Solopos.com, JAKARTA — Negara kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp6 triliun setiap bulannya akibat larangan ekspor crude palm oil atau CPO dan turunannya.
Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai Rapat Kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Raker Banggar DPR) terkait persetujuan tambahan kebutuhan anggaran dalam merespons kenaikan harga komoditas.
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Raker berlangsung pada Kamis (19/5/2022). Penerimaan dari ekspor CPO menjadi salah satu pembahasan setelah Sri Mulyani dan Banggar DPR mendiskusikan penambahan anggaran untuk merespons tingginya harga komoditas.
Pemerintah mengajukan penambahan anggaran untuk subsidi energi, kemudian DPR buka suara terkait larangan ekspor CPO yang menghilangkan potensi penerimaan negara.
“Sekitar Rp6 triliun satu bulannya [potensi pendapatan yang hilang jika kebijakan larangan ekspor terus terjadi],” ujar Sri Mulyani pada Kamis (19/5/2022) seperti dikutip dari Bisnis.com.
Baca Juga: Petani Sawit Demo, Ekonom Sebut Anomali dalam Pelarangan Ekspor CPO
Dia pun menyatakan akan menyampaikan aspirasi dari sejumlah anggota DPR terkait CPO kepada menteri-menteri terkait dan kepada presiden.
Pihaknya sendiri mengakui bahwa kebijakan larangan ekspor memang mengurangi penerimaan negara dari sejumlah aspek.
“Kami dari sisi Kementerian Keuangan sudah menyampaikan kalau CPO dan seluruh ekspor itu tetap dilakukan pelarangan setiap bulan berapa penerimaan kita turun dari pajak ekspor, pajak penghasilan [PPh], bea keluar, itu semuanya kami sampaikan laporannya sehingga termasuk tadi, ekspor kita kan menambah devisa, jadi seluruh kehilangan pendapatan itu kami sampaikan supaya bisa menjadi bahan untuk membuat keputusan,” katanya.
Baca Juga: Duh, Seusai Lebaran, Harga Kelapa Sawit Anjlok Rp2.947,58 per Kilogram
Indonesia sebagai salah satu eksportir terbesar CPO dunia menuai untung dari tingginya harga komoditas tersebut.
Namun, polemik pengelolaan minyak goreng di dalam negeri membuat pemrintah memberlakukan larangan ekspor—meskipun harga minyak goreng belum turun signifikan setelah larangan itu berlaku.
Di sisi lain, tingginya harga komoditas energi menyebabkan adanya selisih antara alokasi subsidi dengan biaya yang diperlukan.
Pemerintah pun mengajukan tambahan anggaran subsidi energi Rp74,9 triliun, anggaran kompensasi energi Rp275 triliun, dan anggaran perlindungan sosial Rp18,6 triliun.
Baca Juga: Gawat! Ekspor Kelapa Sawit Berpotensi Kehilangan Ribuan Triliun Rupiah
Seperti diberitakan sebelumnya, kebijakan pelarangan ekspor produk kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) justru berujung pada unjuk rasa yang dilakukan oleh para petani sawit, Selasa (17/5/202).
Para petani sawit dalam aksinya meminta agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan pelarangan ekspor CPO dan turunannya, lantaran membuat anjlok harga tandan buah segar (TBS) petani.
Aksi yang dilakukan oleh para petani dinilai menjadi peringatan bagi pemerintah agar mempercepat pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor CPO dan meninjau kebijakan tersebut.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menduga kebijakan tersebut belum berjalan secara optimal lantaran ada semacam anomali dalam kebijakan.
“Anomalinya, saat ini menurut pengakuan petani, harga TBS di level petani mengalami penurunan, salah satu alasan kenapa TBS ini mengalami penurunan karena supply CPO dari petani begitu melimpah sehingga tidak terserap penuh oleh pasar,” kata Yusuf kepada Bisnis, Rabu (18/5/2022).