SOLOPOS.COM - Ahmad Ubaidillah/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Bom bunuh meledak lagi. Kali ini terjadi di Markas Polrestabes Medan, Sumatra Utara, pada Rabu, 13 November 2019. Tragedi ini terjadi sekitar pukul 08.45 WIB. Ini kejadian yang terbaru.

Presiden Joko Widodo memastikan pemerintah tak akan membiarkan kejadian ini berlalu begitu saja. Presiden memerintahkan aparat terus mengejar, menangkap, dan mengadili para pelaku teror tersebut sesuai mekanisme hukum.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah: apakah terorisme itu lebih berbahaya daripada suatu lainnya yang juga berbahaya? Apakah teroris itu membunuh banyak manusia lebih daripada hal lainnya? Saya kira tidak begitu.

Teroris itu hanya ahli mengendalikan pikiran, bukan mematikan banyak manusia bernyawa. Mereka membunuh sedikit orang sekaligus berhasil menakuti banyak orang dan mengguncang struktur politik besar seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Yuval Noah Harari dalam buku 21 Lessons for the 21st Century mencatat sejak 11 Setember 2001 setiap tahun teroris menewaskan sekitar 50 orang di Uni Eropa, sekitar 10 orang di Amerika Serikat, sekitar tujuh orang di Tiongkok, dan hingga 25.000 orang di seluruh dunia (kebanyakan di Irak, Afghanistan, Pakistan, Negeria, dan Suriah).

Setiap kecelakaan lalu lintas yang terjadi setiap tahun telah membunuh sekitar 80.000 orang di Eropa, 40.000 orang di Amerika Serikat, 270.000 orang di Tiongkok, dan 1,25 juta orang secara keseluruhan. Di Indonesia, jumlah korban kecelakaan lalu lintas selama Lebaran sungguh mencengangkan.

Pada 2019, terdapat 132 korban meninggal dunia. Sebanyak 331 korban meninggal pada 2018. Sedangkan jumlah korban bom bunuh diri selama 2018-2019 sekitar 21 orang. Jadi, mengapa kita lebih takut pada terorisme ketimbang ketidakpatuhan masyarakat terhadap aturan berlalu lintas?

Teroris-teroris itu punya setumpuk kelemahan. Mereka tak punya kekuatan untuk mengalahkan angkatan perang. Mereka terlalu ringkih. Merek atak akan mampu menghancurkan seisi kota, apalagi menguasai sebuah negara. Mereka tak bisa melakukan itu. Teroris itu seperti lalat yang berusaha menghancurkan sebuah toko besar. Lalat tak bertenaga, lemah. Menggeser sebuah cangkir kopi kita saja tak berdaya.

Semua Orang Menolak Kekerasan

Lalat tak kurang akal. Ia mencari banteng, masuk ke telinganya, dan mendengung. Benteng mengamuk liar dengan perasan takut dan marah kemudian menghancurkan toko besar itu. Mungkin ini yang menakutkan.

Jika mengandalkan kekuatan mereka sendiri, para teroris terlalu lemah untuk menyeret kita kembali ke abad pertengahan dan menegakkan kembali hukum rimba. Mereka bisa memprovokasi kita, tapi pada akhirnya semua tergantung pada reaksi kita.

Kalau hukum rimba berlaku, itu bukan kesalahan para teroris. Semua orang pasti tidak menginginkan teror terjadi atas nama apa pun, kecuali mereka yang melakukan teror itu sendiri. Kebanyakan orang pasti menolak tindak kekerasan dengan bom atau tindak kekerasan apa pun yang  dilakukan oleh siapa pun dengan alasan apa pun.

Artinya, pengeboman dengan tujuan melukai atau membunuh orang yang berbeda keyakinan, pandangan, persepsi, atau kepentingan politik merupakan tindakan mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan mengacaukan kedamaian Indonesia.

Terhadap tindakan teror, pasti masyarakat yang beradab akan menyatakan tidak setuju dan mengutuk keras tindakan tersebut. Tindakan mengutuk terhadap kekerasan seperti ini saya kira sangat tepat mengingat teror dengan bom tersebut bersifat melukai dan mematikan orang.

Memang telah terbukti bahwa pasti ada orang yang terluka dan mati di setiap kejadian. Setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan nyawa seseorang hakikatnya adalah kriminalitas kelas tinggi atau disebut sebagai extra-ordinary crime.

Apa yang dilakukan itu merupakan tindakan melawan kemanusiaan yang sangat jelas dan tidak sekadar melawan hukum. Oleh karena itu, bagi yang melakukan tentu sangat pantas dihukum sesuai kadar tindakan yang secara sengaja ingin menghilangkan nyawa orang.

Tiga Lapis Penanganan

Bagaimana negara harus bersikap? Dengan mengikuti sejarawan Israel, Yuval Noah Harari, setidaknya ada tiga lapisan penanganan. Pertama, pemerintah harus fokus pada tindakan diam-diam melawan jaringan teroris.

Kedua, media harus menjaga hal-hal dalam perspektif menghindari histeria. Teater teror tidak dapat berhasil tanpa publisitas. Sayangnya, media terlalu sering memublikasikan ini secara bebas.

Media secara obsesif melaporkan serangan teror dan sangat menggelembungkan bahaya mereka karena laporan tentang terorisme bernilai jual jauh lebih tinggi daripada laporan kecelakaan lalu lintas atau polusi udara.

Ketiga, imajinasi kita. Teroris menjerat imajinasi kita dan mempergunakannya untuk melawan kita. Lagi dan lagi kita mengulang-ulang adegan serangan teroris di panggung pikiran kita, mengingat 9/11, atau peristiwa bom bunuh diri termutakhir itu.

Teroris membunuh seratus orang dan menyebabkan 100 juta orang membayangkan ada seorang pembunuh yang bersembunyi di balik setiap pohon. Adalah tanggung jawab setiap warga negara untuk membebaskan imajinasi dari para teroris dan mengingatkan diri kita tentang dimensi sebenarnya dari ancaman ini.

Ini adalah teror batin kita sendiri yang mendorong media untuk berobsesi dengan terorisme dan pemerintah berekasi berlebihan. Intinya, keberhasilan atau kegagalan menangani terorisme bergantung pada kita.

Jika kita membiarkan imajinasi kita ditangkap para teroris dan kemudian bereaksi berlebihan terhadap ketakutan kita sendiri, terorisme akan berhasil. Jika kita membebaskan imajinasi kita dari para teroris dan berekasi dengan cara yang seimbang dan sejuk, terorisme akan gagal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya