SOLOPOS.COM - Kuliner ikan wader (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Ikan wader tidak bisa dilepaskan dari kuliner lawas yang muncul sejak zaman kerajaan. Kini tren kuliner berkembang pesat, namun ikan wader tetap memikat hati pemburu kuliner.

Ada banyak kota yang menyajikan wader sebagai menu andalan. Di Kota Pekalongan misalnya kuliner sega megana selalu menyertakan wader. Begitu pula di Blitar ada rumah makan bernama Jeng Sus yang menyediakan wader goreng dalam paket nasi pecel.

Promosi Kisah Inspiratif Ibru, Desa BRILian Paling Inovatif dan Digitalisasi Terbaik

Resto elite di kawasan Tanjung Benoa, Nusa Dua, Bali tidak melupakan ikan wader pepes atau goreng siap tersaji dalam paket nasi rames khas Bali untuk suguhan kuliner para tamu.

Seni kuliner yang berkembang pesat dalam beberapa waktu terakhir ini tidak mampu menyingkirkan ikan wader. Dilansir dari indonesia.go.id, beberapa waktu lalu, wader yang umumnya berukuran panjang 10 cm dan berat 10 gram–meski kadang bisa mencapai panjang 17 cm.

Ekspedisi Mudik 2024

Ikan wader sebagai kuliner lokal sudah mengakar cukup lama di masyarakat Pulau Jawa. Warga Betawi menyebutnya ikan cere, orang Sunda menyebutnya ikan paray, sedangkan wader umum digunakan di Jawa Tengah dan Timur.

Seiring perkembangan waktu, ikan cere praktis punah dari perairan Jakarta. Di Jawa Barat, ikan paray sudah tidak terlalu populer. Namun, ikan wader masih menjadi kuliner yang banyak disediakan di beberapa tempat makan di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan belakangan di Bali.

Ikan mungil ini tersebar di mulai dari daratan Asia Tenggara, Filipina, dan di Indonesia ada di air tawar Sumatra, Jawa-Bali, dan Kalimantan. Namun, di Sumatra dan Kalimantan, populasinya terbatas, dan warga setempat menyukai ikan seluang atau ikan bilih yang bentuknya mirip.

Jejak wader sebagai salah satu kuliner orang Jawa terekam jelas dalam Kitab Centhini yang ditulis Yosodipura II (1814). Di Kitab Centhini disebutkan wader menjadi hidangan lauk seperti halnya ikan gurame, tambra (sejenis ikan mas), dan lele.

Ketika itu, orang Jawa juga menyantap ikan tengiri, wagal, dan kalarung dari laut. Ikan wader termasuk dalam famili Cypridae bersama ikan mas, ikan tambra, ikan seluang dan ikan bilih.

Dari banyak spesies ikan wader yang pernah hidup, yang hingga kini masih banyak ditemui di alam bebas hanya wader pari atau lunjar padi (Rasbora argyrotaenia) dan wader bintik (Barbus maculatus).

Tubuh wader pari punya warna kuning keemasan pada bagian atas dan berwarna putih keperakan di bagian bawah. Sedangkan wader bintik dicirikan oleh empat sungut kecil di ujung moncong.

Bukan Lauk Tunggal

Ikan wader
Ikan wader (indonesia.go.id)

Sensasi rasa asin biasanya terasa dari kuliner wader. Biasanya wader bukan lauk tunggal. Wader goreng biasanya dihidangkan bersama tahu/tempe bacem, sayur atau lalap, dan sambel.

Tidak jauh berbeda dengan wader, uceng juga memiliki keunikan sebagai kuliner sejak lawas. Biasanya para pemburu wader yang menggunakan jaring, jala atau peranggkap ikan (bubu) sering mendapat bonus ikan uceng.

Dua ikan ini memang memiliki habitat yang mirip yaitu perairan yang mengalir deras, bening, berbatu, dan berpasir. Uceng, ada sebagian yang menyebutnya ikan jeler, juga sering hadir di meja makan berrsama wader.

Uceng (Nemacheilus fasciatus) dikenal sebagai ikan endemik yang hidup di parit, sungai-sungai kecil hingga sedang, atau saluran irigasi, terbatas di kawasan Priangan Timur, Banyumas, sekitar Magelang, hingga Solo dan Jogja.

Di tempat lain, populasinya terbatas. Uceng berukuran kecil, dengan panjang maksimum 10 cm. Bentuknya bulat lonjong berwarna kuning-cokelat bergaris-garis, mirip daun tua yang gugur.

Masyarakat Jawa Tengah juga biasa menyantap ikan jeler kecil atau uceng ini tanpa harus membuang isi perutnya. Dengan reputasi hidup bersih di perairan bening, hewan pemakan serangga dan dedaunan ini bisa langsung masuk pengggorengan.

Seperti wader, uceng juga digoreng kering dan kadang dibungkus tepung. Belakangan uceng juga mulai dibudidayakan. Dibanding wader, harga uceng lebih tinggi. Tulang dan durinya sangat lunak sehingga rontok pada proses penggorengan. Rasanya tak kalah gurih dari wader.

Di Jogja, sekilo uceng goreng harganya bisa sampai Rp150.000-Rp200.000, dua kali lipat dari wader goreng yang harganya berkisar Rp75.000-Rp100.000.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya