SOLOPOS.COM - Massa yang tergabung dalam Pemuda Yogyakarta Anti Premanisme menggelar aksi unjukrasa untuk menentang segala bentuk premanisme di perempatan Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Minggu (07/04/2013). Aksi ini juga sebagai wujud terimakasih secara langsung atau tidak langsung atas tindakan Kopassus yang telah membuat Yogyakarta bersih dari kekuasaan preman. Dalam aksi unjuk rasa tersebut juga dilaksanakan penggalangan dana untuk keluarga Serka Heru Santoso dan Sertu Sriyono. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Massa yang tergabung dalam Pemuda Yogyakarta Anti Premanisme menggelar aksi unjukrasa untuk menentang segala bentuk premanisme di perempatan Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Minggu (07/04/2013). Aksi ini juga sebagai wujud terimakasih secara langsung atau tidak langsung atas tindakan Kopassus yang telah membuat Yogyakarta bersih dari kekuasaan preman. Dalam aksi unjuk rasa tersebut juga dilaksanakan penggalangan dana untuk keluarga Serka Heru Santoso dan Sertu Sriyono. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Massa yang tergabung dalam Pemuda Yogyakarta Anti Premanisme menggelar aksi unjukrasa untuk menentang segala bentuk premanisme di perempatan Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Minggu (07/04/2013). Aksi ini juga sebagai wujud terimakasih secara langsung atau tidak langsung atas tindakan Kopassus yang telah membuat Yogyakarta bersih dari kekuasaan preman. Dalam aksi unjuk rasa tersebut juga dilaksanakan penggalangan dana untuk keluarga Serka Heru Santoso dan Sertu Sriyono. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

JOGJA –Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Najib Azca, berpandangan, munculnya pesan berantai yang menganggap Kopassus sebagai kesatria adalah hal yang berbahaya karena menggambarkan bentuk toleransi terhadap kekerasan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

“Dukungan terhadap pelaku penembakan termasuk menghalalkan atau menjadi pembenaran tindakan premanisme,” kata dia kepada Tempo. Ia mengatakan, premanisme tidak bisa diselesaikan menggunakan cara premanisme, seperti penembakan. Alasannya, cara itu justru akan mereproduksi kekerasan di masyarakat. “Semua bentuk kekerasan itu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum. Jika tidak, akan menimbulkan tindakan-tindakan premanisme,” katanya.

Menurut dia, dukungan terhadap pelaku penembakan yang muncul melalui pesan berantai bisa jadi sebagai bentuk keresahan masyarakat terhadap maraknya premanisme. Mereka kecewa karena polisi gagal memberikan jaminan rasa aman di ruang-ruang publik, seperti kafe dan tempat parkir. “Ini bisa menjadi kritik masyarakat terhadap polisi sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan-persoalan keamanan,” katanya.

Najib Azca menambahkan, masyarakat perlu kritis menyikapi kasus penembakan di LP Cebongan. Peristiwa yang melatarbelakangi perkelahian di Hugo’s Cafe perlu dilihat. “Tentu harus dilihat apakah ini ada kaitannya juga dengan persaingan antarpreman sebelumnya,” katanya.

Simak berita terkait: http://digital.solopos.com/file/08042013/

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya