SOLOPOS.COM - Produksi bakpia salak dilakukan Puri di dapur belakang rumahnya, Selasa (18/7/2017). (Sekar Langit Nariswari/JIBI/Harian Jogja)

Kuliner Sleman kali ini memadukan panganan asli Jogja dan produksi buah lokal

Harianjogja.com, SLEMAN — Anjloknya harga jual salak di tingkat petani bukan jadi masalah bagi Kusharjanti Purisada, warga Bangunkerto, Turi, Sleman. Sudah beberapa waktu belakangan ia mengolah salak menjadi bakpia sehingga buah khas Sleman ini tetap menjadi berkah baginya, mahal ataupun murah.

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Berada di tengah rimbunan kebun salak, sebuah rumah mungil nan nyaman menguarkan aroma harum kue yang sedang dipanggang. Rumah itulah yang menjadi saksi Puri, demikian Kusharjani karib disapa, mengembangkan produk olahan salaknya mulai dari dodol hingga bakpia salak yang kini menjadi andalan.

Dapur yang terletak di belakang rumahnya menjadi ruangan tempat ratusan bapia setiap harinya diproduksi. Salak yang diolah menjadi selai diselimuti dengan kulit bakpia, dibentuk kemudian dipanggang. Semuanya dikerjakan sendiri oleh Puri dengan bantuan keluarga dan 1 pekerja yang merupakan tetangganya.

Ekspedisi Mudik 2024

Lahirnya panganan yang benar-benar bercita rasa Jogja ini bukannya tanpa cerita. Awalnya, Puri yang besar di Bantul ini dipinang suaminya, Triono,  untuk kemudian berdiam di daerah dingin penghasil salak di Sleman, Turi. Karena tak terbiasa, ia merasa sedih melihat ratusan salak terbuang tiap kali masa panen raya buah berkulit tajam ini.

“Sayang lihatnya, ratusan buah salak berserakan, mau dimakan sendiri juga tidak mungkin,”ujar wanita berjilbab ini pada wartawan, Selasa(18/7/2017). Pasalnya, salak yang kulitnya sudah terbuka barang sedikir tak akan laku dijual dengan harga berapapun. Pengepul enggan mengambilnya karena diklaim akan berdampak pada ratusan kilogram salak berkualitas baik lainnya. Kemungkinan laku dijual ke supermarket juga tertutup karena retail besar hanya menerima salak dengan kualitas terbaik.

Salak-salak yang disisakan ini kemudian ia kumpulkan dan coba diolah sekadarnya. Resep pertama coba dirumuskan namun hasilnya tak memuaskan, sebabnya selai salak kreasinya mengandung terlalu banyak air. Jadinya, bakpia itu menjadi sangat basah dan basi hanya dalam semalam.

Percobaan kedua juga sama mengecewakannya. Bedanya, selai salak isian bakpia jadi terlalu teksturnya terlalu keras karena kandungan airnya teramat sedikit. Puri masih ingat perasaan kecewa maupun sedih yang membayangi hingga ia sampai di tahap saat ini. Betapa tidak, ada puluhan loyang bakpia yang terbuang, ratusan kilo selai salak yang tersia-sia selama bulanan percobaannya.

Beragam variasi resep isian bakpia tak lelah diuji cobanya sampai akhirnya ia menemukan takaran, cara serta waktu yang pas untuk mendapatkan. Ibu dua anak ini menyimpulkan jika isian bakpia yang prima didapatkan dari proses masak yang lama dengan api kecil. Salak yang digunakan dipotong dalam ukuran cukup besar tanpa ditambahkan air sama sekali dalam proses masaknya.

Bahkan, Puri meyakini jika ketiadaan air tambahan dalam proses masaknya lah yang menjad kunci tekstur yang pas untuk bakpianya. Hanya dibutuhkan salak, gula, santan, dan garam secukupnya. Sari pati dari buah salak itu mempertahankan cita rasa dan memberikan tektur terbaik.
“Kalau airnya hilang malah rasa salaknya hilang, tinggal sepetnya saja,”terangnya.

Untuk 20 kilogram salak butuh waktu delapan jam memasak untuk kemudian didinginkan manual. Jika dipaksa dingin, Puri berpendapat akan mempengaruhi kualitas isian bakpianya. Bahan baku yang digunakan juga harus salak lokal dan bukan salak pondoh yang kerap jadi primadona. Salak pondoh yang memiliki rasa manis murni hanya akan menyisakan rasa hambar usai proses masak karena itu salak lokal yang dinilai sepet malah menjadi nilai jual.

Sesuai dengan tujuan awalnya, Puri memanfaatkan semua salak dengan level kualitas apapun tanpa terkecuali. Namun, akan sangat lebih baik apabila salak sedang dalam kondisi mengkal dan tidak terlalu matang. Kondisi ini menurut Puri lebih baik karena niatan awalnya adalah memanfaatkan salak yang tak laku dijual ke pengepul. Sudah umum diketahui jika petani kerap kali memanen salaknya sebelum matang sempurna agar sampai ke pembeli dalam kondisi yang pas.

Satu kilogram salak bisa diolah menjadi 200 gram selai atau kurang lebih dua kotak bakpia. Setiap harinya, Puri dan keluarganya bisa menghasilkan sekitar 35 kotak bakpia berisi 15 bakpia, dijual dengan harga Rp25.000. Guna memudahkan, ia kini tak lagi memproduksi selai salaknya sendiri namun memanfaatkan tetangganya untuk mengolah isian bakpia itu. Setidanya ada dua keluarga yang dia ajari cara membuat selai salak untuk kemudian menyuplai usaha rumah tangganya ini.

Puri dan suaminya memiliki kebun salak seluas 1.000 meter yang sebagian besar salak pondoh. Karena itu, ia masih harus mencari ke tetangga sekitar untuk mencari bahan baku salak lokal. Tak jarang ia juga kulakan ke pasar terdekat untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu, ketika harga salak murah ia juga bisa menghemat biaya produksi.

Sekretaris Koperasi Kertomandiri Sejahtera, tempat Puri pertama kali meminjam modal dan menjadi anggota, Suharno mengatakan diversifikasi produk yang dilakukan Puri memang sebaiknya ditiru petani salak lainnya. Pasalnya, kondisi belakangan ini memang menuntut petani berinovasi dalam menjual hasil kebunnya, bukan hanya sekedar salak sebagai buah. Dengan cara seperti ini, petani tak akan terlalu terpengaruh ketika harga salak ambruk. Bahkan, seperti Puri, ia bisa ikut merasakan keuntungan karena harga bahan baku yang murah.

“Ketika harga salak mahal juga ikut untung ketika menjual hasil kebunnya,”ujar ketua koperasi yang menaungi petani di Donokerto dan Wonokerto ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya