SOLOPOS.COM - Widya Ristanti (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Selamat datang Juli! Setiap memasuki Juli, terdapat suatu rutinitas yang dijalani setiap civitas academica dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Apabila murid senang karena datangnya masa liburan, lain halnya dengan guru. Berbagai agenda telah menanti mulai penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang sarat dinamika hingga persiapan perangkat ajar.

Pada Juli tahun pelajaran 2022/2023 ini menjadi berbeda karena implementasi Kurikulum Merdeka. Sebelum membicarakan tentang Kurikulum Merdeka, mari kita lihat definisi kurikulum menurut peraturan perundangan di Indonesia. Menurut Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berdasarkan definisi tersebut, tujuan penyusunan kurikulum ialah mencapai tujuan pendidikan. Lalu apa tujuan pendidikan di Indonesia? Pendidikan terkait tujuan pembentukan negara yang tertuang dalam alinea keempat UUD 1945, yakni pada klausa “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tujuan negara tersebut direlevansikan dengan tujuan pendidikan di Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan setiap warga negara.

Upaya tersebut diperkuat pula dengan Pasal 31 UUD 1945, yakni “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Definisi “cerdas” menurut KBBI ialah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya). Artinya, pendidikan diharapkan dapat menjadi upaya penumbuhkembangan akal budi setiap warga negara untuk dapat berpikir, mengerti, dan mengimplementasikan pada kehidupannya.

Hal tersebut selaras dengan definisi pendidikan menurut PP No. 57/2021, yakni usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Mari kita kembali implementasi Kurikulum Merdeka. Pada awal munculnya wacana implementasi kurikulum tersebut, lazim terdengar ucapan “Lo, bukankah kurikulum pendidikan di Indonesia baru saja diganti menjadi Kurikulum 2013 [K-13]? Mengapa sekarang diganti lagi?” Di Indonesia, ada kesan setiap ganti menteri pasti berganti kurikulum.

Pertanyaannya, benarkah kurikulum di Indonesia berubah/berganti? Menurut KBBI daring, definisi “berubah” ialah menjadi lain (berbeda) dari semula. Dari definisi tersebut, kita bisa menyimpulkan terdapat hal yang berbeda secara drastis dari suatu keadaan. Lalu, apakah demikian dengan kurikulum kita? Mengapa di kala pandemi masih melanda Indonesia mewacanakan hal tersebut?

Pandemi yang telah berlangsung selama beberapa tahun menyebabkan kemunduran pembelajaran (learning loss). Hal tersebut terlihat dari paparan kajian akademik yang dikeluarkan Kemendikbudristek berkaitan dengan perbandingan capaian literasi dan numerasi pada siswa yang menggunakan kurikulum darurat dan Kurikulum 2013. Kajian tersebut menemukan rendahnya capaian numerasi, yakni 482 pada siswa yang diajar dengan menggunakan Kurikulum 2013.

Adapun siswa yang diajar dengan menggunakan kurikulum darurat memiliki capaian kemampuan numerik sebesar 517. Padahal, pemerintah memproyeksikan capaian kemampuan numerik siswa sebesar 522 apabila tidak terjadi learning loss.

Hal tersebut berkorelasi dengan capaian literasi siswa. Siswa yang diajar dengan Kurikulum 2013 memiliki capaian literasi 532. Adapun siswa yang diajar dengan kurikulum darurat memiliki capaian literasi 570. Capaian tersebut jauh berada di bawah proyeksi pemerintah yang memproyeksikan capaian literasi sebesar 583 jika tidak ada learning loss.

Latar belakang itulah yang menyebabkan pemerintah memandang perlu dilakukan suatu upaya pemulihan kondisi pendidikan di Indonesia pascapandemi. Hal tersebut dituangkan dalam Keputusan Mendikbukristek No. 56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran. Bagaimana bentuk pedoman tersebut? Berkaca dari hasil kajian di atas, pemerintah menyederhanakan Kurikulum 2013 dengan cara mengambil esensi dari muatan kurikulum tersebut. Dengan demikian, Kurikulum 2013 dikembangkan dengan cara disederhanakan, bukan diganti.

Adaptasi Guru

Pada dasarnya, pengembangan kurikulum bukanlah hal yang tabu. Setelah sembilan tahun kita menggunakan Kurikulum 2013, tentu banyak hal yang perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tentu kita tidak mungkin mempelajari sesuatu secara statis dan menafikan keadaan yang aktual. Bahkan negara-negara maju yang memiliki predikat terbaik Programme International for Student Assessment (PISA) juga melakukan pengembangan kurikulum secara periodik (OECD, 2020).

Sebuah kebijakan baru pasti menimbulkan pro dan kontra. Guru yang menjadi garda terdepan pendidikan di Indonesia perlu menyikapi dengan bijaksana. Bingung sudah pasti. Akan tetapi guru tidak perlu cemas berlebihan. Kemendikbudristek menawarkan tiga opsi berkaitan dengan implementasi kurikulum tersebut bagi satuan pendidikan.

Pertama, mandiri berbagi. Opsi tersebut menjadi level eksklusif karena setiap satuan pendidikan diberi keleluasaan untuk mengimplementasikan dan mengembangkan berbagai perangkat ajar secara mandiri.

Kedua, mandiri berubah. Opsi tersebut paling jamak ditemukan karena paling banyak satuan pendidikan yang menggunakannya. Kemudahan menjadi alasan mengapa mayoritas satuan pendidikan menggunakan opsi ini. Dalam opsi tersebut, guru-guru dipersilakan menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan dalam platform Merdeka Mengajar. Guru boleh melakukan ATM alias amati-tiru-modifikasi) atau ATP alias amati-tiru plek guna penyusunan perangkat ajar, dari alur tujuan pembelajaran, modul ajar, hingga asesmen pembelajaran.

Ini memang mudah. Akan tetapi guru perlu waspada karena kemudahan tersebut melenakan. Guru perlu kritis terhadap konten dalam platform tersebut. Berbagai konten yang menjadi perangkat ajar hanyalah contoh. Namanya contoh, isinya belum tentu ideal jika diterapkan pada satuan pendidikan dengan karakteristik satuan pendidikan dan siswa yang beragam. Meski demikian, saat ini cara ATM dan ATP itu yang paling mudah dilakukan oleh guru dalam proses adaptasi.

Ketiga, mandiri belajar. Opsi terakhir merupakan opsi yang paling lunak karena satuan pendidikan dibebaskan untuk menerapkan Kurikulum Merdeka pada beberapa bagian dan prinsip. Guru bisa melakukannya tanpa harus mengganti kurikulum yang sudah digunakan oleh satuan pendidikan.

Terlepas dari opsi mana yang digunakan oleh satuan pendidikan, seharusnya guru selalu mengembangkan profesionalismenya. Profesionalisme guru dalam pedagogi berkaitan dengan kemampuan guru mengelola pembelajaran. Pengelolaan tersebut berkaitan dengan penyiapan rancangan pembelajaran, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran secara profesional. Tentunya kita tidak ingin hanya sekadar menjadi insan A(mati), T(iru), P(lek). Semoga praktik ATM dan ATP ini hanya sementara, bukan selamanya.

Esai ini ditulis oleh Widya Ristanti, guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 5 Surakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya