SOLOPOS.COM - Lintah darat ilustrasi (ekonomi.kompasiana.com)

Lintah darat ilustrasi (ekonomi.kompasiana.com)

Termangu di ruang tamu rumahnya yang berdinding bata tak berplester, Dodi, 40, masih tak habis pikir dengan keputusan mertuanya mengagunkan sawah warisan seluas 600 meter persegi pada renternir.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sawah itu satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Mustahil bisa menebus kembali sawah itu,” kata ayah dua anak yang tinggal di Desa Sidomulyo, Bambanglipuro itu, akhir pekan lalu.

Demi meluluskan anak terakhirnya dari salah satu SMK swasta di Bantul, 2011 lalu, Diran, 70, merelakan sawahnya dikuasai renternir selama tiga tahun. Sebagai gantinya, laki-laki renta itu mendapat pinjaman Rp10 juta.

Sejak itu, di usia senjanya, Diran harus kembali menekuni profesi masa mudanya sebagai buruh bangunan. Banting tulang dari satu proyek ke proyek lain. Jangankan menyisihkan uang guna melunasi utang, untuk makan tiap hari saja pas-pasan.

Jika kesepakatan utang dengan agunan sawah selama tiga tahun itu mengikuti aturan sewa lahan sawah subur di Bantul (per patok Rp12 juta/tahun), Diran harusnya mendapatkan utang Rp36 juta. Namun demikian, Diran tidak menyadari nasibnya lebih parah dari pedagang kecil yang terjerat renternir.

Sebab, dia tidak perlu lari sembunyi karena si renternir itu juga tidak bakal menagih. Justru renternir itu berharap Diran dan sejumlah petani lain di Desa Sidomulyo, Bambanglipuro tidak mampu melunasi utangnya.

“Selama tiga tahun mengolah sawah agunan, renternir itu sudah balik bahkan tambah modal,” ujar Dodi.

Jika renternir itu menagih uangnya setelah masa pinjam tiga tahun telah habis, hanya ada dua pilihan bagi Diran. Menutup utang dengan pinjaman dari renternir lain yang bersedia mengelola sawah itu dalam jangka waktu lebih lama lagi, atau menjual sawah dengan harga murah pada renternir pertama itu. “Kalau pinjam ke bank harus punya sertifikat,” imbuh Dodi.

Di desa itu tidak hanya Diran yang mengalami nasib harus berurusan dengan rentenir. Masih banyak petani desa yang sertifikat sawahnya masih atas nama ayah atau bahkan kakeknya juga mengalami nasib yang sama.

Terbenturnya persyaratan perbankan menjadikan petani dan warga lainnya memilih menggunakan cara pintas dengan berutang pada retenir. Jika sertifikat itu akan diagunkan ke bank, otomatis harus ada kesepakatan seluruh anggota keluarga. “Nanti semuanya minta bagian dari utang itu,” pungkas Dodi.

Selain di Bantul, keberadaan lembaga keuangan ilegal yang menerapkan bunga tinggi juga bertebaran di Jogja.

Jasa peminjaman uang dengan transaksi cepat ini sangat mudah ditemui di sepanjang jalan di Jogja. Jumlahnya tak kalah banyak dengan lembaga resmi seperti perbankan. Pekan lalu Harian Jogja mencoba menelusuri bagaimana praktik lembaga keuangan ini bekerja.

Salah satunya yang terdapat di Jalan Bugisan, Jogja, terpampang jasa peminjaman keuangan yang menjanjikan pencairan uang hanya dalam satu jam. Yuyun, penghuni rumah yang memasang pengumuman sebagai lembaga jasa keuangan mengatakan, konsumen hanya cukup membawa foto copy KTP, KK dan BPKB asli serta rekening listrik bila hendak meminjam uang. Minimal Rp1 juta maksimal Rp10 juta. Lama peminjaman beragam bisa lima bulan, 11 bulan dan 12 bulan.

“Gampang kok syaratnya cuma itu saja,” tuturnya.

Yuyun mengaku rumahnya hanya dititipi papan pengumuman untuk menarik konsumen. Bila ada konsumen yang berminat ia akan menghubungi rekannya bernama Feri yang berkantor di Wirobrajan. Harian Jogja menyamar menjadi konsumen untuk menggali informasi dari Feri.

Feri mengatakan, proses peminjaman uang dilayani dari pagi hingga pukul 14.00 WIB. Namun untuk pencairan dilayani hingga sore. Ia mencontohkan untuk peminjaman uang sebesar Rp2 juta, tiap bulan konsumen harus menyicil sebesar Rp264.000 selama 11 bulan. Bila ditotal jumlahnya uang yang harus dibayar konsumen mencapai Rp2.904.000. Jauh lebih besar dari nilai uang yang dipinjam. “Itu cicilan tiap bulanya,” kata Feri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya