SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kalau ada lelaki yang tergila-gila pada upacara tujuh belasan dialah Oesman. Meskipun tidak pernah diundang dan tidak ingin diundang, setiap upacara tujuh belasan digelar lelaki tua yang kupanggil Kakek Oes itu selalu datang. Aku siap bersaksi tentang ini.

Di desa kami setiap tanggal 17 Agustus memang selalu diadakan upacara bendera. Sekitar pukul sembilan upacara yang dilaksanakan di lapangan desa itu dimulai. Kepala desa bertindak selaku pembina upacara. Pesertanya seluruh unsur desa seperti aparat desa, tokoh masyarakat serta semua orang kaya. Ya, semua warga diundang kecuali orang miskin. Bukankah di mana pun manusia-manusia miskin dilupakan dan tidak perlu diundang? Dan karenanya Kakek Oes tidak diundang.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun, seperti yang kubilang, Kakek Oes selalu datang dan dengan penuh saksama mengikuti seluruh rangkaian upacara. Dia datang paling awal dan dengan sabar menunggu di sebelah barat di antara lebatnya pohon yang memagar lapangan. Tidak dengan duduk-duduk tetapi dengan sikap tegap ala tentara, berjam-jam. Ketika upacara dimulai sikap khusuk Kakek Oes berlipat. Saat Sang Saka Merah Putih mulai dikibarkan dan Indonesia Raya dikumandangkan matanya selalu berlinang. Yang lebih istimewa, setiap mengikuti upacara, meskipun sembunyi-sembunyi, dia selalu berseragam lengkap dengan emblem dan pangkat. Persis seorang prajurit. Tetapi seragam apa?

“Ini seragam prajurit Tentara Pelajar,” kata Kakek Oes padaku setelah berhasil membuka koper yang barusan dia turunkan dari atas lemari. Selain dipan reyot dengan kasur berwarna tanah, lemari itu satu-satunya perabot di rumahnya. Koper besi sangat berkarat itu ternyata hanya berisi seragam tersebut. Seragam yang sudah pudar dan hampir punah warnanya itu ujung-ujungnya sudah gerepes oleh kutu pakaian, di sekitar saku dan lengan tampak banyak lubang-lubang bekas peniti emblem dan pangkat. Aku betul-betul tidak menyangka kalau Kakek Oes dulunya seorang prajurit. Dia tidak pernah bercerita sebelumnya.

“Seragam ini penuh sejarah,” lanjutnya sambil mengeluarkannya dari dalam koper. Ketika diangkat aroma apek pun langsung meruap. Namun dari cara mengambilnya yang begitu berhati-hati dan saksama tampak kalau seragam itu betul-betul bersejarah dan begitu berharga bagi kakek.

Sambil memakainya Kakek Oes menceritakan kisah di balik seragam itu. Katanya, pertama kali memakainya ketika ia bergabung dengan prajurit Tentara Pelajar. Ketika itu ia baru masuk sekolah setingkat SMA. Ia tergabung dalam Seksi 321 yang dipimpin Anggoro. Dengan seragam seperti inilah ia ikut perang mempertahankan kemerdekaan yang mau diambil kembali oleh Belanda. Pertempuran yang terjadi di sekitar kampung kami itu meletus pada akhir Agustus 1947. Dari 36 orang anggota Seksi 321, hanya 11 orang yang hidup.

“Yang hidup hanya mereka yang bertahan di sudut desa, yang bergeser ke sawah sebelah selatan. Mereka berpura-pura mati dengan tidur di samping kawannya yang telah berlumuran darah. Sementara yang bergeser ke sawah sebelah utara semua tertembak dan gugur. Aku juga tertembak namun tidak mati. Ada seorang petani menyelamatkan nyawaku. Petani itu menutupi tubuhku dengan tumpukan jerami yang ada di sawah selatan. Setelah Belanda pergi baru aku diambil oleh petani tersebut, dibawa pulang untuk diobati.”

Pada hari-hari lain, tanpa aku minta, Kakek Oes selalu antusias menceritakan ulang kisah-kisah heroiknya dulu padaku, terutama saat bulan Agustus tiba. Setiap menceritakan detil peperangan demi peperangan semangatnya selalu berkobar. Ia seakan kembali belia, kembali pada usia belasan tahun, saat-saat di mana tangannya gagah memanggul bedil dan matanya tajam memburu tikus-tikus kompeni. Di sela-sela ceritanya, Kakek Oes juga tak pernah lupa mendendangkan romantika cinta antara dirinya dengan putri sang petani yang telah menyelamatkan dirinya. Di rumah Soekemi, Oesman atau Kakek Oes muda dirawat dan diobati oleh Soetini, anak sang petani itu. Soetini yang waktu itu seusia dengan Oesman merupakan sukarelawan yang selalu siaga mengobati setiap prajurit yang terluka. Dari pertemuan pertama itulah cinta mereka bersemi. Setelah perang usai baru Oesman memperistri Soetini, nenekku.

Meski sudah puluhan kali Kakek Oes mengulangi kisahnya namun setiap itu pula aku terhenyak. Betapa mulianya para pelajar zaman dahulu yang begitu gagah berani mempertaruhkan jiwa raga demi kelanggengan kemerdekaan negeri ini, tanpa pernah ada tanda jasa, dan tak pernah menuntut apa pun. Beda jauh dengan para pelajar zaman now yang hanya gemar nongkrong, motoran, dan tawuran.

Kini Kakek Oes sudah begitu renta. Kutakar usianya sudah sembilan puluhan tahun. Kakek pun tak sering lagi berkisah tentang perjuangan atau kisah cinta bersama sang nenek. Dia sudah sibuk dengan batuk dan encok. Kendati demikian, dia masih rajin mengikuti upacara di lapangan desa. Tentu sekarang tidak terus berdiri dan lebih banyak duduk, juga tidak lagi berseragam. Tetapi dia tetap datang awal. Sepertinya tidak ada kata telat dalam kamus hidupnya.

Sebagai cucu satu-satunya aku begitu bangga pada dia sekaligus teramat sedih. Sedih karena sampai sesenja itu dia masih saja mengikuti upacara di antara lebat pepohonan dan semak-semak. Padahal, andai saja aku bercerita pada pihak desa kalau sejatinya Kakek Oes adalah satu di antara saksi sekaligus pelaku sejarah kemerdekaan pasti dia diundang. Namun, Kakek Oes tidak berkenan. Dia bilang sudah cukup bahagia bisa ikut upaca seperti sekarang.

“Sudin, usah neka-neka. Asal terus bisa ikut upacara Kakek sudah bahagia,” tuturnya lemah.

Aku bertambah sedih.

Aku pun akhirnya memilih berkhianat. Aku menceritakan tentang siapa sejatinya kakek pada Pak Mudin, kepala desa yang baru terpilih. Pak Mudin terharu. Ia bahkan berjanji akan merekomendasikan Kakek Oes kepada Pak Bupati agar diundang pada upacara yang digelar di alun-alun kota. Aku begitu gembira kala itu tetapi pada akhirnya harus kuakui kalau aku sangat menyesal, menyesal telah mengkhianati kakek.

Pak Mudin memang menepati janji. Dua hari sebelum 17 Agustus tahun ini ia bersama camat dan seseorang yang mengaku ajudan bupati datang ke rumah Kakek Oes. Sang ajudan itu menyampaikan bahwa bupati mengundang Kakek Oes pada upacara tujuh belasan di alun-alun kota.

“Dengan penuh rasa hormat, Pak Bupati mengundang Bapak untuk menjadi peserta kehormatan dalam upacara tujuh belasan besok,” tutur sang ajudan. “Kami akan menjemput Bapak sekitar jam delapan pagi, sebelum upacara dimulai,” pungkasnya.

Kakek Oes sempat curiga padaku dan hendak menolak undangan itu namun buru-buru Pak Mudin bilang kalau itu murni kemauan sang bupati.

“Kek, jangankan Sudin, saya dan Pak Camat pun tidak tahu menahu. Tiba-tiba Mas ini datang ke balai desa dan minta diantarkan ke rumah Kakek,” ujar Pak Mudin sembari menepuk pundak sang ajudan. “Begitu kan Pak Camat?” imbuhnya.

Tentu ucapan Pak Mudin rekaan belaka tetapi Pak Camat mengangguk. Kakek Oes akhirnya menyanggupi. Aku begitu gembira.

Selepas mereka pergi, mata Kakek Oes berkaca-kaca. Ia memang tak pernah ingin dikenang tapi undangan seorang bupati sudah lebih dari cukup, bahkan sangat istimewa. Tentu bagiku itu sangat membahagiakan. Keinginan yang selama ini kupendam akan segera terwujud.

Pagi ini, tepat tanggal 17, Kakek Oes berdandan rapi. Seragam prajurit yang lama disimpan dikenakan kembali. Untuk membuang aroma apek yang meruap kusemprotkan banyak-banyak minyak wangi murahan. Dalam balutan seragam, semangat Kakek Oes kembali nyala, berlipat-lipat dari biasanya. Batuknya hilang. Encoknya melayang. Ia betul-betul tampak kembali menjadi pejuang. Gagah dan tenang. Seperti yang sudah-sudah, aku akan bertindak sebagai ajudan kakek. Aku akan selalu di sampingnya, mengingatkan yang terlupa sekaligus mengantisipasi situasi yang tak terduga.

Semua sudah siap, tinggal menunggu mobil jemputan, yang sialnya tak kunjung tiba. Seandainya ada jam di rumah ini, pasti sudah menunjuk angka sembilan, dan itu berarti sudah lewat satu jam dari janji yang diucapkan sang ajudan bupati tempo hari. Kakek Oes yang tak pernah mengenal telat begitu gelisah sampai mencak-mencak. Aku bersyukur dan begitu lega, sebelum kakek benar-benar ngambek, tepat setengan sepuluh, jemputan itu akhirnya tiba.

“Jangan main-main dengan waktu, anak muda! Kesempatan hanya datang sekali! Telat sedikit saja negara ini tidak akan pernah merdeka!” sembur kakek. Sang penjemput mengangguk dengan kikuk.

Sampai di alun-alun upacara betul-betul sudah dimulai. Sambil mendampingi sang kakek menuju tribun kehormatan aku terus berusaha menenangkan dia yang masih saja mempermasalahkan keterlambatan tersebut.



Mendekati tribun kondisi Kakek Oes sepertinya tidak baik-baik saja. Jalannya terhuyung-huyung. Dan ketika beberapa pejabat menyambut dengan berdiri dan menyalami tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat dengan mata terbelalak. Aku begitu panik. Ia sempat memekik kemudian ambruk tepat di hadapan sang bupati. Dia pun segera dilarikan ke rumah sakit terdekat tetapi nyawanya tak tertolong.

Dokter menyatakan kematian kakek hanya karena faktor usia. Aku percaya. Namun, lewat sebuah mimpi Kakek Oes memaparkan sebuah rahasia. Kakek Oes bercerita, saat memasuki tribun kehormatan, semua yang ada di sana, Pak Bupati dan para pejabat lain mendadak berubah wujud menjadi segerombolan manusia berkepala serigala. Moncong dan taring-taringnya berlumur darah. Setiap berbicara dan moncong itu bergerak ada darah segar yang ikut muncerat. Sementara dari peci yang dikenakan keluar ular-ular kecil yang melilit-lilit di pundaknya.

Masih menurutnya, makhluk-makhluk macam itulah yang dulu dia lihat menjelma dari orang-orang pribumi yang berkhianat pada bangsa ini, yang menjadi telik sandi dan anjing-anjing kompeni.

“Sudin, aku mati karena aku tidak sudi upacara dengan para pengkhianat dan penjilat macam mereka. Aku tidak sudi!!” pekik Kakek Oes sebelum kemudian sosoknya mengabur lalu lesap bersama asap-asap.

***

Kebumen, Akhir Agustus 2017

Moh. Romadlon, tinggal di Rantewringin, RT 001/RW 002, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Beberapa tulisanya berupa cerpen, cernak, dan resensi sudah dimuat di berbagai media cetak dan online.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya