SOLOPOS.COM - Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/Dok)

Kurs rupiah yang masih lemah berdampak pada biaya operasional perajin batik.

Harianjogja.com, JOGJA – Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) mengimbau para perajin batik mengurangi penggunaan bahan baku impor dengan memprioritaskan pewarna alami untuk memproduksi batik tradisional.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sekarang saatnya menempatkan bahan pewarna batik alam sebagai substitusi pewarna tekstil yang sebagian besar masih impor,” kata Kepala Seksi Konsultasi BBKB Kementerian Perindustrian Bachtiar Totosantoso di Yogyakarta, Sabtu (29/8/2015).

Menurut Bachtiar, selain mengurangi ketergantungan bahan baku impor yang saat ini terpengaruh gejolak penguatan dolar AS, penggunaan pewarna alam juga diyakini mampu meningkatkan daya saing ekspor.

Ekspedisi Mudik 2024

“Batik motif tradisional dengan pewarna alam justru memiliki daya saing lebih tinggi dibanding dengan pewarna sintetis, apalagi printing,” kata dia.

Pembuatan batik dengan pewarna alam, menurut dia, lebih diminati konsumen mancanegara khususnya di Eropa, karena dinilai memiliki corak warna yang lebih halus, serta ramah lingkungan.

Ia mengakui meski zat warna alam sudah populer di kalangan perajin batik nusantara, termasuk Yogyakarta, namun belum banyak yang berani fokus memproduksi batik dengan menggunakan pewarna alam karena prosesnya dinilai lebih rumit dan susah ditemukan.

“Tentu saja pewarna sintetis selalu lebih diminati oleh perajin, karena bahannya tinggal beli di toko dan praktis,” kata dia.

Untuk mengatasi hal itu, BBKB juga siap memberikan pendampingan atau pelayanan konsultasi mengenai teknik pembuatan pewarna alam yang dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan di sekitar lingkungan masyarakat.

“Terkait teknik pembuatan pewarna alam kami juga siap memberikan pendampingan,” kata dia.

Sementara itu, ketua Komunitas Usaha Mikro Kecil Menengah (KUMKM) DIY, Prasetyo Atmosutidjo mengatakan dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang masih lemah, sebagian besar UKM mengaku terdampak karena kebanyakan masih menggunakan bahan baku impor.

Dia mengatakan dalam menghadapi persoalan itu, pemerintah dapat mengarahkan kalangan perajin dengan mencarikan alternatif pemenuhan bahan baku lokal sebagai pengganti bahan baku impor dengan harga yang terjangkau. “Kami berharap pemerintah dapat mendukung,” kata dia.

Menurut dia, hampir 50 persen UKM di DIY masih bergantung pada bahan baku impor. Misalnya, ia menyebutkan, perajin batik, pengusaha pakaian, tahu-tempe serta pengusaha kecil menengah lainnya.

“Perajin pakaian sebagian besar membutuhkan kain “cotton” sementara perajin batik juga masih membutuhkan pewarna tekstil yang seluruhnya impor, bahkan perajin tahu-tempe pun pakai kedelai impor,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya