Buku fotografi masih menjadi barang mahal di negeri ini. Didominansi buku impor besutan fotografer dari luar negeri, harga buku ini sulit dijangkau kantong mahasiswa kebanyakan. Padahal bagi penyuka fotografi, keberadaan buku tersebut menjadi suntikan ide baru baru untuk mengeksplorasi kamera.
Tak terkecuali bagi Aji Susanto Anom. Alumni Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS Solo TA 2008 ini sejak duduk di bangku kuliah sudah tertarik dengan dunia fotografi. Namun dirinya mulai terusik ketika suatu ketika harus merogoh kocek dalam-dalam untuk sebuah buku fotografi.
Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda
Berawal dari sana, niatan mengedarkan buku sendiri yang terjangkau pun mulai tumbuh. Selama hampir enam tahun bergelut sebagai penyuka fotografi, Aji akhirnya awal 2013 lalu merilis buku foto pertamanya bertajuk Nothing Personel.
“Kadang kami haus literasi visual. Masalahnya buku foto Indonesia sendiri masih sedikit. Adanya impor dan enggak terjangkau. Makanya saya mencoba bikin buku sendiri,” ujar Aji saat berbincang dalam acara Sharing Penerbitan Buku Foto Indie oleh komunitas Srawung Photo Forum, di Tugitu Unite Art Space, Minggu (23/2) siang.
Lelaki yang kini menekuni bisnis fashion ini mengungkapkan foto hasil jepretannya selama berburu di Solo dalam kurun waktu 2012-2013 ini kemudian mulai ia kumpulkan. Setelah mendapatkan 50 karya terbaiknya, lelaki berkacamata ini mengikutsertakan fotonya dalam seleksi kurasi secara online oleh Invisible Photographer Asia (IPA) yang berbasis di Singapura.
“Foto yang saya kumpulkan saya pilih dan membuat dummy [prototype buku]. Setelah itu saya ikut dan lolos kurasi. Pemikiran saya waktu itu ingin membukukan karya karena sudah cukup lama motret. Kalau pun enggak laku, paling tidak ini bisa jadi refernsi sendiri,” ungkapnya.
Buku fotografi beraliran street photo karya Aji ini kini telah dikoleksi ratusan orang yang ingin melihat karyanya. Bagi penyuka foto hitam putih ini keberadaan buku foto menjadi penting karena buku lebih mudah dijangkau dibandingkan file berformat digital yang rentan hilang.
“Menurutku buku penting. Digital tergantung baterai dan bisa rusak., Buku itu rasanya lebih autentik dan lebih gampang dijangkau,” katanya.
Sementara itu, pembicara lain yang juga penerbit buku foto indie dari Srawung Photo Forum, Yohanes Prima, membeberkan ihwal lahirnya penerbitan buku independen. “Zine [media alternatif] itu berasal dari bagian gerakan punk. Ide ini lahir dari mahasiswa. Kami jarang dapat ruang pamer. Buku ini semacam galeri,” terang lelaki yang akrab disapa Yopri ini di sela acara.
Lewat sharing gerakan independen ini, Yopri berharap acara Kumpul Buku Foto Solo bisa merangsang fotografer yang hadir untuk berani memamerkan karya fotografinya. Salah satunya lewat media buku foto independen.
Seiring berkembangnya budaya literasi fotografi khalayak Solo, diharapkan ajang ini bisa tumbuh menjadi ruang silaturahmi antar-pecinta fotografi di Kota Solo.