SOLOPOS.COM - Ilustrasi uang tunai rupiah dan valuta asing (JIBI/Harian Jogja/Reuters)

Kurs rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat merepotkan 4 kelompok industri Jatim.

Madiunpos.com, SURABAYA — Depresiasi rupiah yang tembus Rp14.000 per dolar Amerika Serikat berimbas buruk terhadap sejumlah industri dan komoditas di Jawa Timur. Fenomena merosotnya kurs rupiah tertajam sejak 1998 itu sangat berpengaruh ke perdangangan internasional Jawa Timur, khususnya yang memiliki konten impor cukup kuat.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Benny Siswanto mengatakan terdapat empat kelompok industri yang menorehkan kemorosotan impor akibat kurs rupiah terdepresiasi itu. Keempatnya adalah industri galian bukan logam, logam dasar, kimia, dan tekstil. Keempat industri itu memiliki konten impor yang besar sehingga mempengaruhi transaksi bahan baku.

“Perusahaan yang bahan bakunya mengandalkan impor pasti terkena dampak depresiasi rupiah yang paling dalam,”ujarnya di Surabaya, Selasa (25/4/2015).

Ekspedisi Mudik 2024

Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur mencatat dari  empat kelompok industri di atas, komoditas impor utama Jatim yang mengalami perlambatan terbesar akibat kurs rupiah terdepresiasi adalah pupuk. Komoditas pupuk tertekan hingga 59% year on year. Adapun, komoditas kedua yang turut terhuyung-huyung akibat depresiasi rupiah itu adalah besi baja yang menorehkan perlambatan 40%. Selanjutnya, disusul oleh nuklir dan mesin boiler yang melambat 23%.

“Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang seperti Jepang dan Tiongkok melambat,” tutur Benny.

Tergantung Bahan Impor
Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi Daerah Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Taufik Saleh menerangkan kelompok industri yang tertekan, sedang terbebani biaya opersional yang setingi-tingginya. Hal ini disebabkan industri pengimpor harus mendatangkan bahan baku yang dibeli dengan harga melambung.

“Industri dengan konten impor tinggi sangat tertekan. Biaya produksi mereka naik lantas mereka kini mengerem produksi. Dengan begitu, marjin otomatis turun,” terangnya.

Terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur Dedy Suhajadi tidak menampik bahwa industri lokal Jawa Timur memiliki ketergantungan yang besar terhadap bahan baku impor, khususnya industri logam dan plastik. “Industri yang 50%  bahan bakunya tergantung pada impor, pasti terpengaruh, apalagi industri logam,” katanya.

Padahal, biasanya mereka sudah melakukan kontrak pembelian dengan luar negeri. Dengan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai Rp14.000 per, industri tersebut  harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk biaya produksi.

Dia menjelaskan selain industri logam, industri plastik memiliki konten impor bahan baku yang cukup tinggi. Hanya saja, ketergantungan industri plastik terhadap impor jauh lebih kecil dibanding industri logam.

Impor Anjlok
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, dari Januari 2015 hingga Juni 2015, tercatat nilai impor besi dan baja misalnya, mencapai US$ 685,920 juta. Realisasi tersebut turun 20% dibandingkan periode yang sama pada 2014 yang mencapai US$ 857,813 juta. Sementara impor plastik dan barang dari plastik juga sudah mengalami penurunan 13%, dari US$ 623,073 juta pada semester I/2014 menjadi US$ 541,592 juta di semester I/2015.

Menurut Dedy, dengan adanya data penurunan impor bahan baku besi baja dan  plastik menjadi salah satu indikator kian melambatnya laju produksi industri yang bersangkutan. “Kalau industri yang ketergantungan terhadap bahan baku impor kurang dari 50%. Masih bisa tertolong, karena mereka bisa saja melakukan diversifikasi ke bahan baku lokal,” katanya.

Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur Sairi Hasbullah menyebutkan bahwa industri di Jawa Timur sedang dalam keadaan waspada. Kondisi impor yang turun drastis juga dinilai membahayakan iklim usaha. Pasalnya, usaha di Jawa Timur memang menggantungkan bahan baku impor, terutama besi dan baja dari Tiongkok. “Impor turun signifikan menandakan sektor industri sedang  ada warning,” ujarnya.

Artinya, pelaku usaha membatasi pembelian bahan baku dari luar negeri sehingga mereka sudah barang tentu membatasi produksinya. Apabila impor semakin merosot, pengembangan industri dalam status waspada. Pasalnya, akan terjadi rasionalisasi industri manufaktur yang berdampak tidak hanya kepada proses produksi tetapi ke pemangkasan tenaga kerja.

BPS Provinsi Jawa Timur mencatat nilai impor Jawa Timur pada Juli 2015 senilai US$1,12 miliar atau anjlok 37,30% dibandingkan dengan impor bulan Juni yang mencapai US$1,80 miliar.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya