SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA — Tidak banyak korban kejahatan seksual yang berani berbicara, bahkan melawan balik pelaku yang telah mempermalukannya. Tetapi A, 27, bisa menjadi contoh nyata bagaimana perempuan seharusnya bertindak.

A yang ketika itu bekerja sebagai staf dan asisten pribadi terduga pelaku yang merupakan anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan (TK), mengungkap bahwa dirinya mengalami pelecehan seksual secara fisik, verbal, dan kekekerasan berupa pemaksaan hubungan seksual.

Promosi Bertabur Bintang, KapanLagi Buka Bareng BRI Festival 2024 Diserbu Pengunjung

Sempat melaporkan kelakuan bejat terduga pelaku ke anggota Dewan Pengawas, A mengaku merasa disudutkan hingga berujung pemecatan sepihak (PHK) dari pekerjaannya. A menyebutkan dirinya juga sempat mengadukan terduga pelaku ke Direksi BPJS TK, tetapi karena Dewan Pengawas BPJS TK merupakan lembaga yang terpisah dari dewan direksi, pihak Direksi BPJS TK menyatakan tidak memiliki kewenangan memberikan sanksi kepada pelaku dan hanya bisa mendukung langkah A.

Kini, korban yang pernah mencoba bunuh diri atas peristiwa ini, didukung sejumlah aktivis perlindungan perempuan, di antaranya Ade Armando, Sigit Widodo, Indra Budi Sumantoro, Aisha Nadira, Irwan Amrizal, Agus Sari, Gorbachev, anggota BPJS Watch, dan Tati Wardi untuk menyuarakan isi hatinya.

Ade Armando yang mewakili pihak korban, menyatakan langkah prioritas A saat ini ialah memulihkan nama baiknya dan berupaya menempuh langkah hukum perdata agar pelaku diberhentikan dari pekerjaannya.

“Untuk [pelaporan tindak pidana kekerasan seksual] ke polisi, belakangan saja. Sekarang yang terpenting membuat pelaku diberhentikan, dan korban direhabilitasi nama dan pekerjaannya,” ujar Ade kepada Bisnis/JIBI, Minggu (30/12/2018).

Sebab, pakar komunikasi yang sekaligus mantan dosen korban ini merasa menempuh jalur pidana membutuhkan proses yang lama dengan pembuktian yang lebih sulit. Rencananya, pelaporan terhadap terduga pelaku kepada pihak kepolisian baru akan dilaksanakan Senin (31/12/2018).

Terlebih, hingga kini rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga disahkan oleh pemerintah sehingga bukti-bukti pelaporan dugaan kekerasan seksual yang dialami korban sulit didapatkan.

“Kenapa kami tidak mengambil pengaduan hukum pidana sebagai langkah pertama? Karena pertama, kasus perkosaan itu pembuktiannya luar biasa sulit, panjang, dan melelahkan. Karena itu, walaupun tetap dijalankan oleh kuasa hukum, gugatannya lebih ke perdata, yaitu ketidakpantasan seorang atasan. Tapi yang sebetulnya dituju adalah menghentikan bentuk perkosaan seperti ini di Indonesia, terutama [di dalam] BPJS,” ungkapnya.

Akibat terus menolak ajakan mesum atasannya yang tercatat sudah dilakukan sebanyak empat kali tersebut, setelah itu A mengaku mendapatkan perilaku tidak menyenangkan dari pelaku. “Ancaman psikis, saya di buat kondisi dengan supaya tidak nyaman, dibentak, dikucilkan oleh semua anggota komite, saya di blackmail sama SAB,” ungkap A.

“Kekerasan fisik terakhir di 28 November, yang bersangkutan ingin melempar gelas ke muka saya, dan sempat dibatalkan oleh rekan saya yang disitu,” tambahnya.

Kini korban telah mengirimkan surat berisi tiga tuntutan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN) yang memiliki wewenang untuk memecat Dewan Pengawas, serta Direksi BPJS TK.

“Pertama, pemecatan terhadap pelaku dan yang melindungi pelaku [di Dewan Pengawas] secara menyeluruh. Kedua, RUU PKS [dipercepat] supaya tidak ada korban seperti saya. Dan [ketiga] mendukung saya dalam proses pidana, perdata, ataupun hubungan industrial,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya