SOLOPOS.COM - Mendikbud M Nuh (JIBI/SOLOPOS/Antara)

Solopos.com, BALI – Pelaksanaan Kurikulum 2013 masih menemui sejumlah kendala di lapangan. Selain itu, sejumlah pihak menyatakan resistensi terhadap kurikulum yang menuntut adanya pembentukan karakter dalam setiap mata pelajaran itu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhammad Nuh, mengatakan pembentukan sikap dalam setiap mata pelajaran adalah konsep dasar dari Kurikulum 2013 ini. Hal itu adalah bentuk perbaikan dari Kurikulum 2006.

Promosi BRI Siapkan Uang Tunai Rp34 Triliun pada Periode Libur Lebaran 2024

“Semua mata pelajaran harus punya kontribusi terhadap pembentukan sikap. Ada tiga potensi, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tiga poin tersebut menjadi kesatuan,” kata Nuh di sela-sela acara Forum Aliansi Peradaban PBB di The Laguna Resort, Nusa Dua, Bali, Rabu (27/8/2014) malam.

“Guyonannya dari konsep ini adalah kalau ada anak baik sekali, jujur sekali, tapi enggak bisa apa-apa, bagaimana? Begitu juga sebaliknya. Siapa yang membentuk tiga potensi tadi? Seluruh mata pelajaran,” jelas Nuh.

Ekspedisi Mudik 2024

Menurut Nuh, tidak hanya mata pelajaran agama yang bertanggung jawab membentuk karakter siswa. Bahkan matematika maupun kimia, kata Nuh, bisa membangun karakter.

“Misalkan, ada pertanyaan apakah yang lain bisa meningkatkan ketakwaan. Kalau mau saya kejar, apa sih takwa. Seakan-akan takwa hanya untuk salat. Tapi sebenarnya menjaga keharmonisan itu bagian dari ketakwaan,” kata Nuh.

Nuh mencontohkan, dengan pelajaran matematika, seorang siswa bisa memetik pelajaran mengenai pembentukan karakter mengenai bagaimana cara berpikir runtut dan terstruktur dalam setiap persoalan. Dengan matematika pula, seseorang dilatih untuk selalu jujur.

“Kalau dia dapat angka 0,2 misalnya. Dengan pembentukan sikap, maka dia tidak akan mengubah-ubah angka itu. Dia tetap jujur,” ujar Nuh.

Contoh lain, pada mata pelajaran olahraga. Menurut Nuh, di mata pelajaran tersebut, nilai-nilai pembentukan karakter bisa ditanamkan. “Bisa dikaitkan dengan nilai kepatuhan terhadap rules,” kata mantan Rektor ITS ini.

Penjelasan Nuh ini menjawab kritikan dari pengamat dan praktisi pendidikan yang mengkritik penilaian antara aktivitas fisik dengan kondisi mental spiritual siswa. Pengaitan ini menurut pengamat pendidikan, Darmaningtyas, sangat menggelikan.

“Saya kebetulan membantu merumuskan kompetensi di mata pelajaran seni dan budaya. Ada penilaian K1 [spiritual]. Lucu sekali, seni dan budaya dikaitkan dengan religiusitas. Rumusan pelajaran itu seperti pelajaran agama. Semua berlandaskan agama. Kita jadi seperti kembali ke abad kegelapan, satu-satunya kebenaran adalah agama,” kritik Darmaningtyas beberapa waktu lalu.

Kritik yang serupa juga disampaikan oleh Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Retno Listyarti.

“Misal olahraga bola besar harus dikaitkan dengan K1 dan K2 [sosial], itu ketakwaan. Bagaimana mengukur servis bola voli dengan ketakwaan? Kami sampai bercanda ini seperti teologi. Karakter apa yang mau dibangun seperti ini? Atau seperti PKN [Pendidikan Kewarganegaraan] ada psikomotor atau praktik. Seperti demo harus dibuat simulasi. Jadi guru yang enggak mau repot menciptakan/mengarang nilai,” urai Retno.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya