SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

<blockquote><p>Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (9/4/2018). Esai ini karya Aris Setiawan, etnomusikolog dan pengajar kelas Kritik Musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Alamat e-mail penulis adalah segelas.kopi.manis@gmail.com.<strong><br /></strong></p></blockquote><p><strong>Solopos.com, SOLO–</strong>Jika ada pertanyaan siapa kritikus musik paling berpengaruh di Indonesia? Jawabannya pastilah Suka Hardjana. Ia menjadi katalisator yang menempatkan musik tidak saja enak untuk didengar tapi juga dibaca.</p><p>Dengan membaca musik, Suka Hardjana mengajak kita bermain-main dalam tataran ide, konsep, gagasan, dan wacana-wacana. Sering kali tulisan dia lebih memukau dibanding karya musik yang dia ulas. Pada dekade 1980-1990-an, Suka Hardjana adalah kolumnis musik yang paling produktif dan diperhitungkan.</p><p>Ia tak memilih berada dalam dimensi musik populer yang bernuansa kapitalistis. Ia justru lebih khusyuk menulis musik-musik kontemporer dan akar rumput yang kala itu sedang mencoba tumbuh. Dengan rajin ia menuliskan semangat generasi muda bermusik lewat <em>Pekan Komponis Muda</em> pada awal 1980-an di Jakarta.</p><p>Dalam tulisan itu, Suka Hardjana tidak semata-mata mengkritik musikus yang tampil, tapi juga memberi bekal berupa penguatan-penguatan dan semangat dalam bermusik.</p><p>Hasil ulasan dia setiap pekan terbit di beberapa koran nasional ibu kota yang kemudian dibukukan dengan judul <em>Antara Kritik dan Apresiasi</em> (2004) serta <em>Esai dan Kritik Musik</em> (2004).</p><p><strong>Membela Yang muda</strong></p><p>Saat saya berjumpa dengan Suka Hardjana pada 2007, di antara kesibukan dia mengajar di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, saya bertanya kenapa dalam esai-esai dia pada 1980-1990-an lebih banyak berisi puja-puji bagi musik kontemporer karya generasi muda?</p><p>Jawaban dia sungguh membuat saya tertegun. Ia menjelaskan dengan arif dan santun bahwa fungsi kritik musik tidak saja mencari kelemahan, namun ada misi yang lebih besar, yakni memberi empati dan kesempatan bagi generasi muda agar terus membangun semangat dan jiwa bermusik.</p><p>Dengan mengkritik secara pedas, Suka Hardjana khawatir semangat mereka akan padam, padahal musik kontemporer kala itu masih berjalan tertatih-tatih untuk hidup. Musik kontemporer kala itu adalah episentrum seni yang tak membawa pamrih kalkulasi keuntungan materi bagi musikus.</p><p>Mereka bermusik semata-mata demi letupan-letupan kreatif yang tak terbendung. Bisa dibayangkan jika karya-karya musikus muda kala itu ia tulis dan ia kritik tanpa memerhatikan sisi humanis yang bijak, pastilah saat ini kita tidak mengenal Rahayu Supanggah, Pande Made Sukerta, Sri Hastanto, Ben Pasaribu, A.L. Suwardi, Otto Sidarta, dan masih banyak lagi.</p><p>Suka Hardjana menjadi dosen favorit yang paling dinanti mahasiswa Jurusan Penciptaan Musik di kampus-kampus seni. Sekali mengajar dapat berlangsung delapan hingga 10 jam, dari pagi sampai menjelang malam. Gaya komunikasi verbalnya sama seperti gayanya menulis, enak diikuti, jelas dan tandas.</p><p>Di kelas dia, mahasiswa dikenalkan dengan berbagai karya musikus besar dunia dari era megalitik hingga era kuantum kemudian didiskusikan. Ia senantiasa menekankan bahwa musik harus diobrolkan agar tidak membeku semata-mata dalam bunyi.</p><p>Semakin banyak diobrolkan akan semakin membuka temuan-temuan baru yang tak terduga, sebagaimana kala Suka membicarakan karya-karya Rahayu Supanggah yang disebutnya sayu, sederhana, namun penuh polemik dan mencerdaskan.</p><p>Suka Hardjana bersahabat karib dengan Rahayu Supanggah, komposer (gamelan) paling berpengaruh di dunia saat ini. Kala karya monumental Rahayu Supanggah bersama Kronos Kwartet (2009) hendak ditampilkan ulang oleh beberapa musikus terkenal di negeri ini, Suka adalah orang yang kali pertama dimintai pertimbangan.</p><p>Pada akhirnya, Suka Hardjana tidak memberikan rekomendasi karya itu dipentaskan ulang dengan melihat dan membaca kemungkinan jika karya tersebut akan jauh lebih jelek jika dipentaskan oleh musikus-musikus yang tak memiliki bekal musik tradisi secara khatam, terutama gamelan.</p><p>Saat Rahayu Supanggah menjadi Rektor dan Direktur Program Pascasarjana ISI Solo, ia meminta Suka Hardjana membantu mengajar di kelas penciptaan musik, tanpa imbalan. Persahabatan lebih mulia dari sekadar urusan uang. Begitulah prinsip keduanya. Beberapa waktu belakangan, karena kesehatan yang terus memburuk, Suka Hardjana memutuskan berhenti mengajar.</p><p><strong>Warisan</strong></p><p>Kita terlalu sulit menjumpai generasi kritikus musik setelah era Suka Hardjana. Menulis adalah ikhtiar yang memberi teladan, bukan semata cercaan. Suka Hardjana adalah contoh konkret kedewasaan menjadi kritikus musik.</p><p>Dewasa ini kita sering kali melihat ulasan-ulasan kritik musik yang semata berisi hujatan dan umpatan, tapi melupakan satu hal penting: kebajikan. Selayaknya Sal Murgiyanto dalam dunia tari, Suka Hardjana adalah begawan yang karya-karyanya diacu sebagai &ldquo;kitab referensi&rdquo; utama pada kelas-kelas kritik musik di kampus-kampus seni hingga saat ini.</p><p>Pada titik itulah Suka Hardjana memberi contoh berharga bahwa kritik adalah sebentuk jembatan pemahaman bagi masyarakat, bukan sekadar berisi apologi dan pamer teori-teori. Wajar ia berucap demikian karena saat ini banyak guru besar kritik seni tapi tak pernah melahirkan karya-karya kritik yang dapat dibaca dan diacu.</p><p>Jika kita membaca karya-karya mereka semata-mata berisi pajangan teori-teori tentang bagaimana menulis kritik yang baik. Teori-teori itu didapat dari menganalisis kecenderungan karya Suka Hardjana.</p><p>Akibatnya, kita lebih khusyuk membicarakan teori-teori dalam penulisan kritik dibanding menulis kritik itu sendiri. Kelas kritik sesak dengan penjelasan-penjelasan seputar semiotik, hermenuitik, etnografi, praksis, sosiologi, antropologi, pedagogi, holistik, dan seabrek persoalan teknis-teknis lainnya.</p><p>Mahasiswa kelas kritik fasih saat berbicara tentang teori kritik namun gagal dalam menulis kritik. Menulis kritik musik menghadapi jalan terjal. Kampus sering kali mencetak ilmuwan &ldquo;teori kritik&rdquo; namun bukan kritikus. Tubuh kritik menjadi renta. Dibongkar dan diulas, tapi tak lekas menjadi pemicu lahirnya kritikus-kritikus anyar.</p><p>Dengan demikian, Suka Hardjana menjadi generasi paling akhir bagi kehidupan kritik musik yang berkualiatas di negeri ini. Ia telah berpulang untuk selamanya pada 7 April 2018 pada usia ke-78 tahun karena sakit. Ia pergi meninggalkan warisan berupa esai-esai dan tulisan tentang musik, berisi pemikiran dan sekaligus perenungan yang berharga.</p><p>Di pengujung waktunya, ia telah menerbitkan buku berjudul <em>Estetika Musik</em> (2018). Pada detik terakhir itu pun ia masih memikirkan tentang perkembangan dunia keilmuan (kritik) musik di negeri ini.</p><p>Saya yakin, Suka Harjana pergi dengan senyum, melihat musikus-musikus muda yang kala itu dia tulis dan kini telah menjadi tokoh-tokoh dan mestro musik di bidang merela. Selamat jalan Suka Hardjana.</p>

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya