SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Solopos)

Harianjogja.com, SLEMAN-Tingginya dana investasi untuk membuka kantor cabang memunculkan wacana layanan perbankan tanpa kantor. Langkah tersebut dilakukan dengan mengembangkan Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK).

Kebijakan tersebut, kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY Arief Budi Santoto, bertujuan menjangkau perilaku masyarakat yang selama ini tidak terlayani bank. Alasan lain pengembangan layanan perbankan tanpa kantor itu untuk membuka atau membangun kantor cabang membutuhkan investasi besar. Pengembangan perbankan tanpa kantor cabang ini bisa dilakukan melalui sarana ponsel, agen termasuk Kantor Pos yang memiliki jaringan di hampir semua wilayah, bisa dimanfaatkan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Informasi yang saya dapat, nasabah perbankan hanya 50 juta penduduk Indonesia sedangan pemilik ponsel sekitar 150 juta orang. Ini yang akan dikembangkan melalui akses banking,” ujarnya di sela-sela Seminar Perbankan Potensi Pertumbuhan Sektor Perbankan DIY: Prospek Perekonomian dan Perubahan Perilaku Nasabah yang diselenggarakan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Jogja, di Jogja Plaza Hotel, Jumat (29/11/2013).

Dia mengapresiasi penyusunan riset consumer banking yang dilakukan UKDW, Jogja Research Center dan PT Mars Indonesia. Dia berharap, hasil riset tersebut mampu berperan nyata dan memberikan kontribusi bagi semua pihak. “Hasil riset itu harus mampu mendorong pertumbuhan industri perbankan di DIY untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi daerah,” harapnya.

Peneliti Jogja Research Center Singgih Santoso mengatakan, ada sejumlah alasan nasabah di DIY menjadi nasabah di sebuah bank. Dari 401 responden yang diambil sebanyak 26% karena lokasi bank yang dekat dengan rumah dan 25,3% saja yang mengaku pelayanan bank memuaskan. Sementara, terkait perilaku menabung sebanyak 44,1% orang menabung dengan menyisihkan sebagian pendapatan yang dihasilkan, penghasilan ditabung kemudian diambil sesuai kebutuhan (27,6%), dibelanjakan dulu sesuai kebutuhan kemudian ditabung (16,8%).

“Yang menarik, tingkat kepemilikan internet banking di DIY sangat rendah. Hanya 14,3% yang memiliki internet banking dan 85,7% yang tidak memiliki. Padahal, tingkat awareness mobile banking mereka yang mengetahui sebanyak 89,2% dan yang tidak mengetahui hanya 10,8%,” paparnya.

Di lain sisi, sambungnya, pemakaian mobile banking sebanyak 68,8% digunakan untuk mengecek saldo, transfer (27,1%), isi ulang voucher (2,1%) dan lainnya (2,1%). Dengan demikian, sambungnya, hal itu menjadi potensi bagi perbankan untuk mencari nasabah baru. “Dengan kemajuan teknologi informasi, deliver value dalam perbankan saat ini berkembang ke ATM dan E-Channel. Ini bisa menjadi faktor diferensiasi sebuah bank untuk berkompetisi,” tukasnya.

Menurut Wakil Rektor II UKDW Purnawan Hardiyanto, tahun depan merupakan tahun yang penuh risiko karena Indonesia akan melaksanakan Pemilu. Saat bersamaan, otoritas moneter di Indonesia melakukan kebijakan uang ketat untuk meredam gejolak nilai tukar yang terus naik. “Masalah defisit neraca perdagangan ini sampai saat ini tidak bisa diatasi pemerintah sehingga masyarakat berspekulasi bila nilai tukar dolar terhadap rupiah semakin bery bertambah,” ujarnya.

Minat spekulasi masyarakat meningkat karena paket kebijakan yang diambil menteri keuangan untuk mengurangi laju pertumbuhan impor ternyata tidak menunjukkan hasil signifikan. “Kegagalan program kemandirian pangan yang dicanangkan pemerintah itu yang dituding sebagai penyebabnya. Pemerintah sulit mengatasi persoalan defisit neraca perdagangan ini,” kritik Purnawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya