SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa)

Kali ini izinkan saya “ngrasani” Presiden RI, Pak Jokowi. Pekan lalu, banyak orang kaget tatkala tiba-tiba berseliweran berita, bahwa Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara, berkunjung ke Ukraina. Ya, Ukraina. Juga Rusia. Menemui kedua presidennya.

Dengan cepat Pak Jokowi menjadi newsmaker dunia. Banyak media internasional memberitakannya. Kita tahu, Kunjungan Kepala Negara ke sebuah negara dalam zona perang bukan sesuatu yang lazim. Apalagi mengajak Ibu Negara.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pernah sebelumnya, Presiden Soeharto mengunjungi kawasan konflik, Bosnia Herzegovina, pada 1995. Bosnia diserang oleh Serbia yang dibantu Yugoslavia lantaran konflik etnis. Bedanya, misi Pak Harto tersebut dijalankan agak “setengah rahasia”. Kebetulan, tidak ada Ibu Negara, karena Ibu Tien sudah wafat ketika itu.

Bahkan, ada sedikit taktik dan strategi “penyamaran kopiah”, demi keselamatan Presiden. Salah satu aktornya adalah Komandan Grup A Paspampres Sjafrie Sjamsoeddin. Saya pernah dengar cerita ini langsung dari Pak Sjafrie Sjamsoeddin dalam beberapa kesempatan.

Tapi jelas, kali ini beda. Presiden Jokowi disertai Ibu Negara. Menjelang keberangkatan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam penjelasan resmi mengatakan bahwa perjalanan Pak Jokowi bersama Ibu Negara bukanlah kunjungan yang biasa. Sebab lawatan tersebut dilakukan ketika Rusia dan Ukraina sedang berperang. Dengan kata lain, lawatan itu bukanlah kunjungan kenegaraan normal.

Tentu risiko dan ancaman bisa muncul kapan saja dan di mana saja. Dan alhamdulillah, Presiden dan Ibu Negara aman-aman saja.

***

Kunjungan Pak Harto ke Bosnia sudah menjadi sejarah. Sebaliknya, kunjungan Pak Jokowi beserta Ibu Negara ke Ukraina dan Rusia, juga bakal menjadi sejarah.

Konteks peristiwa berbeda, tetapi semangatnya kurang lebih sama. Pada era Pak Harto, sebagai salah satu pemimpin Gerakan Non Blok, Indonesia berkomitmen untuk menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif, mewujudkan dunia yang damai.

Hari ini, momentumnya kurang kebih sama. Namun dengan sederet kondisi dan situasi yang berbeda. Memang, sejak akhir Februari tahun ini meletus serangan Rusia ke Ukraina. Perang itu melahirkan implikasi geopolitik dan geoekonomi yang ternyata nggak terbayangkan sebelumnya. Dunia krisis pangan dan energi.

Di saat dampak Pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan ekonomi dunia belum benar-benar teratasi, muncul risiko yang tak kalah ngeri. Perang Rusia terhadap Ukraina, yang di-back up oleh geng negara-negara Eropa dan Amerika yang tergabung di NATO, telah melahirkan konsekuensi ekonomi yang luas.

Blokade Barat terhadap Rusia telah menghasilkan aneka tindakan retaliasi yang menyebabkan rantai pasok pangan dan energi global seperti sapi pejantan dikebiri. Pasalnya, sebagian besar pasok gas Eropa berasal dari Rusia. Sebagian besar pasok minyak masak Eropa dan Asia juga berasal dari minyak kedelai, canola dan bunga matahari, yang dihasilkan dari zona perang. Blokade ekonomi telah mengakibatkan rantai pasok global berantakan.

Bahkan dampaknya melebihi dampak pandemi. Kita sudah mengalami, harga pangan dan energi melonjak enggak karuan. Inflasi kini menjadi risiko bersama di seluruh dunia.

Di dalam negeri, harga minyak goreng di Indonesia sempat berantakan, karena stok dalam negeri habis diekspor. Pengusaha tergiur dengan harga global yang naik gila-gilaan. Sampai-sampai Presiden Jokowi melarang ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng, demi mengembalikan pasok dalam negeri dan mengendalikan harganya agar relatif normal kembali. Itu cuma sekelumit ilustrasi di dalam negeri.

Yang jelas, tetangga di Asia seperti India bahkan mengalami kelangkaan minyak goreng, yang terpaksa meminta kiriman dari Indonesia. Sri Lanka mengalami krisis pangan yang lebih parah. Dan kini mulai sruing-sruing kedengaran, krisis merembet kePakistan.

Ada pula laporan dari lembaga keuangan internasional, bahwa sedikitnya 40 negara terancam menjadi failed state. Negara gagal, apabila krisis pangan dan energi terjadi berkepanjangan. Indonesia memang tidak masuk daftar. Tapi, sederet negara, yang pada umumnya negara berkembang, menghadapi ancaman krisis yang tidak main-main.

Bahkan negara maju dan kaya seperti Jerman, kini kembali ke batubara, setelah didera kelangkaan gas dari Rusia. Para tetangga Jerman kini tak lagi mengharamkan minyak goreng dari kelapa sawit. Padahal kampanye menentang minyak kelapa sawit yang massive baru saja terjadi beberapa tahun belakangan. Juga kesepakatan untuk zero carbon juga baru saja dicapai dalam konsensus di Glasgow tahun lalu.

Lebih dari itu, bila rantai pasok pangan dan energi ini tidak segera pulih, manufacturing global berada dalam risiko besar. Pabrik alumunium di banyak negara bisa collapse. Sebelum ini, krisis microchips sudah melanda pabrikan otomotif dunia. Lebih jauh lagi, masa depan green economy, juga mobil listrik, bisa berantakan.

Dan dalam konteks makro, gambarannya bisa lebih mengerikan. Baru saja lembaga-lembaga keuangan internasional mengoreksi lagi prospek perekonomian global, yang bahkan baru merasa siuman dari dampak pandemi. Angka koreksinya nggak main-main. Antara 1%-3%. Disertai lonjakan inflasi. Maka banyak ekonom bilang, dunia terancam stagflasi. Stagnasi pertumbuhan ekonomi dan saat bersamaan disertai risiko kenaikan harga-harga alias inflasi.

Itu gara-gara perang. Apalagi bila berkepanjangan.

***

Dalam konteks luas tersebut, saya mencoba membaca makna dari misi Pak Jokowi ke Ukraina dan Rusia untuk kepentingan kemanusiaan. Tapi izinkan saya melihat dari perspektif yang berbeda. Dianggap “mendolop”, ya enggak papa.

Saya jadi ingat, kembali ke tahun 2016. Saat rencana tax amnesty baru panas-panasnya menjadi debat publik. Banyak orang bilang, negara-negara yang sudah menjalankan tax amnesty kebanyakan gagal. Skala keberhasilan tak sampai 10% dari target. Itu berdasarkan data historis. Maka, rame-lah wacana publik, bahwa tax amnesty Indonesia juga diramalkan bakal gagal. Tapi bagi yang melihat dari perspektif optimistis, meyakini satu hal: terlalu pagi dibilang gagal. Faktanya, setelah program berjalan dan berakhir, banyak pujian dari lembaga keuangan global. Tax amnesty Indonesia dibilang “a huge succes“. Sebuah keberhasilan besar.

Banyak lagi yang lain. Saat Pak Jokowi gencar membangun infrastruktur termasuk jalan tol, tak lekang “caci maki” dari berbagai kalangan. Mulai dari prioritas yang dianggap tidak urgent, pembiayaan dari utang, dan sederet persepsi berbasis “kenormalan” yang lain. Tapi lihat saja, hari ini kebanyakan dari kita adalah penikmat infrastruktur, yang dibangun di era Pak Jokowi. Dan mobilitas ekonomi mendapat manfaat besar.

Banyak lagi, berderet-deret contoh yang lain. Mulai persepsi “pelemahan KPK”, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang diplesetkan UU Cilaka, rencana pembangunan IKN yang terus menuai pro dan kontra, hingga yang terakhir ini soal diplomasi kemanusiaan ke Ukraina dan Rusia.

Saya justru melihat semua langkah itu akan menjadi legacy baik dari pemerintahan Pak Jokowi. Saya melihat Pak Jokowi tidak ingin diam di zona nyaman. Kita merasakan, hari ini Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang relatif sangat berhasil dalam pengendalian pandemi Covid-19. Indonesia juga relatif aman dari risiko sebagai negara gagal.



Lebih dari itu, terlalu dini untuk menilai hasil diplomasi kemanusiaan Pak Jokowi ini. Terlalu dini dibilang berhasil, apalagi dibilang gagal.

Terlebih situasi yang melatarinya begitu kompleks. Saya mencoba nguping dari lingkaran diplomatik, yang menyebutkan bahwa situasi hubungan antara Ukraina beserta negara-negara Barat dan Rusia saat ini sangat kompleks. Dengan segala implikasinya. Bahkan jauh lebih kompleks ketimbang saat krisis Balkan, dan konflik etnik di Bosnia tiga dekade silam.

Dalam situasi seperti itu, untuk mencari titik temu diperlukan waktu dan serangkaian upaya yang panjang. Dalam konteks itulah, ikhtiar Presiden Jokowi menemui Presiden Zelenskyy dan Presiden Putin merupakan salah satu upaya untuk berkontribusi.

Konteksnya tentu bukan hanya untuk mendorong ke arah perdamaian. Penting dan sangat strategis pula adalah memulihkan rantai pasok pangan dari Ukraina dan energi dan pupuk dari Rusia yang saat ini memukul keras perekonomian dunia. Lebih strategis lagi, Presiden Jokowi membawakan kepentingan perekonomian negara berkembang yang sangat terdampak, karena terganggunya rantai pasok pangan dan pupuk tersebut.

Kebetulan pula, saat ini Indonesia memegang Presidensi G-20, kumpulan 20 negara kaya dunia.

Jelas dalam konteks itu, Indonesia memiliki kepentingan agar Presidensi G-20 berhasil. Harapannya, tidak ada satupun anggota G-20 yang absen apalagi memboikot pertemuan Bali akhir tahun nanti.

Dari aspek body language atau bahasa tubuh diplomasi, satu yang kita lupa mengamati: tidak banyak pemimpin negara yang diterima dua pihak –Ukraina dan Rusia– dengan hangat.

Lebih dari itu, tidak banyak pula pemimpin yang memiliki kepentingan geostrategis dan geoekonomi yang kental dan mau mencoba berkontribusi. Dan, Presiden Jokowi adalah salah satu dari yg sedikit tersebut.

Itulah legacy yang saya maksud. Dan tentu, angkat topi untuk Menlu Retno Marsudi. Dalam sirkumstansi yang tidak mudah itulah, misi diplomasi itu terjadi. Hasilnya, kita lihat nanti.

Nah, bagaimana menurut Anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya