SOLOPOS.COM - Pengunjung saat membaca manuskrip di Perpustakaan Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran (MN) Solo, Kamis (11/2/2021). (Solopos/Ika Yuniati)

Solopos.com, SOLO – Seratusan tahun lalu Indonesia didera wabah epidemi sampar alias pes yang menelan banyak korban jiwa. Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya menekan penyebaran.

Hal itu terangkum dalam sejumlah arsip bersejarah yang tesimpan di Perpustakaan Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran (MN) Solo. Berikut Ika Yuniati melaporkan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kejadian tersebut tepatnya terjadi pada masa pemerintahan K.G.P.A.A. Mangkunegara VII. Salah satu arsip yang Solopos.com temukan adalah perintah lockdown di wilayah Semarang, Ambarawa, Salatiga, dan Yogyakarta.

Baca juga: Setop Stigma! Covid-19 Bukan Aib

Ada satu lembar surat perintah yang ditulis dengan huruf latin ejaan lama. Tersimpan dalam arsip MN VII Jilid 3 Nomor 189. Kalimatnya tertulis; Tampi telefoon saking Hoofdkwartier Balatentara Dai Nippon (R.Ng. Singgih Hardjapadmaja) wiwit dhinten poenika, kita; Semarang, Ambarawa, Salatiga, Ngayogyakarta, katoetoep (mboten kenging tijang medhal oetawi mlebet kitha kaseboet nginggil) amargi wonten sesakit Pest toewin Dysentrie Dysentrie.

Berdasarkan data dari Pura Mangkunegaran, akhir 1915, tepatnya di bulan Desember penyakit pes ditemukan di Desa Nglano dekat pabrik gula Tasikmadu, Karanganyar. Kemudian periode 1915-1929, penyakit pes terus menyebar. Penyebaran di sekitar Praja Mangkunegaran ini diduga karena pola hidup penduduk yang tidak bersih.

Baca juga: Begini Proses Terbentuknya Luweng yang Hilang di Pracimantoro Wonogiri 

Koordinator Perpustakaan Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran, Darweni, Selasa (9/2/2021), mengatakan wabah membuat Mangkunegara VII kala itu mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti membangun kamar mandi umum dan penghijauan.

Ponten Mangkunegaran yang dibuat di kompleks Radio Republik Indonesia (RRI) masih ada sampai hari ini. Sementara untuk penghijauan, ada beberapa taman seperti Taman Balekambang, dan Villapark Taman Banjarsari.

Resep Hadapi Pandemi

Pada konteks serupa, para pendahulu kita telah menuliskan sejumlah ‘resep’ menghadapi pandemi dan permasalahan hidup lainnya yang dituangkan lewat manuskrip. Salah satunya terdapat dalam Serat Babad Ila Ila.

Ini merupakan naskah lama yang ditulis dengan aksara Jawa berbentuk prosa sebanyak 200 halaman. Ditulis oleh R.M.Ng. Sumahatmaka pada tahun 1912 kemudian disalin oleh Dr. Th. Pigeaud.

Salah satunya disimpan di Perpustakaan Rekso Pustoko Puro Mangkunegaran Solo dengan Kode B.8.Babad Ila-Ila MS/J.

Baca juga: Mak Gruduk... 12 Sumur di Desa Jungkare Karanganom Klaten Ambles hingga 7 Meter

Darweni dan tim melakukan penelitian naskah untuk mengetahui laku Jawa yang pernah dilakukan di masa pandemi. Sekaligus sebagai upaya kajian dan penyelamatan naskah Nusantara yang mulai usang ditinggalkan generasi sekarang.

Salah satu materi yang mereka usung adalah soal Rajah Kalacakra yang dikenal ampuh sebagai tameng perlindungan diri. Tak terkecuali saat masa pandemi ini.

“Rajah ini digunakan sebagai tolak bala. Jika diucapkan berulang-ulang dan dilakukan setiap hari bisa mengusir segala keburukan. Termasuk di masa pandemi ini,” terangnya.

Selanjutnya, Darweni menyebut delapan Rajah Kalacakra yang dia jadikan sebagai sumber penelitian. Di antaranya Ya maraja jaramaya, Ya marani niramaya, dan Ya silapa palasiya. Ketiganya memiliki arti yang datang mengganggu pergilah segera, yang baru datang hilangkanlah kesaktiannya. Mantra ini jadi penenang jiwa ketika ada hal-hal buruk bahkan pageblug di masa dulu. Juga sebagai penguat imun dalam kehidupan sehari-hari.

“Ini simbol doa, ketenangan diri berpasrah pada Tuhan. Agar manusia selalu eling lan waspada dalam hidup,” terangnya.

Baca juga: Terkurung Di Keraton Solo, Gusti Moeng dan GKR Timoer Hanya Makan Daun Singkong dan Pepaya

Upaya menghadapi pandemi berbasis kearifan lokal lewat naskah-naskah Jawa juga dilakukan lembaga penelitian Javanologi UNS Solo. Kepala Kepala Pusat Unggulan Iptek (PUI) Javanologi UNS Solo, Sahid Teguh Widodo, bersama tim melakukan penelitian Serat Centhini dalam bab Jampi Jampi Jawi.

Naskah ini ditulis dengan aksara Jawa oleh para pujangga Keraton Kasunanan mulai Januari 1814 Masehi sampai 1823. Pada Serat Centhini jilid II dan III tertulis bahwa kala itu ada pengobatan massal saat ada wabah. Wabah penyakit menyebar hingga desa-desa ditutupi dengan kepang, dan adanya pembatasan gerak penduduk.

Baca juga: Menu Makanan Sehat Saat Isolasi Mandiri

Pada halaman berikutnya, muncul 56 resep obat-obatan dalam serat tersebut dengan nama Jampi Jampi Jawi. Resep tersebut tak hanya untuk masa pageblug, namun juga situasi lain misal saat wabah kolera. Apa yang terjadi dalam naskah yang ditulis di abad 18 dan 19 Masehi tersebut kemudian terulang di masa sekarang.

“Pada masa sekarang [pandemi] kebijakan global tak mungkin menyentuh hingga di level daerah. Maka, semua akan kembali pada lokalitas. Pandemi ini menjadi momentum kebangkitan nilai-nilai lokal. Manusia kembali pada basic need mereka,” terangnya, Kamis (11/2/2021).

Penyelamatan

Darweni tengah sibuk membaca manuskrip tentang pertanahan di Solo saat saya menemuinya, Kamis siang. Dia mengatakan pengkajian naskah tersebut dilakukan sebagai upaya penyelamatan manuskrip dan aksara Jawa yang tersimpan di Rekso Pustoko.

Kegiatannya berupa alih aksara, alih bahasa, lalu menerjemahkan isinya. Selanjutnya disebarkan ke masyarakat luas agar esensi naskah bisa dipelajari banyak pihak.

Selain itu upaya pelestariannya dilakukan dengan penjagaan fisik misal menyimpan di ruang dengan suhu tertentu hingga fumigasi. Namun yang paling penting menurutnya adalah digitalisasi manuskrip, meliputi alih aksara, hingga alih bahasa.

Baca juga: KA Bandara Adi Soemarmo Solo Jalan Lebih Pagi, Ini Jadwal Lengkapnya

Ada 750-an judul naskah di Rekso Pustoko dengan usia ratusan tahun. Semuanya harus diselamatkan dengan komputerisasi agar tak kehilangan jejak sejarah jika fisiknya rusak.

Upaya digitalisasi dengan pendokumentasian foto sudah dilakukan setiap harinya namun terbentur pendanaan. Dari 750-an judul tersebut baru 50-an yang selesai proses digitalisasi.

“Butuh bantuan pendanaan dari berbagai pihak agar proses digitalisasi naskah segera selesai. Karena banyak yang kondisinya memprihatinkan. Penyelamatan kami lakukan mulai dari naskah-naskah yang paling banyak dicari,” terangnya.

Salah satu pegiat budaya yang juga aktif dalam digitalisasi manuskrip, Adi Deswijaya, mengatakan manuskrip di sekitar Solo tersebar di berbagai wilayah. Mulai dari perpustakaan resmi hingga disimpan perorangan. Menurutnya perlu pendataan dan digitalisasi secara massal agar naskah-naskah penting tersebut terselamatkan. Sejauh ini wacana tersebut terkendala pendanaan.

Baca juga: Malam 1 Sura: Air Jamasan Pusaka Mangkunegaran Solo Habis Diserbu Warga Dalam Hitungan Detik



Di sisi lain, upaya publikasi naskah dan aksara ke masyarakat umum terus dilakukan lewat diskusi dan pembelajaran gratis. Adi menginisiasi sinau aksara Jawa secara gratis sejak 2018 lalu. Dia menggelar pelatihan menulis Jawa bekerjasama dengan Rumah Budaya Kratonan. Namun setahun terakhir mandeg karena pandemi Covid-19.

Sekarang ini dirinya sedang mengkaji pelatihan daring. Adi juga sempat mewacanakan adanya komunitas digitalisasi aksara seperti yang dilakukan Sego Jabung di Yogyakarta. Namun cukup kesulitan mencari anggota baru.

“Mau daring tapi masih agak ragu karena pelatihan ini idealnya langsung. Bisa saling mengoreksi aksara yang dibuat oleh peserta. Sempat ingin bikin komunitas soal aksara Jawa tapi ya belum nemu kancane,” kelakar Adhi.

Komunitas pengkaji serat Jawa Kuna, Sraddha, juga melakukannya. Salah satu upaya yang mereka kerjakan adalah membedah naskah kuna sepekan sekali di Radya Pustaka Solo. Setelah enam bulan, kajian mereka dibawa ke desa-desa atau lokus yang tertulis di naskah.

Baca juga: Cerita Pencarian Luweng Pracimantoro Wonogiri: Dilacak Dukun – Ketemu di Belakang Rumah Pak Dalang

Founder Sraddha, Rendra Agusta, Selasa (16/2/2021), mengatakan tujuan utamanya adalah meretas jarak antara naskah beraksara Jawa tersebut dengan masyarakat pemiliknya.

Beberapa naskah yang pernah dibedah dan dibawa ke masyarakat adalah Kakawin Darmasunya yang dibawa ke Cepaga Boyolali. Mereka datang dan membuka kembali ingatan masyarakat pada isian kakawin tersebut.

Lalu membawa naskah lain ke kawasan Merbabu, Tulungagung di lereng Gunung Wilis, Wonosobo, juga membawa naskah menulis tentang perjanjian Giyanti ke salah satu desa di Karanganyar.

Kajian naskah yang dilakukan oleh Rendra dan rekan-rekannya direspon positif oleh masyarakat setempat. Kajian di Wonosobo menghidupkan kepedulian masyarakat tentang naskah Jawa. Masyarakat setempat menggarap buku berbasis naskah Jawa Kuna asal Wonosobo. Begitu pula setiap menggelar pentas seni, selalu dibuat berdasar kajian naskah milik mereka.



Sementara diskusi tentang Perjanjian Giyanti di Jantiharjo, Karanganyar, berujung pada festival kebudayaan untuk mengenang Perjanjian Giyanti. Sebelum pandemi, acara tersebut diadakan tiap tahun.

Liputan ini dibuat atas kerjasama dengan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) dengan program Merajut Nusantara, Melalui Digitalisasai Aksara Nusantara.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya