bentuk kebahasaan itu? Apakah semata-mata merupakan pengiyaan? Ataukah, hanya cermin kesetujuan? Tentu saja tidak! Bahkan dalam masyarakat Jawa, nggih atau njih atau bahasa Indonesianya ya, bisa bermakna tidak, selain pula ya itu sendiri.
Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Artinya, untuk menafsirkan makna yang tepat itu diperlukan rasa, yakni rasa bahasa dan budaya. Maka orang bilang memahami bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya dan masyarakatnya. Memaknai entitas bahasa dengan tidak melibatkan masyarakat dan budaya, tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kesalahpahaman belaka. Orang banyak berseteru dan bertengkar di mana-mana, juga di panggung perpolitikan kita, orang banyak saling bersikeras di mana-mana, karena entitas kebahasaan itu dilepaskan dari konteks budaya dan sosialnya. Untuk dapat mengerti apakah benar seseorang lapar dan perlu makan, ataukah haus dan perlu minum, ataukah basa-basi (lip-service) saja menawarkan makanan dan minuman itu, harus dikaitkan dengan konteks masyarakat dan budayanya.
Kalau selama ini banyak dipahami, bahwa orang yang diam, atau tidak banyak berkata-kata, itu artinya setuju terhadap sesuatu yang sedang disampaikan kepadanya, dalam konteks masyarakat dan budaya seperti di depan itu ternyata harus diintepretasi ulang. Orang yang diam, tidak mau berbicara apa-apa, tidak berkehendak berkomentar terhadap sebuah persoalan, sesungguhnya bisa jadi pula karena orang itu ‘tidak setuju’, ‘tidak dapat menerima’, tetap enggan menyatakan ‘ketidaksetujuan’ itu. Alasannya, ungkapan ketidaksetujuan demikian itu dapat dianggap sebagai fakta ketidaksantunan dalam praktik berbahasa.
Nah, apa sesungguhnya yang diimani banyak warga masyarakat sebagai sesuatu santun itu? Jawabannya banyak! Konsep yang paling banyak dimengerti orang dalam rangka kesantunan adalah bahwa santun itu esensinya ‘menyelamatkan muka’. Jadi, jika terdapat kata-kata, atau bahkan tindakan, yang berpotensi tidak menyelamatkan muka (saving face), di situ hadir ketidaksantunan. Konsep kedua yang juga tidak kalah penting dengan yang pertama, adalah bahwa santun itu artinya tidak ‘merugikan’ sesama. Artinya pula, orang tidak boleh berbahasa dan bersikap hanya menguntungkan dirinya sendiri, tetapi dalam waktu bersamaan, merugikan sesamanya.
Konsep ketiga dari kesantunan berbahasa adalah empan papan. Pakar bahasa tertentu menyebutnya angon rasa, selanjutnya diikuti adu rasa, kemudian tepa selira. Dengan angon rasa dimaksudkan, orang harus senantiasa melihat suasana dalam bertutur. Apabila mitra tutur yang hendak diajak bertutur tidak sedang dalam suasana positif, lebih baik pertuturan itu ditunda, lalu dicarikan waktu yang dianggap tepat untuk menyampaikannya. Dengan demikian, konsep angon rasa sesungguhnya adalah bagian dari pertimbangan konteks dalam bertutur sapa itu.
Adapun yang dimaksud tepa silira, adalah ‘mengukur pada dirinya sendiri’ dalam pengertian yang positif. Jadi, misalnya saja, sebuah perkataan kasar, sebelum benar-benar dikeluarkan, harus dikenakan pada diri sendiri terlebih dahulu. Kalau dengan dikenakan pada diri sendiri, katakan saja, tuturan itu menyakitkan, maka jangan sekali-kali bentuk kebahasaan itu digunakan bagi orang lain. Maka dengan pertimbangan-pertimbangan keduanya itu dengan secara cermat, rasa yang dimiliki penutur dan mitra tutur itu lalu dipadukan.
Seorang pakar bahasa Jawa pernah mengatakan, bertutur dengan penuh pertimbangan rasa dapat dianggap berada pada tataran madu rasa. Konsep tepa selira sesungguhnya berada pada tataran madu rasa ini dalam praktik bertutur sapa. Demikian pula kalau dalam masyarakat Jawa dikenal konsep empan papan, atau berbicara ‘tahu tempat’ dan ‘tahu waktu’ serta ‘tahu situasinya’, juga berada dalam tataran madu rasa ini. Jadi, dalam konteks berkomunikasi dengan sesama, tataran madu rasa ini lazimnya lebih kompleks daripada tataran yang hadir sebelumnya, yang masih dianggapnya tataran awal, yakni madu basa.
Hemat saya, rekan yang saya sebutkan di awal tulisan ini sudah memahami benar konsep madu basa dan madu rasa ini dalam praktik bertutur dengan sesamanya. Tidak peduli usia mitra tutur, juga jabatannya, status sosialnya, apalagi jenis kelaminnya, dia selalu berbicara santun dengan siapa saja, dan kesantunan itu bukan sekadar basa-basi sebagai madu basa, alias pemanis bahasa, tetapi sungguh-sungguh dilakukan penuh kesadaran. Dengan perkataan lain, rekan saya ini sudah dapat melampaui tataran pertama dalam praktik berbahasa seperti yang disebutkan tadi, melainkan sudah menjangkau tataran madu rasa. Dalam tataran ini pertimbangan tepa-tepa, tepa selira, unggah-ungguh, sopan santun semuanya menjadi perhatian pokoknya. Wow, sepertinya saya sendiri pun belum sepenuhnya masuk pada tataran kebahasaan itu…!
R. Kunjana Rahardi
DOSEN ASMI SANTA MARIA YOGYAKARTA