SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

JOGJA—Program akselerasi yang selama ini digulirkan dinilai diskriminatif. Tak hanya itu, siswa peserta akselarasi juga rentan stres dan mengalami tekanan psikologis.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengamat Pendidikan Djohar M.S. mengatakan sudah selayaknya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meninjau kembali program akselerasi. Pasalnya kebijakan ini dinilai tidak bermanfaat.

“Ini diskriminasi, padahal di Undang-undang sudah jelas disebutkan jika setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Saat ini yang terjadi justru sekolah membedakan mana yang unggul dan mana yang tidak,” terang dia kepada Harian Jogja, Sabtu (23/6).

Ekspedisi Mudik 2024

Mantan Rektor UST ini menilai kebijakan ini justru memberikan suatu pertanda adanya disintergrasi bangsa. Pasalnya dunia pendidikan sudah mengajarkan pengotak-ngotakan secara sistematis. Ke depan, imbuhnya, pola ini akan tertanam pada anak-anak sehingga mengakibatkan mereka merasa superior dibandingkan orang lain.

“Seperti ajaran Ki Hajar, Tut Wuri Handayani. Tugas guru itu mendampingi setiap siswa, baik yang unggul, sedang dan di bawah. Kalau cul-culan [melepas] kok enak banget gurune,” ujar Djohar lagi.

Ada pun dengan belajar bersama, ia menuturkan seluruh siswa akan termotivasi sehingga terbentuk persaingan yang sehat. Di sisi lain, keragaman dalam komunitas ini juga akan mendorong siswa untuk belajar memahami orang lain, melatih kepekaan sosial dan berujung pada keinginan menjaga kesatuan.

Djohar menyampaikan akselerasi juga tidak memiliki tujuan yang jelas. Untuk itu Kemendikbud beserta jajasarannya perlu mengkaji program ini  “Dilihat dari prestasi, lulus 100 persen dengan nilai tertinggi dan diterima PTN 100 persen. Setelah itu terus apa? Tidak jelas,” papar dosen UNY ini. 

Rentan Stres

Guru BK SMAN 3 Jogja, Untung menyampaikan secara psikologis siswa akselerasi rentan mengalami stres. Namun, hal ini disebutnya tidak dapat diartikan jika siswa program atau kelas lain tidak dapat merasakan tekanan.  “Kalau didorong secara kognitif terus menerus, tentu iya. Anak akan sangat tertekan,” terang dia saat ditemui di SMAN 3 Jogja, Sabtu (23/6).

Atas alasan itu, sekolah harus memiliki pendekatan tertentu. Seperti pengadaan achievment motivation training (AMT) untuk memberikan persiapan bagi siswa. Tingkatan emosional setiap siswa disebutnya berbeda sehingga usia seseorang tidak dapat diartikan sebagai bentuk kematangan. Untuk itu, usia muda tidak menjadi persoalan untuk melaju ketahapan yang lebih tinggi dengan waktu lebih cepat.

Hanya saja mengetahui tingkat emosi seseorang diakui Untung tidak mudah. Atas alasan ini, sebelum masuk program akselerasi, peserta akan mengikuti psikotes. Tes tersebut dan beberapa syarat lain dapat memberikan gambaran mengenai kematangan emosional siswa.

Begitu lolos tes dan dinyatakan menjadi siswa akselerasi, imbuhnya, pekerjaan sekolah belum selesai. Pelatihan manajemen emosi tetap diperlukan agar siswa dapat menjalani waktu studi dengan singkat, berprestasi tetapi juga menyenangkan. “Karena setiap tahapan dan kebutuhan siswa sebelum, saat menjalani dan setelah lulus telah dipersiapkan. Alhamdullilah tidak ada masalah dengan emosi,” paparnya.

Selain itu, ia membantah jika program akselerasi merupakan kelas eksklusif. Kendati jumlah sisa terbatas, tetapi setiap siswa tetap dapat berbaur dengan siswa reguler. Menurutnya sikap ini terbentuk dari AMT saat pelatihan dan outbond.

Mengenai kepekaan sosial dan solidaritas, Untung menilai setiap siswa akselarasi justru dapat lebih kompak dari siswa reguler. Pasalnya dengan jumlah yang minoritas, satu sama lain akan berusaha saling memahami dan membantu. “Anak-anak aksel [akselerasi] ada yang tanpa diminta langsung mengkoordinir teman-teman mengumpulkan sumbangan untuk temannya yang tidak mampu membayar uang sekolah. Bukankah ini menunjukan siswa aksel bukan karbitan,” katanya. 

Tak Bisa Santai

Para siswa akselerasi sendiri mengaku tak bisa santai berada di kelas yang kompetitif itu. Meski mereka memilih sendiri dan mendapat dukungan dari orangtua. Kompetisi hingga bayangan masa depan lebih cerah menjadi alasan mereka memilih ikut program ini.

Salah satunya adalah Apri Hermanto, 16, siswa kelas akselerasi A (tahun pertama) SMA N 1 Wates, Kulonprogo. Lantaran niat untuk masuk ke kelas akselerasi merupakan keputusan dirinya sendiri, Apri pun menyadari konsekuensi apa yang akan ia hadapi, seperti harus disiplin mempersiapkan studinya. Karena membutuhkan keseriusan dalam mempersiapkan diri, mau tidak mau para pelajar kelas akselerasi harus belajar dengan sungguh-sungguh.

Untuk mengatur jadwal belajarnya, Apri mengaku setiap malam selalu menyempatkan diri untuk mengulang pelajaran yang didapat, serta mempelajari pelajaran yang akan diterima esok hari. ”Pokoknya belajar sampai merasa cukup,” ungkapnya pekan lalu.

Meski demikian, remaja berkacamata ini masih menyempatkan diri untuk berkumpul bersama rekan sebaya. Biasanya hal itu ia lakukan di sore hari misalkan dengan bermain bola basket bersama.

Sedangkan Siwi Rahmawani, 15, siswi akselerasi di sekolah yang sama mengatakan, tujuan masuk kelas akselerasi karena lebih kompetitif. “Saya maunya di lingkungan yang kompetitif sehingga saya bisa lebih terpacu dan menempa diri,” ujar remaja berkerudung itu.

Karena berasa di lingkungan kelas yang kompetitif, Siwi juga mengakui ia tidak bisa sesantai para pelajar kelas reguler lainnya. Jadwal belajar yang teratur ia lahap setiap hari di sore dan malam hari. ”Kalau malam minggu dan hari minggu tidak seketat itu. Biasanya jamnya dikurangi,” terangnya.

Ia mengaku bersykur keinginan untuk masuk di kelas akselerasi mendapatkan dukungan penuh dari kedua orangtua. Tidak ingin melupakan jasa orangtua, selain belajar keras untuk mencapai prestasi tinggi, Siwi juga tidak melupakan tugasnya sebagai anak untuk melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga.

Menurut Ketua Program Akselerasi SMAN 1 Wates, Sri Wahyuni Purbowati, ada 24 murid kelas akselerasi.” Tahun ajaran baru juga akan menerima 24 murid,” ujarnya.



Untuk memantau perkembangan belajar murid akselerasi, biasanya para guru mata pelajaran langsung mengkomunikasikan temuannya pada wali murid. ”Kami lakukan itu untuk mencegah agar prestasi mereka tidak jatuh,” lanjut dia.

Meski mengaku nilai para murid kelas akselerasi selalu lebih tinggi dari kelas reguler. Tahun ini kelas akselerasi di sekolah tersebut justru mengalami kemunduran. Nilai ujian akhir justru tidak jauh lebih tinggi dibandingkan murid dari kelas biasa.

Di kelas reguler, menurut Sri, materi pelajaran yang diajarkan sama dengan kelas reguler. “Hanya saja dipres, satu semester seharusnya enam bulan menjadi empat bulan saja. Jam pelajaran juga sama dengan yang lain. Untuk tahun pertama, mereka juga wajib mengikut kegiatan ekstrakulikuler,” terang dia.

Lalu, bagaimana agar para murid tidak mengalami tekanan psikologis? Menurut Sri, peran guru bimbingan konseling menjadi sangat penting di sini. Tidak hanya itu, mereka juga mempersiapkan waktu khusus untuk melakukan rekreasi bersama ke tempat wisata guna menghilangkan kepenatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya