SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Antara)

Kurs rupiah yang masih lemah terhadap dolar AS menyebabkan usaha tekstil terpuruk

Harianjogja.com,com, JOGJA- Tekanan mata uang Dolar Amerika kepada Rupiah mengancam keberlangsungan sejumlah industri di DIY. Salah satunya sektor pertekstilan?. Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawan bukan tidak mungkin terjadi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Badan Pengurus Provinsi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY Iwan Susanto mengatakan, pelemahan rupiah sepanjang tahun ini memberatkan pengusaha tekstil khususnya industri pemintalan (spinning).

“Dampak dari pelemahan rupiah ini sangat terasa. Kenaikan harga antara delapan hingga 10 persen itu pasti, bahkan bisa melebihi,” ujarnya kepada Harian Jogja, Kamis (27/8/2015).

Di DIY sendiri, setidaknya terdapat tiga industri pemintalan ?yang berkategori besar. Masing-masing memiliki jumlah karyawan antara 1000 hingga 1500 orang. Sementara, untuk sektor garmen setidaknya terdapat tujuh perusahan yang berkategori besar di mana rata-rata jumlah karyawannya sebanyak 5000 orang. Sementara untuk industri pertenunan terdapat lima perusahaan yang berkategori besar.

Jumlah tersebut belum termasuk? industri yang berskala kecil dan menengah.? Menurut Iwan, industri pemintalan menggunakan bahan baku utama kapas yang diimpor. Material yang didatangkan itu dibeli dengan menggunakan Dolar. Akibat kenaikan nilai US$, sementara produk industri ini tidak dibolehkan menjual dengan Dolar tetapi rupiah, tentu menyebabkan kerugian yang sangat besar.

“Tidak bisa dinilai kerugiannya. Tapi ambil satu contoh saja, satu pabrik yang memiliki stok bahan baku hingga bulan, nilai kerugiannya bisa puluh ratusan juta sampai miliaran,” ujar Iwan.

Kondisi tersebut diperparah dengan lemahnya daya beli masyarakat saat ini. Jika industri ini menaikkan harga ?produksi, hal itu dinilai bunuh diri. “Daya beli masyarakat saat ini lemah. Kalau [biaya produksi] dinaikkan sekian persen, susahnya setengah mati. Tahun ini adalah tahun yang sangat berat bagi industri pertekstilan,” tegasnya.

Saking beratnya kondisi ekonomi saat ini, salah satu pabrik pemintalan di DIY memilih untuk menutup satu lini bisnisnya. Namun tidak dijelaskan apakah penutupan tersebut telah mem-PHK berapa karyawan.

“Pabrik masih beroperasi, tapi satu lini bisnisnya ditutup dan karyawannya ditawarkan ke perusahaan lain,” jelasnya

Menurutnya kondisi di DIY masih terbilang baik. Sebab, isu PHK di industri pertekstilan di Indonesia terjadi hampir di seluruh Indonesia. Termasuk di wilayah Solo dan Pekalongan. Selain itu, kapasitas produksi masing-masing pabrik terus menurun akibat daya beli masyarakat yang rendah dan menyusutnya pasar.

“Sudah terjadi PHK, sudah banyak perusahaan yang berhenti produksi. Di luar Jogja sudah banyak yang merumahkan karyawannya karena  kapasitas produksi turun antara 70 hingga 80 persen,” tuturnya.

Iwan memprediksi fenomena PHK massal dan besar-besaran di industri pertekstilan bisa saja terjadi di DIY jika kondisi saat ini belum berubah.  “Di Jogja memang belum terlihat, tapi bisa terjadi di bulan ke sembilan [September] jika tidak ada perubahan yang dilakukan pemerintah. Sekarang memang belum terlihat??,” katanya.

Meski begitu, lanjutnya, dibandingkan industri pemintalan dampak pelemahan rupiah terhadap industri  garmen justru menguntungkan.? Sebab, industri garmen saat ini lebih banyak melakukan ekspor. “Yang kami lakukan saat ini ?bagaimana bisa survive. Langkahnya dengan meningkatkan market dan perang harga,” ujar Iwan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya