SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Suatu kali saya terpaksa melihat video mukbang – tontonan favorit anak saya – di tablet karena peranan cache (memori singgahan) yang tak bisa saya hindari.

Video itu menampilkan orang-orang yang berteriak-teriak saat menyantap makanan karena mereka kepedasan, mengaduh-aduh sakit perut karena terlalu banyak makanan yang harus dicerna, hingga mengunyah makanan dengan suara teramat keras demi menggambarkan betapa nikmat santapan mereka.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Sebagai penggemar berat Jason Yeoh (baik sebagai host maupun produser) di Asian Food Network yang selalu membuat saya larut dalam perjalanan fisik maupun psikisnya (meski kemampuan memasak saya nol besar): Jason’s Kopitiam Trails, Axian’s Food Adventure, Taste with Jason, Jason Can’t Cook, Jason’s Market Trails, dan Food Psychology – video mukbang itu bukan hanya tak bisa saya nikmati, namun terus-terang saya teramat tersiksa saat menontonnya.

Saya sungguh tak mengerti bagaimana kedua anak saya bisa sangat menyukai video semacam itu. Yang saya tahu hanya ada dua cara dalam menikmati makanan: pertama meresapinya dalam diam dan kedua sambil mengobrol bersama orang-orang yang dengan mereka kita bisa terhubung secara emosional atau maknawi.

Video mukbang itu rupanya belum seberapa saat seorang teman mengenalkan saya pada video Fajar Sadboy. Saat itu, perasaan tersiksa saya bertambah berkali-kali lipat. Mirip-mirip tak habis pikir, sedih, putus asa, malu sendiri, dan perasaan sejenis yang bercampur menjadi satu. Betapa perilaku mereka itu sungguh berlebihan. Lebay!

Tanpa saya sadari diksi lebay ini pun memenuhi kepala saya selama berhari-hari hingga akhirnya saya menyerah. Saya pun kembali pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hasilnya, saya tak menemukan kata lebay di KBBI daring edisi III yang dipublikasikan pada 2008 lalu itu.

Awalnya saya pikir lebay tidak ada representasinya. Namun, akhirnya saya menemukan kata ini di KBBI daring edisi V yang dipublikasikan pada 2016 dan kali terakhir diperbarui pada Oktober 2022. KBBI terbaru ini menyebut lema lebay sebagai sesuatu yang berlebihan: bisa tentang gaya berbicara, penampilan, dan sejenisnya.

Pikiran saya kembali terusik. Tentu ada banyak pertimbangan sampai negara akhirnya menyerap kata ini. Bayangan saya terseret lagi pada beberapa video mukbang yang telah saya tonton di Youtube; Fajar Sadboy; sampai akhirnya saya teringat pada kasus istri Sekda Riau dan Kasatlantas Polres Malang yang gemar mengoleksi dan mengunggah foto bersama barang branded mereka, namun KW itu. Lebay mengantarkan saya pada ingatan-ingatan tersebut.

Berfoto di Pinggir Jurang

Satu per satu pertanyaan mulai membombardir saya. Seperti, kenapa orang-orang menjadi selebay itu? Apa yang sebenarnya mereka cari? Apa yang ada di pikiran mereka? Apakah mereka puas dengan kelebayan itu? Apakah menurut mereka lebay sebenarnya normal? Tidakkah mereka malu? Atau apakah mereka sebenarnya tidak sadar kalau mereka itu lebay? Jika lebay mereka anggap normal, bagaimana lebay yang sesungguhnya?

“Tentu saja mereka tahu kalau mereka itu lebay dan jelas-jelas mereka itu sengaja!” Saya bayangkan Gay Debord, filsuf yang juga ahli teori Marxis, mengatakan begitu jika saya bertanya kepadanya. Itu ketika saya teringat pada teorinya tentang masyarakat spectacle. Jadi baiklah, saya akan memulai perjalanan merenung ini dari cara Debord berpikir.

Satu kalimat dalam buku Debord yang berjudul The Society of The Spectacle menjadi pintu pembuka. Spectacle, menurut Debord, bukanlah kumpulan gambaran, melainkan hubungan sosial yang termediasi gambaran-gambaran. Anda bisa membayangkan hubungan ini sebagaimana Instagram atau Tiktok telah membentuk kehidupan dan jaringan pertemanan Anda sekarang. Ingat, Anda bukanlah Anda saat keduanya belum ada dulu.

Berkat Debord saya sampai pada pemahaman bahwa sejatinya media sosial tidaklah dihidupi dari akar. Jadi yang kita lihat di Instagram sebenarnya hanyalah pseudo world – dunia buatan dengan representasi suka-suka.

Kita, saya juga, tidak akan menemukan apa pun di balik gambaran-gambaran itu selain material mengambang. Palsu! Frasa yang digunakan Baudrillard dalam bukunya Consumer Society: that’s a copy of a copy, berhasil merepresentasikan dunia semu itu dengan jitu.

Baca Juga: Cinta pada Pandangan Pertama

Persoalannya, bagaimana jika kita dihadapkan pada kondisi itu secara terus-menerus atau konsisten. Seperti kata Aristoteles, apa yang kita lihat sehari-hari pada akhirnya menjadi sesuatu yang alamiah atau second nature. Jadi, setelah Instagram atau Tiktok itu lahir, kita akan menganggap segala aktivitas bersaing agar menjadi terlihat itu adalah hal yang biasa – bukan lagi sesuatu yang lebay.

Lantas, bisakah Anda bayangkan kalau semua orang berlaku lebay seperti itu. Pemenangnya tentulah si paling lebay yang perilakunya di media sosial bakal semakin jauh dari elemen rasionalitas dan kemanusiaan. Tak apa-apa menantang maut untuk berfoto di pinggir jurang atau di tengah rel kereta api, contohnya, asal bisa menjaring ratusan ribu jempol, syukur-syukur sejutaan. Hidup macam apakah itu?

Spectacle, seperti kata Debord, sejatinya adalah kehidupan yang terdegradasi sebab esensi manusia bukan lagi menjadi human being, namun melorot menjadi human having (berlomba-lomba dalam hal konsumsi. I consume, therefore I am atau aku belanja maka aku ada) dan semakin melorot menjadi human appearing (yang tampak adalah yang nyata, mau barang branded itu sebenarnya palsu, pinjaman, nyicil, nyewa, nyolong, nyomot, atau ngerampok akan menjadi lepas konteks). Hidup menjadi untuk yang tampak, dengan kode-kode yang sangat lebay, untuk mendapatkan validasi.

Lantas bagaimana dengan diri saya sendiri? Bisakah saya mengkritik diri sendiri kalau saya bisa dengan sangat kritis mengoreksi orang lain dan menuding mereka lebay?

Perenungan ini bagi saya menjadi lebih sulit. Namun, jika saya kembali pada esensi hidup, pada kebutuhan dasar saya sebagai manusia, maka sejatinya yang saya butuhkan hanyalah sandang, pangan, dan papan. Ini adalah kata kunci kecukupan dan sejatinya belum berubah dari dulu sampai sekarang. Esensinya memang sesederhana itu.

Kesimpulannya, saya ini juga makluk lebay (tipis-tipis) karena ternyata saya tak bisa menjadi sesederhana itu.

Sebagai contoh, saya pikir apa yang melekat di tubuh saya bukanlah sandang yang secara esensi menutupi tubuh, kain maksud saya, karena fungsinya telah bergeser ke politis atau fashion. Pakaian saya adalah sesuatu yang politis karena yang saya pakai adalah kesengajaan dan upaya saya untuk merepresentasikan diri agar kode-kode itu dikonsumsi orang lain.

Lantas bagaimana dengan pangan? Saya pikir sama saja. Lidah saya juga sangat politis dan bahkan kadang rasis dengan otoritas saya memilih makanan berikut tempat makan yang saya datangi. Saya sangat pilih-pilih.

Untuk papan bagaimana? Tidak beda juga. Meski saya tak mampu membeli hunian mewah, namun saya juga penyumbang inflasi saat pandemi dulu atau saat Lebaran dengan kesibukan membeli cat, aksesori, dan perlengkapan rumah yang lain. Bagi orang yang mengaku makhluk modern seperti saya, rumah telah menjadi lebih dari sekadar papan.

Jadi, menulis ini lama-lama terasa seperti menguliti diri sendiri. Semenjak saya resmi menjadi bagian dari dunia media sosial dan nimbrung di sana, semenjak saya menjadi konsumen loyal informasi, saya pikir hidup ini memang telah bergeser, tepat seperti yang dikatakan Georg Lukacs: turn into a thing. Kesadaran palsu ini begitu menekan hingga membuat saya kerap kali merasa kesepian dan kosong.



Nukilan puisi Hasta Indriyana ini sepertinya bisa mewakili perasaan saya. Begini bunyinya:

“…Jika diandaikan kamu dandan. Ketebelan. Bibir tebal digincu tebal. Pupur tebal rata di kulit gelap. Tapi Tuhan berbaik hati memberimu rasa. Pede (atau tak tahu diri, apa bedanya?) Sehingga ahli bahasa menemukan gaya bahasa bernama hiperbola.” Judul puisi ini adalah Lebay.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Maret 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya