SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Ahmad Djauhar
Wartawan Jaringan Informasi
Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Dunia pendidikan kembali dilanda hiruk-pikuk seiring diubahnya Kurikulum Pendidikan pada Tahun Ajaran 2013 ini. Sejumlah kelompok masyarakat—khususnya yang memiliki kepedulian terhadap kebudayaan lokal—di berbagai daerah menyatakan keprihatinan mereka atas rencana penghapusan mata pelajaran bahasa setempat (daerah) dalam kurikulum baru itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di Bandung, misalnya, 20-an organisasi pada pengujung tahun kemarin beramai-ramai memprotes rencana penerapan kurikulum yang dinilai akan memusnahkan bahasa Sunda karena mata pelajaran bahasa tersebut tidak akan diajarkan di bangku sekolah lagi jika kurikulum tadi jadi diterapkan.

Di daerah lain saya kira sama, terjadi keberatan terhadap akan dihapusnya mata ajar bahasa lokal. Hal itu diyakini akan memusnahkan bahasa warisan leluhur yang dinilai adiluhung tersebut. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan karenanya kematian sebuah bahasa berarti kepunahan satu atau lebih kebudayaan.

Ekspedisi Mudik 2024

Terlebih untuk bahasa Jawa yang saat ini masih dipercakapkan oleh sedikitnya 80 juta orang dan merupakan bahasa ke-12 di dunia dalam hal jumlah pengguna. Tentu saja sangat banyak yang menyayangkan kalau sampai punah karena tidak diajarkan lagi di sekolah-sekolah secara formal.

Namun, tidak sedikit pula warga yang mendukung penghapusan mata pelajaran bahasa lokal dari kurikulum. Mereka memiliki argumentasi bahwa dalam hidup keseharian pun mereka sudah jarang menggunakannya.

Lihat saja, misalnya, warga pendatang dari daerah lain yang menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah wilayah provinsi Jawa Barat. Ketika putra-putri mereka harus mengikuti mata pelajaran Bahasa Sunda, betapa ripuh-nya para orang tua ”imigran” ini. Mereka praktis tidak mampu membantu belajar sang anak dalam mata pelajaran tersebut karena tidak menguasai bahasa itu.

Keluhan pun sering mengemuka dari sejumlah orangtua—khususnya yang tidak menyadari arti penting bahasa dan budaya–tadi. ”Aduh, buat apa sih mempelajari bahasa yang tidak kita gunakan nantinya kalau mereka sudah bekerja.. Buang-buang waktu dan energi saja,” kata mereka.

Dari sisi praksis memang betul bahwa mata pelajaran bahasa daerah yang kita pelajari semasa duduk di bangku SD dan SMP dulu ternyata minim sekali penerapannya, terlebih bagi mereka yang ketika dewasa bekerja di kota lain, termasuk di Jakarta, karena sehari-harinya lebih banyak bercakap menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing seperti bahasa Inggris yang memang populer di kalangan pebisnis.

Kalau mau jujur, berapa banyak sih orang Jawa yang pada saat dewasanya masih memiliki kemampuan baca-tulis dengan aksara Jawa, sekalipun mereka yang hidup di lingkungan yang sehari-hari berbudaya dan berbahasa Jawa. Pasti tidak banyak lagi jumlah mereka itu. Karena, ya itu tadi, bahasa ini sudah jarang dipakai sebagai alat komunikasi efektif.

Melihat kondisi riil yang seperti itulah, timbul ide di benak sebagian pembuat kebijakan di bidang pendidikan untuk tidak lagi mewajibkan mata pelajaran bahasa lokal dalam Kurikulum Pendidikan 2013, dan kabarnya dikemas menjadi mata pelajaran Kebudayaan Daerah.

Suasana pro-kontra seperti ini mengingatkan kita pada kasus ketika masyarakat kita beramai-ramai memprotes negeri jiran, Malaysia, yang akan mengklaim sejumlah kesenian Indonesia sebagai kesenian asli mereka. Padahal, selama ini, masyarakat cenderung tidak peduli terhadap kesenian tersebut.

Pernyataannya sekarang adalah bagaimana agar budaya lokal—termasuk bahasa—itu dapat dilestarikan tanpa harus terjadi pemaksaan terhadap anak didik untuk mempelajarinya secara formal di bangku sekolah. Maka, masyarakat dan pemerintah daerah yang harus menjawabnya dengan cara aktif menjaga kebudayaan itu sendiri.

 

Tidak Kaku

Caranya, tentu saja dengan terus menghidup-hidupkan berbagai unsur kebudayaan itu sendiri, misalnya dengan tetap memberikan pelajaran Bahasa Jawa di sekolah-sekolah, tapi bukan mata pelajaran yang kaku dan menjengkelkan seperti yang dialami anak didik selama ini, melainkan sebagai bentuk kegiatan yang lebih pada praktik budaya.

Misalnya, di setiap sekolah diselenggarakan kegiatan berkebudayaan mulai dari berbahasa, bernyanyi, menari, hingga pengenalan aksara lokal. Sementara, pemerintah daerah bisa menyelenggarakan aneka lomba—atau menggunakan istilah yang kini populer, yakni olimpiade—budaya untuk memotivasi agar anak didik agar tertarik untuk menguasai salah satu unsur kebudayaan tersebut.

Media lokal, baik cetak dan elektronik serta media online, juga perlu untuk bepartisipasi dengan menyediakan rubrik atau kanal untuk membantu menghidup-hidupkan kebudayaan setempat tersebut sehingga warga masyarakat tetap tertarik untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan berbudaya lokal tadi.

Di kawasan Jawa Tengah dan DIY, misalnya, masih banyak warga masyarakat yang meminati kesenian daerah seperti ketoprak dan wayang. Ada baiknya bagi pemerintah daerah untuk menjadi sponsor penyelenggaraan acara itu di berbagai medium, baik media massa maupun panggung pertunjukan rakyat. Bila perlu, dibikinkan lomba atau festival secara rutin, dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga nasional bila perlu.

Dengan demikian, masyarakat akan kembali terbiasa dengan produk kebudayaan setempat sehingga mereka akan merasa tetap berada di lingkungan sendiri. Membanjirnya budaya orang lain atau bangsa lain yang selama ini terjadi, sedikit banyak karena minimnya kehadiran budaya lokal. Kalau kita sendiri sudah merasa malas untuk mengembangkan kebudayaan setempat, jangan salahkan apabila kebudayaan orang lain yang menguasai kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya