SOLOPOS.COM - Ilustrasi perlintasan tanpa palang pintu di Klaten (Dok/Solopos)

Solopos.com, KLATEN — Menjelang dan sesudah Lebaran, beban para penjaga perlintasan rel kereta api (KA) tanpa palang pintu Mbah Ruwet, Ceper, Klaten, makin besar. Hal ini karena makin banyak nyawa yang bergantung pada tugas mereka. Berikut kisahnya.

Slamet, 55; Kismadi, 45; dan Riyawan, 22; tengah duduk santai di sebuah posko yang terbuat dari bambu, Minggu (27/7/2014) pagi. Mereka tengah asyik membicarakan masalah Lebaran bersama keluarga.

Promosi BRI Group Berangkatkan 12.173 Orang Mudik Asyik Bersama BUMN 2024

Selang beberapa menit kemudian, pembicaraan mereka terhenti kala mendengar suara peluit kereta api. Tanpa dikomando, mereka bergegas menuju perlintasan kereta api yang hanya berjarak tiga meter dari posko tempat mereka nongkrong.

Kemudian, mereka menutup palang pintu perlintasan yang terbuat dari bambu secara manual. Pengendara bermotor yang hendak lewat pun berhenti sejenak di belakang palang pintu bambu sepanjang empat meter tersebut.

Sementara, mereka bertiga tetap berdiri di depan palang pintu tersebut. Mereka menunggu hingga kereta benar-benar melintas. Setelah kereta lewat, mereka bertiga kembali membuka palang pintu dan mempersilahkan pengendara bermotor untuk lewat.

Ya, begitulah suasana di perlintasan Mbah Ruwet di Dusun Tegalduwur, Desa Pokak, Kecamatan Ceper. Hampir setiap 10 menit kereta api melintas di perlintasan tersebut. Tetapi, di lokasi tersebut sama sekali tidak ada palang pintu perlintasan dari PT KAI.

Padahal, kawasan tersebut adalah jalur padat yang cukup banyak dilalui kendaraan bermotor. Dari arah barat, jalur tersebut adalah jalan tembus menuju jalan Solo-Jogja. Sedangkan, dari arah timur merupakan akses menuju sejumlah desa di Kecamatan Ceper, Trucuk dan Karangdowo.

Oleh sebab itu, perlintasan kereta api itu kini dijaga oleh sejumlah sukarelawan dari warga setempat. Total, ada enam sukarelawan yang bertugas menjaga perlintasan kereta api Mbah Ruwet tersebut. Mereka berjaga selama 24 jam penuh dengan sistem shift.

Koordinator Sukarelawan, Slamet, 55, menuturkan penjagaan perlintasan secara swadaya itu sudah dilakukan sejak dua tahun silam. Penjagaan dilakukan karena perlintasan Mbah Ruwet merupakan jalur yang cukup padat.

“Bahkan, sebelum dilakukan penjagaan, sudah ada beberapa kali kecelakaan antara kereta dengan kendaraan bermotor,” ujarnya kepada Solopos.com di lokasi, Minggu. Terakhir, kecelakaan menimpa salah satu pedagang kaki lima yang tengah melintas di kawasan tersebut. Bahkan, sebelum dilakukan penjagaan juga pernah terjadi kecelakaan dengan mobil iring-iringan pengantin.

“Atas dasar tingkat kerawanan kecelakaan itu, kami akhirnya berjaga di pos yang kami bangun secara mandiri ini. Apalagi saat ini menjelang Lebaran sangat ramai,” katanya. Pihaknya sudah beberapa kali mengajukan palang pintu dan penjagaan dari PT KAI, tetapi hingga saat ini memang belum mendapatkan tanggapan.

Sementara, sukarelawan yang lain, Riyawan, 22, mengaku perlintasan Mbah Ruwet pernah diberi palang pintu otomatis oleh PT. KAI. Namun, palang otomatis tersebut rusak dan tidak bisa digunakan.

Menurutnya, penjagaan di perlintasan Mbah Ruwet hanya mengandalkan pendengaran dan penglihatan. “Di sini tidak ada sinyal kereta yang lewat. Kami hanya bisa mendengarkan secara seksama suara peluit kereta api atau dengan melihatnya secara langsung. Setelah itu, kami tutup pintu perlintasan,” paparnya.

Sukarelawan itu hanya dibayar oleh Pemkab Klaten Rp500.000/ bulan. Kendati demikian, mereka tetap melaksanakan tugas demi menyelamatkan nyawa pengguna jalan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya