Senin, 27 Agustus 2012 - 01:49 WIB

LAPSUS: Prostitusi di Dunia Maya Kian Menggila

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

Awal Ramadan lalu, sebuah situs terlarang mengunggah foto seorang gadis berstatus mahasiswi. Posenya cukup menantang. Wajahnya disensor. Sejumlah data terkait gadis itu diumbar. Mulai tarifnya, kelebihannya, hingga ukuran kemolekan tubuhnya disajikan secara detail.

Advertisement

Satu lagi, nomor telepon yang bisa dihubungi juga disajikan di situs yang menasbihkan diri sebagai penyedia informasi dunia syahwat itu. “Dia kuliah di Solo. Sekarang lagi ramai dibicarakan,” kata salah satu pengguna situs tersebut saat berbincang dengan Solopos.com beberapa waktu lalu.

Tak butuh waktu lama untuk menguak informasi seputar mahasiswi itu. Dalam hitungan jam dan hari, komentar dan testimoni mengalir seiring bertambahnya para member yang aktif di situs itu. “Mereka yang sudah pernah ‘memakai’, akan memberikan FR [field report] di laman sub forum. FR ini berisi informasi apa saja terkait TO [target operasi],” jelasnya.

Advertisement

Tak butuh waktu lama untuk menguak informasi seputar mahasiswi itu. Dalam hitungan jam dan hari, komentar dan testimoni mengalir seiring bertambahnya para member yang aktif di situs itu. “Mereka yang sudah pernah ‘memakai’, akan memberikan FR [field report] di laman sub forum. FR ini berisi informasi apa saja terkait TO [target operasi],” jelasnya.

Situs tersebut memang baru aktif sekitar dua tahun lalu. Namun, jumlah anggotanya telah melampaui 322.000 orang. Datanya tertata rapi. Semua postingan terklasifikasikan berdasarkan daerah yang bersangkutan. Seperti organisasi bawah tanah, percakapan mereka pun tertutup. Banyak bahasa sandi dan singkatan bertebaran. Account mereka pun disamarkan. “Semua pakai nick name untuk menjaga kerahasiaan,” katanya sambil menunjukkan sejumlah bahasa sandi situs itu.

Untuk membuktikan kebenaran informasi di situs terlarang itu, Tim Espos pun mengunduh DNS jumper, sebuah software yang bisa membuka situs itu. Dalam hitungan menit, Espos sudah bisa registrasi dan membikin account baru tanpa verifikasi. Berbekal data dari situs itu, terlacaklah siapa saja orang-orang yang pernah menjual diri di situs itu.

Advertisement

Kencan

“Kita tukeran nomor HP yuk,” ajak Espos sebelum membikin perjanjian pertemuan.

Di sebuah mal di Kota Solo, gadis berambut sebahu itu datang tepat waktu pukul 13.00 WIB. Ia sendirian tanpa canggung. Celananya jins pensil ketat dan bersepatu hak tinggi. Kepada Tim Espos yang kala itu menyamar sebagai calon pengguna, ia pun bicara banyak hal. Mulai alasannya memilih bergelut di dunia prostitusi tersembunyi, hingga hal-hal remeh temeh seputar kebiasannya di kos-kosan. “Banyak kok anak kuliahan yang nyambi seperti saya begini,” aku mahasiswi yang tak mau menyebutkan alamat asalnya ini.

Advertisement

Sambil sesekali menyeruput minuman ringan, mahasiswi itu juga tanpa canggung menceritakan pengalamannya tidur bersama sejumlah lelaki hidung belang berkantong tebal. Soal tarif, dia terbiasa membanderol Rp500.000-Rp800.000/sekali booking. Semua ia lakukan semata-mata untuk mereguk hasrat ragawi, meski kerapkali bermotif ekonomi.

“Ya, kadang untuk bayar kos-kosan, SPP, dan shopping,” akunya sambil tertawa cekikan.

Setelah hampir satu jam ngobrol, dia pun meminta uang transportasi Rp50.000. “Tadi kan, dah janji ngasih uang transport,” katanya setelah itu berlalu.

Advertisement

Taktik mahasiswi itu mungkin hanyalah sekelumit dari sekian modus bisnis syahwat di era teknologi. Potret tersebut juga menunjukkan betapa praktik prostitusi saat ini mulai bergeser dari cara-cara konvensional ke cara-cara lebih canggih, rapi, dan susah terendus. Mereka tak lagi mangkal di tempat-tempat tertentu untuk menanti lelaki hidung belang. Melainkan, cukup melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, tagged ataupun aplikasi chatting seperti MIRC, omegle, mig33 dan situs-situs terlarang lainnya.

“Ada sekitar 100 WP [wanita panggilan] di Soloraya yang bergiat di prostitusi tersembunyi ini. Mereka rata-rata siswi SMA, mahasiswi dan SPG. Tapi, kadang juga ada yang SMP,” ujar sumber Solopos.com itu.

Menyikapi prostitusi di jejaring sosial ini, Koordinator Penanganan Kasus Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spekham) Solo, Nila Ayu Puspaningrum tak menampik adanya praktik prostitusi berbasis teknologi ini. Meski sulit untuk mendata apalagi membinanya, ia mengakui bahwa korban terbesar dari kebebasan arus informasi dan teknologi adalah anak-anak seusia SMP-SMA. “Mereka itulah yang sangat rentan terjebak pada dunia eksploitasi seksual, karena masih labil emosinya,” paparnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif