SOLOPOS.COM - Foto Lapas Cebongan, Sleman JIBI/Harian Jogja/Gigih M Hanafi

Foto Lapas Cebongan, Sleman
JIBI/Harian Jogja/Gigih M Hanafi

SLEMAN – Meski sudah ada pengakuan dari para pelaku, serta pelimpahan barang bukti kasus dari Polda DIY, hingga Jumat (12/4) kemarin 11 personel Kopassus yang menyerbu Lapas Cebongan Sleman tetap belum ditetapkan sebagai tersangka.
Komandan Denpom IV/2 Yogyakarta, Letkol Jefridin Adrian saat dihubungi Harian Jogja, mengakui pihaknya sudah menerima pelimpahan barang bukti kasus penyerangan Lapas Cebongan Jumat (12/4) sore.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Barang bukti yang diterima antara lain 31 selongsong peluru dan 19 proyektil. Tinggal hasil autopsi keempat jenazah tahanan tersangka kasus Hugo’s yang belum diterima Denpom.

”Kami masih menunggu hasil autopsi guna melengkapi barang bukti yang akan menjadi dasar dalam pembuatan berkas 11 anggota Kopassus yang mengaku sebagai pelaku penyerang,” kata Jefri.

Sementara pemeriksaan 42 saksi di Lapas Cebongan ditegaskan Jefri sudah selesai kemarin. Meski pihaknya yang mengumpulkan barang bukti berikut meminta keterangan saksi.

Belum ditetapkannya 11 personel Kopassus sebagai tersangka dengan alasan masih harus proses pemberkasan yang tidak dilakukan di Denpom IV/2 Yogyakarta tetapi dilakukan di Denpom Kodam IV/Diponegoro Semarang.

“Ini kan nanti sebagai barang bukti kan, berkas itu harus ada barang buktinya. Kami masih proses, proses itu seperti pemeriksaan saksi, barang bukti dikumpulkan kemudian baru diberkas kan begitu,” imbuhnya.

Senada diungkapkan Panglima Komandan Daerah Militer IV/Diponegoro, Mayjen TNI Sunindyo. Sunindyo mengatakan 11 pelaku belum tersangka karena masih dalam proses pemeriksaan. Jenderal bintang dua yang menggeser Hardiono Saroso ini enggan berkomentar soal pemeriksaan.

“Belum tahu, belum, belum, baru diperiksa kok tersangka,” ujarnya di Yonif 403/Wirasada Kentungan Yogyakarta sembari memasuki mobil.

Di tempat yang sama, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Letjen TNI Moeldoko menyatakan proses hukum kepada 11 anggota Kopassus akan dilakukan secara terbuka dan siapapun boleh mengikuti.

“Ini dalam proses hukum, bapak-bapak semuanya, ibu-ibu bisa mengikuti kita akan terbuka akan bisa diikuti dari satu waktu ke waktu. Perkembangan terakhir [pemeriksaan] saya belum memantau karena ini kita serahkan sepenuhnya ke proses hukum.

Sementara terkait adanya dugaan pelaku lain di luar 11 anggota Kopassus tersebut, Moeldoko menyatakan pihaknya tidak ingin berspekulasi karena sudah menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum. Ia juga menegaskan tidak akan melakukan intervensi apapun terhadap proses hukum bagi 11 anggota Kopassus itu.

“Jadi saya tidak punya kesempatan untuk intervensi dan seterusnya. Saya tidak ingin berspekulasi seluruhnya kita berikan pada proses hukum,” tegasnya usai meninjau persiapan anggota Yonif 403/Wirasada sebelum diberangkatkan tugas di perbatasan Indonesi-Malayasia.
Setop Penyelidikan

Direktur Reserse Kriminal Umum, Polda DIY, Kombes (Pol) Kris Erlangga Adji Wijaya menegaskan dengan telah diserahkannya barang bukti Polda DIY menghentikan penyelidikan. Meski demikian pihaknya tetap berkoordinasi dengan TNI dalam hal ini Denpom IV/2 Jogja jika sewaktu-waktu dibutuhkan bantuan terkait kasus tersebut. Soal hasil autopsi memang diakuinya masih menunggu hasil dari Laboratorium Forensik (Labfor) Mabes Polri yang ada di Semarang.

“Memang kami sudah menyerahkan semua hasil lidik, sidik, BB [barang bukti] termasuk selongsong, proyektil, disertai hasil uji balistik. Tentunya penyelidikan [oleh Polda DIY] dihentikan,” kata Kris.

Terpisah, Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro mempersilakan pihak terkait menyelidiki dugaan keterlibatan pimpinan 11 anggota Grup 2 Kopassus dalam peristiwa Cebongan. Hal itu untuk membuktikan ada tidaknya garis komando dalam peristiwa itu sehingga dapat disebut pelanggaran HAM menurut versi pemerintah.

Karenanya kata dia, ia meminta adanya bukti keterlibatan jajaran pimpinan TNI dalam kasus itu. Misalnya sebelumnya dikabarkan ada komunikasi antara pejabat TNI dan Polri sebelum peristiwa Cebongan terjadi, sehingga diduga kedua pimpinan institusi itu sudah tahu tragedi penembakan bakal terjadi. “Itu mesti ditanyakan, komunikasi itu apa.

Komunikasi minta akan dibunuh atau tidak. Tolong dijelaskan SMS itu apa. Ingat SMS itu isi-isinya apa, kepada teman media atau siapa yang bisa menyampaikan ke saya. Kalau isinya bilang ayo kita serbu kan tidak. Ini tidak dilakukan secara sistematis, ini spontanitas. Saya kira komandanya tidak memerintahkan,” tegasnya di sela-sela mengikuti kegiatan retret dan perayaan Paskah di kompleks Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, Bantul.

Kendati demikian, untuk saat ini pemerintah kata Purnomo berpegang pada hasil penyidikan TNI bahwa tak ada garis komando dalam kasus tersebut. Sehingga tak dapat dikatakan pelanggaran HAM. “Tidak ada garis komando kita berpegang ke Tim Penyidik yang berjalan. Bahwa itu dilakukan karena jiwa corsa. Kami pahami betul tidak ada komando dari atas. Itu [pelanggaran HAM] harus dilakukan terencana dan kebijakan itu tidak ada,” terangnya.

Purnomo membantah, pernyataan mengenai tidak adanya pelanggaran HAM dimaksudkan untuk memperingan hukuman terhadap 11 pelaku. Bahkan kata dia potensi hukuman yang dijatuhkan bisa lebih berat karena diadili di Pengadilan Militer. Menhan juga meyakinkan tak ada niat pemerintah meringankan hukuman terhadap pelaku.

Terkait kasus pembunuhan korban Adhitya Bisma Hutama di Hugo’s Cafe Jogja yang juga melibatkan anggota TNI, Purnomo juga meminta diadili di pengadilan militer. Ke depan kata dia, perlu adanya aturan mengenai displin prajurit TNI menyusul rentetan peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat negara. “Kalau pengadilan dan HAM sudah ada UU- nya, sekarang ini yang dibutuhkan aturan mengenai displinnya yang belum ada,” katanya.

Gabungan

Keluarga korban penyerangan Cebongan, meminta Presiden membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang terdiri dari unsur masyarakat sipil, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, TNI, Komnas HAM, tokoh agama dan tokoh masyarakat.

“Pencarian fakta yang hanya mengandalkan Tim Investigasi Internal TNI dikhawatirkan akan berpotensi memunculkan conflict of interest,” kata koordinator Kontras Haris Azhar di kantor Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).



Empat perwakilan keluarga korban yang didampingi oleh komisi nasional untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (Kontras) itu menilai tim Investigasi TNI hanya memberikan penjelasan fakta-fakta yang hanya berdasarkan pengakuan, sehingga tidak memenuhi unsur ideal pencarian fakta.

Jumat kemarin Kontras mendampingi keluarga korban tragedi Cebongan mengadu ke Kompolnas. Kontras juga mengadukan dan meminta Kompolnas melakukan fungsi pengawasan nasional terhadap kinerja kepolisian terkait penanganan peristiwa di Hugo’s Cafe pada 19 Maret 2013 yang menewaskan Serka Heru Santoso.

“Kami meminta kepada Kompolnas, karena memiliki kewenangan luar biasa untuk bisa melakukan ’pengawasan nasional’ di dalam mengungkap peristiwa. Kontras sendiri menemukan beberapa hasil pertemuan dan pemantauan,” lanjut Haris Azhar.

Menurutnya, fungsi pengawasan nasional itu adalah untuk melihat peristiwa sesungguhnya yang terjadi di Hugo’s Cafe dan keterkaitannya dengan peristiwa di LP Cebongan. Sebab, Kontras menduga adanya pembiaran yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan di tingkat kepolisian dan TNI.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya