SOLOPOS.COM - Ilustrasi layanan kesehatan. (JIBI/Solopos/Dok.)

Mata Marsudi menerawang. Badannya yang lemah terbaring di atas ranjang. Satu tangannya terkepal, satunya lagi mendekap dadanya yang terbalut kemeja tipis warna biru hitam. Walau badannya menggigil namun kuku-kuku jarinya tak lantas menjadi pucat melainkan menguning senada dengan warna matanya.

Marsudi tengah menderita hepatitis B yang lebih populer disebut penyakit kuning. Walau sudah lebih dari dua pekan dia menderita penyakit ini, baru Kamis (23/2/2012) lalu, Marsudi masuk RSUD Sukoharjo. Itu pun bukan karena keinginanannya sendiri melainkan karena paksaan kakak perempuannya. Maklumlah dengan statusnya sebagai pengangguran, Marsudi tak berani meminta layanan kesehatan dari RS. Bapak dari dua anak ini terpaksa berhenti bekerja karena kondisi fisiknya yang makin lama makin lemah akibat sakit kuning yang parah. Makanan yang ia konsumsi dimuntahkan kembali.

Bukannya ingin mendapat pengobatan namun Marsudi justru bersikukuh menjauhi RS. Tak adanya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) serta tak masuknya nama dia dalam Surat Keputusan (SK) Bupati tentang keluarga miskin membuat Marsudi mengharamkan RS dari benaknya. Sejumlah kerabat Marsudi duduk berjajar di bawah ranjang. Mereka tampak serius membahas sesuatu sambil membolak-balik sebendel kertas fotokopian. Kertas itu rupanya milik pasien dari bilik sebelah yang baru saja meninggalkan RS setelah mendapat keringanan pembayaran RS. Surat permohonan keringanan biaya RS itu tertinggal.

“Mau bagaimana lagi kalau Bupati sudah menghapus surat keterangan tidak mampu (SKTM) ya kami tidak bisa lagi meminta bantuan. Mungkin ya kami bisa meniru permohonan keringanan biaya seperti ini saja,” usul sang kakak, Eni.
Meski suara diskusi keluarga mengganggu istirahatnya, Marsudi memilih diam. Seakan tak mau dengar, satu tangan ia angkat hingga menutup wajahnya yang hitam.

“Yang saya khawatirkan terjadi juga. Inilah sebabnya selama ini saya selalu menolak kalau dibawa ke RS. Saya takut tak bisa bayar dan ternyata benar kan. Sekarang ini sebenarnya saya cuma ingin pulang daripada merepotkan keluarga. Diobati di rumah saja sebenarnya tidak apa-apa,” keluh Marsudi pendek. “Sudah tidak usah dipikir. Yang penting istirahat biar cepat sembuh,” balas Eni kepada Marsudi.

Diskusi keluarga pun berlanjut sementara Marsudi kembali beristirahat. Eni pun menyimpan dokumen permohonan keringan biaya ke dalam tas. “Kami sungguh bingung kenapa kok SKTM dihentikan. Padahal yang namanya warga miskin itu kan banyak dan hanya sedikit yang masuk dalam data Jamkesmas maupun Jamkesda. Tetangga saya misalnya, banyak sekali yang miskin tapi yang dapat Jamkesmas bisa dihitung dengan jari. Yang menerima Jamkesda juga demikian,” ujarnya.

Apabila keluarga Marsudi dibuat kalang kabut dengan kebijakan Bupati yang menghapus SKTM, Eni berharap kondisi tersebut tidak menimpa keluarga miskin yang lain. “Semoga kebijakan ini segera diperbaiki. Kami berharap SKTM bisa diberlakukan lagi sebab masih banyak yang masih membutuhkan,” harap Eni.

Kebingungan yang dialami keluarga Marsudi makin menambah panjang daftar persoalan yang muncul pascakebijakan penghapusan SKTM yang diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) No 16/2012 tentang Jaminan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan/Atau Tidak Mampu di Kabupaten Sukoharjo. Apabila pada tahun sebelumnya, warga miskin yang tidak terkaver dalam Jamkesmas maupun database daerah tentang gakin masih bisa mendapat bantuan pembayaran RS dengan berbekal SKTM, kondisi tersebut kini tak berlaku lagi.

Perilaku Masyarakat
Tentunya bukan tanpa sebab Bupati mengeluarkan kebijakan tersebut. Wakil Bupati, Haryanto, menyatakan penghapusan SKTM dipicu oleh perilaku masyarakat yang sebenarnya tidak miskin namun mengaku-aku sebagai warga miskin hingga membuat keuangan daerah kacau. Catatan RSUD Sukoharjo menyebut dari seluruh pasien sepanjang tahun lalu, sebesar 57% menggunakan fasilitas SKTM sehingga biaya perawatan ditanggung pemerintah.

Haryanto menerangkan pada tahun lalu di luar kuota Jamkesmas dan Jamkesda Pemkab juga menyediakan dana cadangan bagi gakin yang menggunakan SKTM. “Namun setelah dievaluasi ternyata jumlah pasien yang menggunakan SKTM ini banyak sekali dan tidak semuanya ternyata warga tidak mampu. Banyak juga yang kaya tapi bisa mengakses SKTM hanya gara-gara kelurahan atau pihak desa pekewuh. Nah penghapusan kebijakan SKTM ini adalah upaya kami membatasi wewenang lurah dalam membuat SKTM supaya anggaran daerah tak lagi bengkak seperti kemarin,” jelas Haryanto.

Dia menyebut dana untuk Jamkesda pada tahun kemarin mencapai Rp 3,6 miliar sementara pada tahun ini hanya Rp 750 juta.
Tanpa SKTM, tambah Haryanto, sebenarnya Sukoharjo juga tidak akan dilanda masalah sebab kuota Jamkesmas sudah lebih dari cukup. Jumlah warga miskin 174.150 orang sedangkan kuota Jamkesmas dari pemerintah pusat 275.262 orang. Sehingga, masih ada sisa kuota sebanyak 101.112 orang.

Meski kelihatannya tak ada masalah namun anggota Komisi IV DPRD, Giyarto, justru menyangsikannya. “Apa Pemkab bisa menjamin bahwa 174.150 gakin benar-benar bisa masuk kuota Jamkesmas yang mencapai 200.000 lebih itu? Bagaimana seandainya ada warga yang sudah masuk dalam SK Bupati tentang Gakin tetapi tidak masuk kuota Jamkesmas sementara anggaran Jamkesda hanya Rp 750 juta,” ujarnya. Belum lagi, imbuh Giyarto, apakah Pemkab juga sudah memikirkan kemungkinan adanya gakin yang masih tercecer di luar SK Bupati. “Yang masuk dalam SK saja nasibnya belum jelas apalagi yang belum masuk. Bagaimana lantas solusi untuk ini,” tandasnya.

Kabid Sosbud Bappeda, Margiyanto, mengaku Pemkab tidak bisa menjamin semua nama gakin dalam SK Bupati masuk dalam kuota Jamkesmas. Sebab, hingga saat ini Pemkab belum bisa mengakses by name by address (nama dan alamat) calon penerima Jamkesmas berdasarkan data BPS.

Margiyanto menambahkan, setelah langkah Pemkab menanyakan data calon penerima Jamkesmas kepada BPS gagal, Bupati mencoba bertanya kepada Kementerian Kesehatan. “Sampai sekarang kami benar-benar belum tahu siapa saja penerima Jamkesmas. Jadi kalau bagaimana nasib gakin versi SK Bupati ya ada kemungkinan tidak masuk dalam kuota Jamkesmas,” tegas Margiyanto.

Langkah sementara yang bisa dilakukan Bappeda adalah melakukan pelacakan penerima Jamkesmas yang sudah ada atau yang mengacu kepada data BPS 2008. Satu per satu secara manual nama-nama mereka dicocokkan. Sayangnya soal hasil, Margiyanto memilih bungkam. Jawaban justru dilontarkan oleh Wabup, Haryanto. “Berdasarkan laporan yang saya terima dari Bappeda, dari 12 kecamatan sudah tergarap delapan kecamatan. Akhir pekan ini tambah satu jadi sembilan yang sudah tergarap. Nah dari pencocokan sementara itu muncul deviasi 50% yang artinya separo gakin dalam SK Bupati tidak masuk sebagai penerima Jamkesmas (setara 85.075 orang-red). Ya cukup repot memang kalau begini. Tapi kami masih mencari solusi yang terbaik,” tegasnya.

Solusi bisa dinanti namun tidak demikian bagi pasien miskin yang sekarang dirawat di RSUD. Bagi mereka bukan solusi yang terpenting namun dana segar yang bisa mengeluarkan mereka dari RS. Sebuah harapan yang kemungkinan besar hanya menjadi harapan karena menurut Direktur RSUD Sukoharjo, Gunadi, anggaran untuk Jamkesda akan habis tepat pada akhir bulan ini.

“SKTM berlaku atau tidak, anggaran Jamkesda tetap akan habis pada akhir bulan ini. Solusi sementara yang kami ambil untuk pasien miskin yang tidak masuk dalam kuota Jamkesmas maupun Jamkesda adalah tetap menerimanya karena bagaimanapun RS kan tidak boleh menolak pasien. Masalahnya karena RS juga tidak punya anggaran maka kekurangan pembayaran atas pasien miskin nantinya tetap kami catat sebagai utang,” imbuhnya.

JIBI/SOLOPOS/Ayu Prawitasari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya