SOLOPOS.COM - Suwarmin (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Lebaran Covid-19 bisa dimaknai sebagai perayaan Lebaran di tengah pandemi Covid-19. “Lebaran” berasal dari kata bahasa Jawa lebar yang berarti akhir dari sesuatu. Lebaran dirayakan sebagai akhir dari ibadah puasa Ramadan.

Rasanya kita masih belum melihat “hilal” akan berakhirnya Covid-19. Tahun ini kita merayakan edisi kedua Lebaran Covid-19. Tahun lalu yang pertama, sekitar tiga bulan setelah pandemi diumumkan masuk ke negeri ini. Kala itu, nuansa ketakutan sangat terasa.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Tahun ini, saat merayakan Lebaran 2021, semakin banyak warga yang tidak lagi merasa ketakutan akan pandemic Covid-19. Mungkin karena sudah lebih dari setahun pandemi itu berada di Indonesia. Sebagian warga sudah biasa hidup di antara ketakutan akibat pandemi atau sudah bosan dengan imbauan menerapkan protokol kesehatan.

Ekspedisi Mudik 2024

Masyarakat terbelah. Sebagian sangat patuh dengan protokol kesehatan. Sebagian sangat abai dengan protokol kesehatan. Sebagian ada di tengah: kadang patuh, kadang abai. Mungkin ini terjadi karena pemerintah juga gamang dalam mengambil kebijakan.

Mudik yang tadinya dibolehkan, akhirnya dilarang. Bahkan, mudik di wilayah aglomerasi pun sempat dilarang. Walaupun akhirnya petugas di lapangan kebingungan melaksanakan. Pelarangan itu pun hilang menguap entah ke mana.

Mudik memang tidak boleh. Tapi, piknik boleh. Maka, tempat-tempat wisata dibuka. Orang berkerumun, bersuka cita, bereuforia. Maklum. Ini Lebaran. Jangan terlalu menyalahkan mereka yang ramai-ramai piknik. Bagi sebagian kalangan, piknik saat Lebaran adalah kewajiban kultural.

Bagi mereka Lebaran adalah piknik. Mereka tidak punya tradisi piknik pada kesempatan yang lain. Bisa jadi karena hal itu piknik dibolehkan. Maka, destinasi wisata bersolek. Warung-warung dibuka. Roda-roda transportasi dari dan ke tempat destinasi mulai wisata berjalan.

Kaus-kaus berhiaskan tempat wisata bermunculan. Produsen jasa pariwisata sedikit menggeliat. Ada juga paradoks lain. Pada saat menjalankan Salat Idulfitri, Rabu (13/5/2021) lalu, sebagian besar warga tertib menjaga jarak.

Jarak antarwarga jemaah salat dibikin renggang demi mengurangi risiko persebaran Covid-19. Tapi, saat Syawal menjelang, saat warga mulai ramai menggelar hajatan, pelaksanaan protokol kesehatan banyak yang sekadar basa-basi.

Cobalah tengok hajatan di sejumlah tempat di sekitar Kota Solo. Tempat mencuci tangan berikut sabunnya memang disediakan di depan wisma hajatan. Tetapi, lebih sering menjadi sekadar pajangan. Yang menggunakan hanya sedikit tamu yang datang.

Yang bertamu dengan protokol kesehatan lengkap, membawa hand sanitizer dan masker, seolah kena prank, karena menjadi minoritas. Mungkin sebagian aparat sudah sayah atau lelah dengan kampanye protokol kesehatan yang sudah setahun lebih mereka gaungkan.

Bisa jadi mereka menyadari hajatan masyarakat adalah mesin penggerak konsumsi. Saat hajatan dibolehkan, rangkaian belanja konsumsi masyarakat akan terkerek: daging, gula, minyak goreng, rokok, kacang, mete, pisang, dan lain-lain. Juga para seniman kembali mendapatkan job yang mereka rindukan.

Menjadi pemandangan yang lazim selama Ramadan silam sejumlah rumah makan dan hotel ramai menggelar jamuan buka puasa. Restoran dan bisnis kuliner rumahan pun ikut menangguk untung memanfaatkan tren ini. Khusus bagi pelaku bisnis hotel, tradisi buka bersama (bukber) menjadi hiburan kecil setelah nyaris tumbang dihantam pandemi. Beberapa hotel di Solo malah diam-diam sudah menutup operasi.

Memperbarui Semangat

Dalam acara talkshow yang digelar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Youtube, Sabtu (15/5/21), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun ini berada di zona positif. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi pada periode April-Juni 2021 ini mencapai 7%.

"Kita berharap pertumbuhan ekonomi di kuartal II akan masuk jalur positif. Diperkirakan bisa mencapai 7%," kata Airlangga. Tentu menyenangkan jika angka yang disodorkan Airlangga benar-benar terlaksana.

Tapi, ada yang menyebut angka itu over optimistic. Bank Dunia memprediksi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini di kisaran 4,4%. Ada China dan Vietnam yang diprediksi mempunyai angka pertumbuhan lebih baik, yakni di kisaran 8% dan 6%. Ada harapan dan janji pertumbuhan di sektor ekonomi.

Bagaimana dengan sektor pengendalian Covid-19? Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut tren angka positivity rate Indonesia per Mei 2021 merupakan yang terendah selama pandemi Covid-19. Pada Mei 2021 ini, tercatat angka minimal sebesar 8,5% dan maksimal sebesar 13,6% dengan angka rata-rata sebesar 11,3%.

Wiku lantas membandingkan dengan situasi yang dialami India. Menurut dia, data perbandingan menunjukkan bahwa saat ini positivity rate atau rasio jumlah kasus positif di India sedang meningkat tajam hingga ke titik tertinggi. Sedangkan di Indonesia sedang menurun cukup drastis hingga ke titik terendah.

Begitulah. Kita sedang bertaruh. Keriuhan piknik, kegembiraan pesta hajatan, keramaian bukber, selain menjanjikan pergerakan ekonomi, juga menyimpan potensi penyebaran virus Covid-19. Mungkin inilah gaya “konsisten” pemerintah. Berkelindan di antara dua arus utama: menggerakkan roda ekonomi sambil mengerem laju penambahan kasus Covid-19.

Secara tidak sengaja saya mencermati beberapa obrolan melalui aplikasi video call Ome TV, antara orang Indonesia yang kebanyakan remaja dengan orang-orang dari berbagai negara. Ketika anak-anak muda ini ditanya warga asing, bagaimana kondisi Covid-19 di Indonesia, mereka menjawab, Indonesia berada di tengah-tengah. Not so good, not so bad.

Teman saya, warga negara Jepang yang pernah tinggal di Indonesia selama Covid ini, menyebut Indonesia bangsa “Santuy”. Dia menyebut kata santuy dan ungkapan Jawa “ora papa” yang berarti “tidak apa-apa”. Entah itu ungkapan mengagumi atau ungkapan memaklumi.

Kebanyakan warga masyarakat kita sering meremehkan protokol keamanan dan protokol kesehatan. Segala sesuatunya dibikin santuy alias santai dan “tidak apa-apa.” Rasanya pemerintah mempunyai dua pekerjaan besar yang perlu segera dilakukan. Pertama, mempercepat vaksinasi Covid-19, karena sampai dengan Selasa (11/5/2021), menurut Kementerian Kesehatan, baru 5% penduduk Indonesia yang mendapatkan vaksin Covid-19 secara lengkap atau baru 8,8 juta orang.

Kedua, pemerintah perlu menyiapkan strategi kebijakan untuk memperbarui semangat dan kesadaran masyarakat yang mulai jenuh. Tetap dengan berpegang pada dua jurus di atas: ekonomi bertumbuh, Covid-19 terkendali. Jika terlambat mengantisipasi, kita bisa semakin tertinggal dengan beberapa negara yang sudah siap-siap merayakan “Lebaran Covid” yang sebenarnya. Yakni, merayakan berakhirnya wabah Covid-19 di negara mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya